Menyoal Kebijakan Dedi Mulyadi yang Nonsens

Dedi Mulyadi, gubernur Jabar (Jawa Barat) periode 2025-2030, tengah berada di puncak karir politiknya. Ia semakin dikenal melalui berbagai konten dan kebijakan-kebijakannya yang dinilai kontroversial oleh sebagian besar masyarakat kita. Di antara berbagai kebijakannya yang kerap kali menuai pro-kontra adalah perihal syarat penerimaan bantuan sosial (bansos).

Dedi Mulyadi (selanjutnya DM) menyampaikan pada koordinasi Pemprov Jabar di Gedung Balai Kota Depok (29/04/2025) bahwa syarat menerima bansos adalah menjalani vasektomi terlebih dulu dengan usulan pemberian insentif sebesar lima ratus ribu rupiah bagi warga yang bersedia melakukan prosedur tersebut. Tujuan dari kebijakannya ini tak lain untuk meringankan beban keluarga prasejahtera dan sebagai cara strategis untuk menangulangi kemiskinan.

Ada banyak pihak yang menolak dengan tegas kebijakan yang digagas oleh DM tersebut, termasuk lembaga-lembaga keagamaan seperti PBNU dan MUI. Walaupun tak sedikit pula yang mendukung kebijakan DM itu secara membabi-buta. Intinya, bagi mereka adalah sebagai warga Jabar penting untuk mendukung DM, tanpa harus repot-repot melakukan investigasi atau rasionalisasi yang memadai.

Dalam kasus ini, saya pribadi pernah mengalami hate speech secara online oleh mereka yang mendukung setiap kebijakan DM, dengan menyebutnya sebagai “Bapak aing”, ketika saya hendak mencoba mengungkapkan penolakan atau kritik saya terhadap kebijakan DM tersebut. Ancaman dan caci-maki dari para pendukungnya yang fanatik, atau orang-orang yang sebatas terbawa arus karena arogansi identitas yang dangkal sebagai warga Jabar, memenuhi notifikasi media sosial saya.

Alasan penolakan atas kebijakan bansos dengan mensyaratkan vasektomi itu sendiri, bagi saya pribadi yang juga termasuk warga Jabar, yakni karena bansos merupakan hak bagi rakyat miskin yang harus dipenuhi oleh negara, dan tak ada kaitannya dengan urusan reproduksi seksual. Hal ini telah termaktub dalam UUD 1945 atau dalam amanat konstitusi kita yang mana negara wajib melindungi fakir miskin dan anak-anak terlantar. Selain itu, negara pun harus mampu membuat kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi rakyatnya, bukan hanya dibebankan dan selalu menyalahkan warga negaranya sendiri dengan berbagai cara atau kebijakan yang ngawur.

Sedangkan tentang reproduksi seksual adalah urusan setiap individu sebagai bagian dari citizenship yang mana setiap individu tersebut memiliki hak yang sama yang telah diatur dan dijamin dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Akhirnya, kebijakan DM perihal bansos yang mensyaratkan vasektomi bagi penerimanya itu tidaklah memiliki dasar yang kuat, baik secara hukum atau hak asasi.

Hal ini pun menunjukan dengan sangat gamblang bahwa DM sebagai gubernur Jabar nyatanya tidak memiliki keberpihakan pada wong cilik, meskipun dengan berulangkali menggunakan ribuan retorika populis (menangulangi kemiskinan, peduli pada rakyat miskin, dll.), dan justru sebaliknya semakin meminggirkan kalangan rakyat miskin dari kehidupan sosial dan ekonominya sebagai warga negara.

Bisa dibilang, bagi saya, setiap retorika populis DM melalui program bansos yang mensyaratkan vasektomi hanyalah akal-akalannya saja untuk mengumpulkan dukungan politik berkepanjangan atau hanya untuk meraup adsenses semata. Sebab DM sendiri selalu menjadikan setiap tugasnya sebagai gubernur, atau aktivitasnya di lapangan, sebagai konten di media sosial. Maka tak heran apabila ia disebut sebagai “gubernur konten”.

Kemudian kebijakan lainnya yang banyak menuai perdebatan di tengah perbicangan politik masyarakat kita hari ini, khususnya warga Jabar, adalah program pengiriman setiap siswa pelajar yang dianggap bermasalah, atau “mbeling”, ke barak militer. Ditambah lagi dengan disusulnya kebijakan tentang berlakunya jam malam bagi setiap siswa pelajar di kawasan Jabar. Kebijakannya ini pun menuai banyak sorotan dan kritik dari berbagai kalangan dan media.

Dalam laporan Tempo (20/05/2025), DM telah merealisasikan programnya itu ke barak militer pada tanggal 2 Mei kemarin yang berkerja sama dengan TNI AD. Tiap siswa akan mengikuti program itu di sekitar 30 sampai 40 barak khusus yang telah disiapkan oleh TNI untuk diikutkan pembinaan yang akan berlangsung selama enam bulan persiswa. Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana mengatakan program pembinaan siswa itu sendiri bernama Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan.

Di lain pihak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik program pengiriman siswa ke barak militer tersebut. Selain tak memiliki dasar hukum yang jelas, KPAI juga mengungkapkan bahwa adanya praktik intimidatif dalam pelaksanaan program pendidikan karakter yang digagas oleh DM. Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan bahwa para siswa yang menolak mengikuti program ini bahkan mendapat ancaman tidak naik kelas.

KPAI juga menemukan adanya ketidakpastian dalam penentuan siswa nakal yang akan dikirim ke barak. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar ihwal siapa yang sebenarnya memberikan rekomendasi agar siswa mengikuti program tersebut tanpa melalui asesmen sosiologis-piskologis atau prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan. KPAI mencatat sekitar 6,7 persen anak menyatakan tidak tahu alasan mereka dikirim ke program itu. Ini menjadi tanda bahwa proses seleksi peserta masih sangat bermasalah.

Sementara Institute For Criminal Justice Refrom (ICJR) dalam rilisnya menyatakan bahwa Pendisiplinan anak dengan cara pendekatan militer secara jelas melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 13 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Anak atau siswa pelajar yang sebenarnya masih dalam tahap perkembangan psikososial seharusnya menerima perlindungan khusus seperti layanan rehabilitasi psikologis, bukan perlakuan yang memperburuk kondisi mentalnya. Pendekatan militeristik seperti ini bertentangan dengan semangat Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990, yang menghimbau negara untuk mengambil langkah yang layak untuk melindungi anak dari kekerasan fisik ataupun mental.

Dengan demikian, program ini pun telah menunjukan bagaimana nalar militeristik warisan Orde Baru itu bekerja, terutama di rezim pemerintahan hari ini yang nampaknya semakin bergulir ke arah sana. Sekalipun DM sendiri merupakan seorang politkus yang lahir di tengah masyarakat sipil, nyatanya ia tetap tak bisa lepas dari tradisi militeristik. DM dengan entengnya mereduksi persoalan anak pada siswa pelajar bisa diselesaikan melalui pendisiplinan bergaya militeristik. Padahal, sudah sangat sejelas bahwa TNI bukanlah suatu institusi pendidikan, yang bertugas untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.

Ada banyak pendekatan atau solusi yang bisa ditempuh dan cenderung lebih efektif, semisal, melalui restorative justice dalam pendidikan, ketimbang pendekatan bergaya militeristik. Pendekatan restorative justice, bagi saya, lebih efektif karena cenderung humanistik dan menekankan empati pada siswa pelajar.

Akan tetapi, DM sendiri gagal, atau tak mau tahu, untuk meninjau pendekatan semacam ini dalam menangani persoalan siswa pelajar, dan mampu melihat persoalan siswa pelajar ini secara lebih luas lagi yang tak hanya meliputi dimensi psikologis, melainkan juga dimensi sosial dan ekonomi. Akhirul kalam, setiap kebijakan yang digagas DM, baik dari kebijakan bansos sampai pendisiplinan siswa pelajar bergaya militer, tidak pernah efisien dan tak masuk akal, atau jika tak bisa dibilang nonsens.

-Dedi Sahara

Tinggal di Bandung. Belajar di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI, Lingkar Studi Filsafat Nahdliyyin, dan Asosiasi Psikoanalisis Indonesia. Meminati kajian filsafat, sastra, psikoanalisis, dan tasawuf.