Turbulensi Jiwa di Era Teknologi: Membaca Ulang Deleuze dan Guattari

Alienasi manusia terbentuk oleh Sistem, Kedirian manusia tercipta dari Energi kosmik yang universal.

Perkembangan teknologi digital pada abad ke-21 ini telah membawa dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan manusia, tidak hanya dalam aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga sangat berdampak pada keadaan psikologis dan eksistensial diri manusia.

Salah satu fenomena yang menonjol dari perubahan ini adalah munculnya kondisi yang bisa disebut sebagai turbulensi jiwa. Istilah ini merupakan metafora yang menggambarkan keadaan batin manusia yang tidak lagi stabil, melainkan terus-menerus diguncang oleh berbagai pengaruh eksternal yang sulit dikendalikan—terutama oleh teknologi. Di tengah arus informasi yang tak henti-hentinya, manusia modern kerap mengalami kegamangan dalam memahami dirinya sendiri, dalam menyusun keinginan-keinginannya, dan dalam membentuk kesadaran yang utuh atas kehidupannya.

Meminjam kerangka pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari, yang berjudul Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, keinginan manusia tidak pernah berada dalam keadaan yang tetap atau tunggal. Keinginan, menurut deleuze dan guattari, adalah energi yang terus bergerak, berfluktuasi, dan terlibat dalam proses produksi sosial. Ia tidak berasal dari kekurangan seperti dalam pandangan psikoanalisis klasik, tetapi justru merupakan kekuatan produktif yang secara terus-menerus dibentuk dan diarahkan oleh konteks sosial, politik, dan ekonomi.

Namun, dalam konteks masyarakat teknologi informasi seperti saat ini, keinginan manusia tidak hanya berfluktuasi secara alami, melainkan mengalami distorsi karena pengaruh teknologi digital yang bersifat sistemik. Algoritma, media sosial, dan berbagai bentuk kecerdasan buatan kini tidak hanya merekam perilaku dan preferensi kita, tetapi juga aktif dalam membentuk dan mengarahkan keinginan kita. Manusia diposisikan bukan lagi sebagai subjek yang mengendalikan kehendaknya, tetapi sebagai objek yang secara halus dimanipulasi oleh sistem. Dalam situasi ini, keinginan tidak lagi mencerminkan kebutuhan atau hasrat yang otentik, melainkan hanya cerminan dari mekanisme pasar digital dan logika kapitalisme data.

Konsekuensi dari proses ini adalah munculnya perasaan keterasingan terhadap diri sendiri. Ketika seseorang terus-menerus dibombardir oleh tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma digital, mengikuti tren, dan merespons rangsangan yang cepat berubah, maka manusia akan kehilangan pijakan batin atau kedirian nya yang stabil. Ia tidak lagi dapat mengenali siapa dirinya yang sejati. Keadaan ini, yang dalam kerangka Deleuze dan Guattari disebut sebagai kondisi skizofrenik, bukan merujuk pada gangguan kejiwaan dalam pengertian klinis, tetapi pada kondisi sosial di mana identitas individu terfragmentasi dan kesadarannya terpecah oleh berbagai tekanan eksternal yang bertentangan.

Di sinilah teknologi tidak hanya berperan sebagai alat, tetapi juga sebagai kekuatan ideologis. Ia menciptakan semacam kesadaran palsu (false consciousness), dalam istilah Marx, yakni suatu kondisi di mana manusia merasa bahwa apa yang ia alami adalah sesuatu yang wajar, menyenangkan, dan memuaskan, padahal sebenarnya ia sedang berada dalam tekanan yang membuatnya teralienasi. Teknologi membungkus kekosongan eksistensial itu dengan tampilan yang menggoda: hiburan tanpa henti, komunikasi instan, dan ilusi keterhubungan yang membuat manusia merasa tidak sendirian, padahal secara batin justru semakin terisolasi.

Situasi ini semakin menegaskan bahwa teknologi modern bukan hanya menimbulkan ketergantungan, tetapi juga bekerja sebagai semacam anestesi kultural. Ia menenangkan manusia dalam keterasingannya, tetapi pada saat yang sama memperdalam jurang antara diri manusia dengan realitas dirinya sendiri. Ketika kesadaran manusia sepenuhnya terjerat dalam konstruksi digital yang tidak ia kuasai, maka yang tersisa adalah perasaan hidup yang semu. Hidup seperti berjalan tanpa arah, tanpa makna, dan tanpa pusat. Seolah hidup, tapi sesungguhnya tidak benar-benar hidup.

Melalui paradigma Deleuze dan Guattari, kita dapat memahami bahwa fenomena ini bukan sekadar efek samping dari modernitas, tetapi merupakan bagian dari logika struktural kapitalisme kontemporer yang menyusup hingga ke wilayah paling intim dari kehidupan manusia: jiwa dan keinginannya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kesadaran kritis baru untuk melihat bagaimana teknologi telah mengubah cara kita berkeinginan, berpikir, dan merasa. Tanpa kesadaran ini, manusia modern akan terus terperangkap dalam turbulensi psikis yang tak kunjung reda—suatu kondisi batin yang tak stabil, penuh kebingungan, dan kehilangan arah terhadap makna hidup yang sebenarnya .

Simpulan

Teknologi digital dan kapitalisme kontemporer bekerja bersama‑sama memasuki ranah terdalam diri manusia—jiwa dan keinginan—hingga menimbulkan turbulensi psikis yang memutus keterhubungan kita dengan identitas otentik. Mengikuti kerangka Deleuze dan Guattari, keinginan bukanlah dorongan alamiah yang stabil, melainkan energi yang terus dimodulasi oleh algoritma, pasar data, dan arus informasi yang tak putus. Tanpa kesadaran kritis, manusia modern terseret dalam kenyamanan semu: merasa terhubung, namun sebenarnya terasing dan kehilangan arah makna.

Ironisnya, kecerdasan buatan yang digadang‑gadang mampu meredakan beban hidup justru berpotensi memperdalam luka baru – penderitaan kontemporer yang tak terlihat tetapi menggerogoti rasa kemanusiaan. Jalan pemulihan tidak terletak pada pelarian untuk menolak total sistem teknologi digital, melainkan pada keberanian mengambil jeda dan jarak : menunda konformitas algoritmik dan mengakui penderitaan sebagai pengalaman eksistensial yang membentuk, menguji, dan memurnikan diri. Hanya dengan kesadaran reflektif semacam ini manusia dapat kembali merumuskan keinginan yang sungguh‑sungguh, memulihkan otonomi batin, dan menemukan makna hidup yang sejati di tengah derasnya teknologi.