but in this world nothing can be said to be certain, except death and taxes.
Benjamin Franklin, 1789
Kasus kekerasan dan pamer gaya hidup mewah yang dilakukan anak seorang pejabat Kantor Pajak membuat masyarakat kembali tertuju pada integritas aparat pelayan publik, di saat yang sama Kementrian Keuangan sedang getol mengimbau masyarakat melaporkan SPT nya. Memang pada akhirnya Menteri Keuangan bergerak cepat dengan memberhentikan pejabat yang bersangkutan. Hal ini tentu dikhawatirkan akan memperberat kerja Kemenkeu dalam meraih target capaiannya. Kita akan lihat hasilnya tanggal 31 Maret nanti.
Di atas keprihatinan yang terjadi, kejadian ini harus menjadi momentum bagi masyarakat khususnya kelas menengah untuk bangun dan melek akan kesadaran poiltiknya. Mengapa kelas menengah? Karena meskipun tarif pajak penghasilan bersifat progresif, namun kelas menengah lah yang menanggung tax burden paling besar.
Kelas menengah memiliki penghasilan cukup kaya di atas PTKP (pendapatan tidak kena pajak) sebesar 4,5 juta rupiah per bulan dan tidak bisa mendapatkan transfer langsung dari pemerintah melalui berbagai program seperti bansos, subsidi, atau beasiswa-beasiswa berdasarkan kemampuan ekonomi.
Di sisi lain kelas menengah “kayanya nanggung” untuk melakukan “optimasi” pajak. Penghasilan mereka tidak seberapa untuk bisa membayar lawyer, akuntan, dan konsultan pajak dalam offshoring dan layering kekayaan maupun penghasilan agar tidak terendus petugas pajak melalui cara yang sesuai aturan, mengakali aturan (loop hole), maupun membeli bahkan membuat aturan itu sendiri. Tulisan ini tidak akan membahas hal tersebut, tapi bagi yang penasaran silakan baca-baca lagi kasus Panama Papers tahun 2016 yang bersumber dari kebocoran dokumen firma hukum Mossack Fonseca.
Pajak: “Sebab Hidup adalah Udunan”
Cerita pajak adalah cerita setua sejarah itu sendiri. Pajak dalam berbagai bentuk dan alat pembayarannya adalah konsekuensi logis dari terbentuknya masyarakat. Saat manusia mengenal hidup komunal maka di situ lah setiap individu harus menyerahkan sebagian (kecil) dari waktu atau tenaganya kepada masyarakat. Sebab ada kebutuhan dasar yang memang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh individu-individu.
Misal dalam masyarakat berburu dan meramu, individu harus “bekerja bakti” untuk bisa menangkap buruan yang besar atau “siskamling” melindungi kelompok dari binatang buas. Di masyarakat agraris, individu-individu bekerja menyiapkan ladang atau membuat perairan komunal. Makin maju masyarakat, bentuk kontribusi untuk memenuhi kebutuhan bersama ini makin beragam, mulai dari kewajiban memebrsihkan lingkungan sampai ikut berperang melindungi komunitasnya.
Adanya spesialisasi keahlian membuat bentuk kontribusi jam kerja berganti menjadi bentuk mata uang yang lebih mudah ditukar dan diukur. Karena suatu masyarakat memerlukan barang publik (public goods) mulai dari yang berbentuk fisik seperti infrastrukur dan yang non fisik seperti keamanan, penegakan hukum, pendidikan dasar, dan administrasi sipil. Demikianlah fondasi dari eksistensi pajak.
Teori perpajakan modern membagi pajak ke dalam tiga fungsi. Pertama, fungsi anggaran. Pajak adalah sumber untuk membiayai public goods tadi. Kedua, fungsi kebijakan/ regulasi. Pajak menjadi instrumen yang efektif untuk membentuk perilaku masyarakat karena insentif/ disensentif ekonomi yang langsung dirasakan. Misal saat negara ingin melindungi kesehatan masyarakat maka ditetapkan lah cukai tembakau, atau saat negara ingin mengurangi emisi karbon maka negara menetapkan carbon tax. Ketiga, fungsi reditribusi. Pajak dapat menjadi cara yang efektif untuk menjaga keadilan sosial dan memajukan kesejahteraan umum dengan mekanisme transfer kekayaan via tarif pajak progresif dan meredistribusikannya via program jaminan sosial maupun bantuan langsung tunai.
Munculnya Setan Alas Leviathan Pencari Upeti
Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan (1668) menceritakan tentang sosok yang dipercaya memegang kekuasaan dan diberi kekuatan untuk mengurus masyarakat tetapi kemudian malah menjadi setan alas yang menyalahgunakan kekuasan dan kekuatan tersebut untuk berbalik menindas. Leviathan adalah alegori yang melandasi teori kontrak sosial yang kemudian dipopulerkan oleh filsuf renaissance seperti Rosseau dan Locke. Leviathan seolah menampar masyarakat Eropa saat itu untuk bangun dari struktur masyarakat feodal.
Dalam masyarakat feodal, raja dan kaum ningrat adalah sosok imperatif yang memperoleh legitimasinya secara mutlak untuk berkuasa dari sumber yang absolut, entah itu trah yang sakral atau bahkan dari kekuatan yang divine (Tuhan). Oleh karena itu ketundukan pada raja bersifat absolut dan upeti (persembahan)adalah konsekuensi dari pengakuan atau ketundukan tersebut.
Di masyarakat seperti ini kekuasaan adalah priviledge. Pejabat publik yang gajinya dibayar oleh upeti kawulanya akan merasa layak bahkan bangga dan menuntut mendapat perlakuan istimewa di jalan yang dibangun dengan upeti kawulannya dan dikawal iring-iringan hulubalang ber-strobo yang juga digaji oleh upeti kawulannya. Kalaupun ada pejabat ini yang berlaku baik dan welas asih dan ramah pada rakyatnya, itu adalah bentuk kemurahan hati si pejabat dan para kawula tidak boleh menuntut hal tersebut. Kira-kira begitu lah alam pikiran masyarakat feodal.
Sementara di masyarakat pasca-feodal yang memafhumi teori kontrak sosial, pejabat publik adalah “panitia acara buka bareng” yang ditunjuk seisi grup WA untuk menjadi EO acara buka bareng. Mulai dari menyusun acara, membooking restoran, sampai menagih uang patungan. Jika acara berhasil maka warga grup WA akan puas dan berterima kasih, respek diperoleh dan biasanya ditunjuk lagi menjadi panitia bukber tahun depan. Tapi kalau sampai salah memesan tempat makan bahkan menilep uang patungan, maka siap-siap menjadi bahan omongan sampai bulan puasa tahun depan di grup WA yang tidak ada dianya.
Kesadaran Pajak dan Perubahan Sosial
Magna Carta (1215) dalam sebagian besar teori politik dan sosial dianggap sebagai milestone pertama hukum dan konstitusi di barat berawal dari kemarahan baron-baron di Inggris kepada Raja John yang seenaknya menaikan upeti (baca: pajak) untuk membiayai perang yang berlarut-larut melawan Perancis.
Piagam ini lalu membelokan sejarah kerajaan Inggris yang unik dengan pembagian pembatasan kekuasaan keluarga kerajaan, kontras dengan kerajaan-kerajaan lain di zaman itu yang masih menikmati absolutisme. Struktur yang unik dengan rule of law dan check and balance ini lah yang membantu membawa Inggris kepada kemajuan ekonomi dan mempelopori revolusi industri kemudian.
Kemarahan atas pajak yang dirasa tidak adil juga yang menjadi cikal bakal lahirnya negara Amerika Serikat. “Taxation without representation” adalah rationale atas pemberontakan 13 koloni Inggris di Amerika utara yang tetap harus membayar pajak kepada negara di seberang Atlantik namun tidak memiliki representasi di parlemen dan orang yang mengurus kepentingan koloni-koloni itu sendiri.
Di negara yang demokrasinya sudah matang, akuntabilitas dan kualitas atas penggunaan uang pembayar pajak adalah fondasi bagi legitimasi sebuah pemerintahan. Sebagai contoh, seluruh Kabinet Mark Rutte di Belanda mengundurkan diri di tahun 2021 akibat kesalahan kebijakan pengadministrasian dinas perpajakan dalam pemberian subsidi childcare.
Kebijakan fiskal dan perpajakan sejatinya bukan hanya domain ekonom, akuntan, atau konsultan pajak. Setiap pembayar pajak khususnya kelas menengah memiliki hak untuk mengawasi setiap rupiah uang kita yang dipungut. Mari kita bantu para pemimpin dan pejabat publik kita untuk mempertanggungjawaban amanah yang kita berikan, setidaknya membantu untuk meringankan hisab mereka di akhirat (bagi yang mempercayai).