Artikel pernah dimuat di opini Harian Pikiran Rakyat 8 Desember 2018
Topik Industri 4.0 yang tengah hangat dibicarakan di kalangan akademisi maupun praktisi membawa sebuah pertanyaan turunan: bagaimana tantangan pekerjaan yang ada di masa depan? Satu kekhawatiran yang muncul adalah teknologi mutakhir dalam Industri 4.0 seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), 3D printing, dan lainnya justru malah mengancam nasib pekerjaan-pekerjaan yang ada saat ini. Pekerjaan yang tergantikan oleh mesin dan teknologi baru akan berimplikasi kepada meningkatnya jumlah pengangguran terbuka dan upah buruh yang semakin murah.
Hal ini bukan tanpa alasan. Di awal tahun 2017, Fukoku Mutual Life, sebuah perusahaan asuransi di Jepang merumahkan 34 orang karyawannya dan menggantikan mereka dengan sebuah mesin AI dari IBM. Mesin tersebut dapat membaca data-data medis dari rumah sakit kemudian menentukan besarnya biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi. Aktivitas tersebut sebelumnya dikerjakan secara manual oleh para pegawai. Dengan mesin tersebut, Fukoku meyakini dapat menghemat pembayaran gaji pegawai sebesar 140 juta yen per tahun dan akan mengalami pengembalian investasi hanya dalam waktu dua tahun.
Tentu kekhawatiran juga muncul di Indonesia apalagi dengan konteksnya sebagai negara berkembang. Hadirnya otomatisasi pekerjaan menjadi ancaman bagi tenaga kerja usia produktif. Yang menjadi korban bukan hanya para pekerja kerah biru lulusan sekolah menengah, tetapi juga fresh graduated atau sarjana muda. Indikasi tersebut terlihat dari data BPS yang melansir bahwa tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas di awal tahun 2018 justru naik 1,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara di sisi lain, di periode yang sama pengangguran lulusan sekolah menengah mengalami penurunan.
Banyak studi empiris yang menyimpulkan bahwa korban terbesar otomatisasi pekerjaan justru adalah pekerja kelas menengah dengan keterampilan menengah (middle-skilled), bukannya pekerja dengan keterampilan rendah (low-skilled). Mereka yang berada di tengah cenderung mempunyai pekerjaan yang bersifat rutin dan prosedural sehingga pekerjannya akan mudah ditiru oleh mesin. Lain halnya dengan pekerjaan keterampilan rendah yang lebih sulit dikodifikasi karena tugasnya lebih manual dan variatif. Selain itu, pekerjaan kelas menengah lebih rentan tergantikan karena upahnya yang tinggi akan sebanding dengan nilai investasi untuk pembelian mesin. Maka tidak heran pekerjaan sebagai operator telepon atau telemarketer lebih rentan diotomatisasi daripada pekerjaan cleaning service misalnya.
Munculnya Pekerjaan Baru
Sebagian pihak di sisi lain lebih optimis menghadapi Industri 4.0. Memang sebagian pekerjaan akan hilang, tetapi akan ada pekerjaan baru yang tercipta yang tidak ada sebelumnya. Dengan adanya platform berbasis crowdworking seperti Gojek dan Grab misalnya, kita jadi mengenal profesi baru bernama sopir ojek dan taksi online, sebuah profesi yang belum terpikirkan sepuluh tahun yang lalu. Begitu pula hadirnya pekerjaan lain yang lebih kompleks seperti data scientist atau software developer yang tengah menjadi tren di dunia start-up.
Wacana hilang dan munculnya ragam pekerjaan sebenarnya bukanlah diskursus baru. Sejak revolusi industri pertama di awal tahun 1800-an, muncul gerakan Luddite yang yang diinisiasi oleh para buruh tekstil di Inggris akibat munculnya mesin-mesin industri. Gerakan ini merupakan gerakan ‘anti-teknologi’ yang memiliki kekhawatiran serupa: otomatisasi akan menghasilkan pengangguran dan menurunkan upah buruh. Namun, faktanya revolusi industri justru membuka lembaran baru peradaban manusia. Pabrik-pabrik didirikan dan permintaan akan pekerja bertambah karena mesin tetap butuh dioperasikan oleh manusia. Artinya, ternyata dalam waku jangka panjang teknologi baru justru berjalan beriringan dengan manusia, meningkatkan produktivitas para pekerja, dan pada akhirnya meningkatkan upah mereka. Sejak itulah pandangan pesimis terhadap otomatisasi pekerjaan sering disindir dengan istilah ‘Kekeliruan Luddite’.
Ekonom kenamaan dari Massachussets Institute of Technology (MIT) Daron Acemoglu memperkenalkan istilah efek balik (countervailing effect). Ia berpendapat teknologi baru justru akan meningkatkan permintaan pekerjaan yang semula digantikan olehnya. Contohnya mesin ATM yang mulai menggantikan pekerjaan teller bank di tahun 1970-an. Sejak saat itu, jumlah pegawai teller bank di dunia bukannya menurun melainkan terus bertambah. Di sinilah letak efek baliknya. Mesin ATM meningkatkan produktivitas bank sehingga mereka mampu membuka cabang baru dan menambah rekrutmen teller-teller baru. Selain itu, akan selalu ada tugas-tugas baru bagi teller bank yang tidak bisa diotomatisasi oleh mesin ATM, seperti misalnya pembukaan tabungan pendidikan, pengajuan KPR, atau pencairan cek dan giro.
Sementara itu David Autor, ekonom lain dari MIT, mengemukakan alasan lain yang mendukung optimismenya terhadap masa depan pekerjaan manusia. Menurut Autor, sifat manusia yang tidak pernah puas-lah yang menjadikan pekerjaan-pekerjaan baru akan selalu muncul di masa depan. Di tahun 1900, 40 persen masyarakat Amerika Serikat bekerja di sektor agrikulutural. Hari ini hanya 2 persen saja yang bekerja sebagai petani. Memang benar teknologi membuat pekerjaan yang dulu perlu dilakukan oleh 40 orang menjadi dapat dilakukan hanya oleh 2 orang. Namun, bukan berarti 38 orang sisanya menjadi pengangguran. Mereka berpindah ke sektor lain seperti jasa, finansial, kesehatan, dan kini sektor digital untuk mengerjakan hal-hal lain demi memuaskan hasrat manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang baru.
Belajar Adalah Kunci
Kita boleh saja memiliki preferensi sikap menghadapi tantangan industri 4.0 hari ini: apakah pesimis terhadap ancaman otomatisasi pekerjaan atau tetap optimis bahwa pekerjaan baru akan selalu muncul di masa depan. Namun, satu hal yang pasti, kita ingin teknologi justru menjadi komplemen bagi pekerjaan kita dan meningkatkan produktivitas kita dalam bekerja. Jangan sampai teknologi menjadi substitusi yang mengancam posisi pekerjaan kita.
Perlombaan antara manusia dengan teknologi bagaimanapun akan tetap dimenangkan oleh manusia selama kita mampu beradaptasi dengan perubahan. Sikap adaptif yang didukung oleh kreativitas dan inisiatif dalam bertindak akan membuat pekerja mampu memanfaatkan teknologi baru untuk memudahkan pekerjaannya. Alih-alih merasa terancam, keberadaan teknologi baru malah akan menambah giat para pekerja untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak pernah terpecahkan sebelumnya.
Kunci dari kemampuan adaptasi tersebut ada pada institusi pendidikan. Tantangan menghadapi industri 4.0 bagi perguruan tinggi maupun sekolah menengah adalah menyiapkan lulusan yang adaptif yang dapat terus memperbaharui diri tanpa terjebak dengan pekerjaan rutin yang bersifat prosedural. Seorang pekerja harus mampu ‘naik kelas’ dari pekerja medioker menjadi pekerja dengan keterampilan tinggi (high skilled) dengan cara terus-menerus belajar. Semangat belajar tanpa henti inilah yang perlu ditanamkan sejak di sekolah dan di kampus. Dengan semangat tersebut, pasca-lulus dari sekolah atau kampus, kita tidak akan pernah berhenti mengembangkan diri: belajar otodidak melalui pelatihan tersertifikasi, kuliah online, atau sekadar membaca buku-buku terbaru. Dengan sikap adaptif tersebut, kita akan selalu siap menghadapi bagamaina pun bentuk rupa pekerjaan di masa depan.
===
Sumber gambar: Foto Karya Alex Knight- Unsplash