Agama dan Ekologi: Perspektif Tradisi Islam dan Kristen dalam Budaya Konservasi Lingkungan Hidup

Agama merupakan perspektif interpretasi manusia dalam menerjemahkan pesan-pesan simbol kitab suci, agama menjadi seperangkat ajaran juga laku hidup yang menyeluruh bagi manusia, tak terkecuali tentang lingkungan hidup. Setidaknya pembahasan ini dikerucutkan bagaimana perspektif tradisi dua agama semitik yang berkembang besar dunia tentang isu konservasi lingkungan hidup.

Seturut dengan kehidupan manusia di muka bumi, tidak terlepas dari keterkaitan antara manusia dan lingkungan hidupnya. Agama sebagai way of life, or narration of life dan sebagainya tentu menyebutkan bagaimana perilaku manusia dalam kategori etis memperlakukan serta merawat alam.

Terlebih, jika menurut perspektif Islam, berdasarkan surah al Baqarah ayat: 30, Tuhan menjelaskan tujuan-Nya menciptakan manusia kepada malaikat untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi (red: Qur’an; khalifah fil ardh), yang tentu menjadi tugas yang tidak ringan ditujukkan kepada manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna. Kesempurnaan yang diciptakan Tuhan setidaknya untuk membedakannya dengan makhluk lain, ialah akalnya. Manusia didesain Tuhan memiliki akal supaya mereka mampu mempertimbangkan serta merenungkan amanah yang diberikan.

Begitu fokusnya Allah swt pada alam dan telah mendelegasikan peran-Nya pada manusia sebagai “makhluk yang berpikir”, sehingga keberlangsungan alam juga mestinya turut dalam perhatian manusia sebagai khalifah. Potensi merusak dari manusia tentu ada, barangkali jika manusia itu melihat alam sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai daur hidup yang senantiasa memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Pada tradisi Katolik kita tentu pernah sekilas tahu tentang ensiklik (keputusan Paus) yang dibuat oleh mediang Pope Franciscus pada tahun 2015, Laudato Si’ adalah seruan bagi umat Katolik untuk senantiasa memperhatikan dan bijak dalam mengelola alam, pertobatan ekologis dimaksudkan agar manusia senantiasa “eling” bahwa alam adalah bagian dari daur hidup manusia.

Dalam konteks tradisi Protestan, terutama Lutheran yg di Indonesia salah satu gerejanya adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) melalui penatuanya mengemukakan bahwa masyarakat HKBP dalam hal ini menolak konsesi tambang sebagai bentuk legitimasi moral serta dukungan bagi yang tertindas oleh eksploitasi ekstraktif, juga turut mendorong advokasi-advokasi di wilayah kerja gereja, misalnya di Sumatera Utara, sengketa lahan dengan PT. Toba Pulp Lestari, peran gereja di sini diperlukan untuk memberikan pengingat untuk memerhatikan masyarakat terdampak kegiatan penebangan pohon untuk bahan baku pembuatan kertas.

Penulis kira, konservasi lingkungan bukan hanya berasal dari inisiatif warga lokal, melainkan juga kewajiban etis korporasi untuk menjaga kelangsungan ekologis, dan agama seyogianya menjadi pengingat dan melakukan advokasi moral dan melindungi umat yang terdampak, dengan begitu alam tidak akan marah dan memberi kita dampak bencananya.

 

-Sandrianisme