Dari Ahlul Hadis ke Ahlussunnah wal Jamaah: Geneaologi Politik Sunnisme dan Perebutan Otoritas Islam

Sejarah awal Ahlussunnah tidak dapat dilepaskan dari konteks pertarungan intelektual dan kekuasaan di era Abbasiyah. Sebelum menjadi terminologi mapan, yang dikenal terlebih dahulu adalah sebutan Ahlul Hadis, yakni kelompok ulama yang secara konsisten menolak penggunaan akal spekulatif dalam agama, dan berpegang teguh pada literalitas hadis. Tokoh sentral gerakan ini adalah Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), yang menolak paham khalq al-Qur’an (kemakhlukan Alquran) yang didukung oleh penguasa saat itu. Dalam Siyar A‘lam al-Nubala’, al-Dzahabi menobatkannya sebagai “Imam Ahl al-Sunnah” karena konsistensinya membela otentisitas ajaran Nabi di tengah tekanan Mu’tazilah dan negara.

Dalam konteks ini, Ahlul Hadis bukan hanya istilah teologis, tetapi juga identitas oposisi terhadap kekuasaan intelektual resmi yang dipengaruhi Mu’tazilah. Madzhab Hanbali, yang menjadi wadah formal bagi para pejuang hadis, muncul sebagai benteng “tekstualisme” yang menolak keras pendekatan spekulatif dan rasional dalam memahami agama. Tidak heran jika dalam fase ini, madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki belum secara langsung diasosiasikan dengan Ahlul Hadis, karena penyebaran ketiganya bersinggungan dengan kalangan sufi, Mu’tazilah, dan bahkan kelompok Syiah.

Misalnya, madzhab Hanafi banyak dianut oleh kalangan rasionalisme Mu’tazilah di Kufah dan Basrah. Fakta ini dikonfirmasi oleh Ibn Sa’ad dalam Tabaqat al-Kubra dan juga oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, yang mencatat keterlibatan beberapa ulama Hanafi dalam diskursus rasionalisme. Adapun madzhab Maliki banyak dipraktikkan oleh Syiah Imamiyah di Madinah; sedangkan madzhab Syafi’i mengalami proses sinkretik dengan tasawuf di Mesir dan diaspora Syiah Zaidiyah di Yaman (lihat: al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal). Genealogi ini menunjukkan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah bukanlah entitas utuh sejak awal, melainkan produk evolusi sosial-politik dan konsensus ulama lintas madzhab dalam merespons kontestasi keagamaan.

Ketika Khalifah al-Mutawakkil (w. 247 H) naik takhta, arah kekuatan negara berpindah kepada kelompok Ahlul Hadis, termasuk Ahmad bin Hanbal. Pemerintahan al-Mutawakkil dikenal membalik arus kekuasaan dari Mu’tazilah ke pihak tradisionalis. Dalam Tarikh al-Tabari, dicatat bahwa pengaruh Mu’tazilah dihapuskan, dan posisi politik serta keagamaan Ahlul Hadis menguat. Dari sinilah, legitimasi sosial Ahlul Hadis mulai tumbuh dan menjadi fondasi pembentukan identitas Sunni.

Transformasi penting terjadi ketika Abu al-Hasan al-Asy‘ari (w. 324 H)—seorang mantan teolog Mu’tazilah—mengklaim bahwa ia bermimpi tiga kali bertemu Rasulullah SAW yang memerintahkannya untuk membela hadis Nabi. Dalam al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, ia menegaskan perpindahannya ke mazhab Ahlul Hadis. Namun, ia tidak menolak akal sepenuhnya. Melalui pendekatan kompromi antara akal dan teks, ia membentuk corak baru yang menjadi fondasi Ahlussunnah versi kalam.

Kata “Ahlussunnah” yang diikuti “wal Jamaah” sendiri baru berkembang belakangan ketika madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i secara politis dan ilmiah diintegrasikan ke dalam arus ortodoksi. Ketika madzhab Maliki dilepaskan dari keterkaitan dengan Syiah Imamiyah, para pengikutnya berpindah menyandarkan identitas madzhab kepada Imam Ja’far Shadiq (w. 765 M), sehingga muncullah madzhab Ja’fari sebagai distingsi permanen dari arus Sunni (lihat: al-Tusi, al-Rijal; dan al-Majlisi, Bihar al-Anwar).

Adapun madzhab Hanbali terus melestarikan semangat Ahlul Hadis. Pada masa belakangan, gerakan ini mendapatkan momentum teologis dan politis melalui Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Dalam Majmu‘ Fatawa, Ibnu Taimiyah mengkritik keras penggunaan filsafat dan tasawuf ekstrem. Gagasannya kemudian diadopsi oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H), yang menolak semua bentuk bid’ah, dan membangun gerakan purifikasi Islam berbasis Hanbalisme. Gerakan ini disokong politik oleh keluarga Saud dan menjadi fondasi berdirinya Kerajaan Saudi.

Dengan menjadikan mazhab Hanbali sebagai mazhab resmi negara, proyek Wahabi menyempurnakan transformasi Ahlul Hadis menjadi kekuatan negara—sebuah ortodoksi yang berpijak pada teks, dimodernisasi oleh tafsir literalis, dan dikokohkan oleh kekuasaan. Maka seperti dikatakan oleh Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah: “al-Din wa al-Sulthan taw’aman”—agama dan negara adalah kembar: saling menopang atau saling menghancurkan.

Tulisan ini diakhiri dengan kutipan khas Ahlussunnah: mā qatha’tum mil linatin au taraktumuha qā-imatan ‘ala ushuliha fabi-idznillah
walā taqūlanna lisyai-in innī fā’ilun dzalika ghadā, illā an yasyā allah

Pakta_Warsawa