Jejak Darah di Karbala: Tragedi Husain dan Memori Sejarah Perlawanan (5)

Jejak Bawah Tanah Revolusi Bani Hasyim

Pada paruh akhir kekuasaan Dinasti Umayyah, tepatnya menjelang dekade ketujuh abad ke-2 Hijriah, pengikut Ahlu Bait menemukan momentum perlawanan politik melalui apa yang dikenal sebagai Revolusi Bani Hasyim —sebuah gerakan bawah tanah yang terorganisir dan strategis, menjadi titik balik dari penindasan panjang yang dialami para simpatisan Syiah sejak tragedi Karbala. Gerakan ini secara diam-diam membangun jaringan dukungan melintasi kabilah dan wilayah, memanfaatkan simpati publik terhadap keluarga Nabi, serta ketidakpuasan sosial-politik yang meluas terhadap rezim Umayyah yang saat itu dilanda kemerosotan moral, nepotisme, dan diskriminasi terhadap kaum non-Arab (mawali).

Salah satu aktor penting dalam embrio gerakan bawah tanah tersebut adalah Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Ali al-Hanafiyah, putra dari Muhammad bin Ali al-Hanafiyah, anak Ali bin Abi Thalib dari istrinya Khawlah binti Ja‘far dari Bani Hanifah. Abu Hasyim dikenal sebagai tokoh yang membangun jaringan kader dan simpatisan Syiah di berbagai wilayah penting dunia Islam, seperti Kufah, Hijaz, dan Khurasan. Dalam salah satu perjalanannya menuju Khurasan, ia singgah di kediaman Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, cucu dari Abbas bin Abdul Muththalib. Di sana, secara mengejutkan, Abu Hasyim wafat secara mendadak.

Menurut riwayat yang dicatat oleh sejarawan al-Ya‘qubi dan diperkuat oleh Tarikh al-Thabari, Muhammad bin Ali menemukan dalam tas milik Abu Hasyim sejumlah dokumen penting berisi nama-nama (data base) simpatisan dan struktur jaringan rahasia gerakan revolusioner Syiah yang siap menumbangkan kekhalifahan Umayyah. Wafatnya Abu Hasyim menciptakan kekosongan dalam kepemimpinan organisasi bawah tanah ini. Dengan kecerdikan politik dan legitimasi nasabnya sebagai keturunan Bani Hasyim, Muhammad bin Ali melihat peluang untuk mengambil alih kepemimpinan gerakan yang di kemudian hari secara perlahan menggeser orientasi revolusi dari garis keturunan Ali (Ahlu Bait) ke poros Bani Abbas.

Koalisi pun dibangun secara sistematis. Bani Abbas menggandeng kelompok mawali—kaum Muslim non-Arab yang selama ini tersisih dalam tatanan sosial Umayyah—sebagai mesin penggerak revolusi. Dari sinilah muncul nama Abu Muslim al-Khurasani, seorang aktivis dan agitator ulung dari Khurasan yang menggerakkan api pemberontakan di wilayah timur kekuasaan Islam. Abu Muslim menjadi simbol perlawanan yang cerdik dan revolusioner, dengan strategi militer yang memadukan sentimen keagamaan dan keresahan nasional. Di bawah panji hitam yang dikibarkan sebagai simbol perlawanan, ia memimpin pasukan mawali dalam rangka menggulingkan dinasti yang telah berkuasa hampir seabad.

Puncak revolusi terjadi pada tahun 132 Hijriah (750 M), ketika pasukan revolusioner berhasil mengalahkan tentara Umayyah dalam pertempuran Zab, memaksa khalifah terakhir Umayyah, Marwan bin Muhammad (Marwan II) melarikan diri dan akhirnya terbunuh. Dengan jatuhnya Damaskus, Dinasti Abbasiyah resmi berdiri dengan mengangkat Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas (Abu al-Abbas as-Saffah) sebagai khalifah pertamanya.

Meskipun kampanye awal mengklaim sebagai penegak keadilan bagi Ahlul Bait. Namun sejarah menunjukkan bahwa setelah kekuasaan itu diraih, Syiah Ali justru kembali tersingkir, dan ketegangan politik-teologis antara Abbasiyah dan para keturunan Ali tetap berlangsung hingga beberapa generasi.

Menurut catatan al-Mas’udi dalam Muruj adz-Dzahab, revolusi ini bukan sekadar pergantian dinasti, melainkan hasil dari akumulasi amarah kolektif umat (amuk massa) terhadap sistem dinasti yang korup, dan harapan akan kembalinya spirit keadilan bagi Ahlu Bait. Ironisnya, cita-cita keadilan itu kembali diuji ketika kuasa berpindah tangan. Maka benar ungkapan seorang sejarawan Baghdad: “Dalam setiap revolusi yang mengatasnamakan Ahlu Bait, selalu ada yang menanam, dan selalu ada pula yang memetik sebelum waktunya.”

***

Setelah berhasil menggulingkan Dinasti Umayyah pada tahun 132 Hijriah, banyak pengikut Ahlul Bait yang menaruh harapan besar pada pemerintahan baru itu. Mereka membayangkan bahwa kemenangan atas Umayyah adalah gerbang pembalasan atas kezaliman Karbala dan pengembalian hak-hak Ahlu Bait yang telah lama dipinggirkan. Namun, realitas politik pasca-revolusi jauh dari harapan tersebut. Abbasiyah, yang semula berkampanye membangun legitimasi atas nama Bani Hasyim dengan semangat keadilan Ahlu Bait, secara perlahan justru mempersempit ruang gerak para simpatisan Syiah Ali.

Sebagian kecil dari mereka memang diberikan posisi dalam pemerintahan, namun jabatan yang mereka peroleh tidaklah strategis (Staf TU, Supir, dan Asisten Pembantu Istana). Dalam hal wilayah, para pengikut Ahlu Bait hanya ditempatkan di wilayah-wilayah pinggiran kekuasaan, seperti sebagai gubernur di daerah Thabaristan, Deylam, Yaman, dan sebagian wilayah Maghrib. Namun, jabatan itu lebih bersifat formalitas atau digunakan sebagai alat kompromi politik, bukan sebagai wujud nyata penerimaan ideologis. Bahkan di beberapa kasus, jabatan tersebut diberikan untuk meredam aspirasi mereka, bukan untuk membesarkan pengaruhnya. al-Mas‘udi dan al-Thabari mencatat bahwa para pejabat Syiah di masa awal Abbasiyah sering dicurigai, diawasi, dan dibatasi ruang geraknya, bahkan ada pula yang akhirnya dipanggil kembali ke pusat untuk dikarantina secara halus dari basis pendukungnya.

Para imam Ahlu Bait pun mengalami pengawasan yang lebih ketat. Imam Musa al-Kazhim, misalnya, beberapa kali dipenjara oleh Khalifah Harun ar-Rasyid, karena dituduh memiliki jaringan bawah tanah yang mengancam stabilitas kekuasaan Abbasiyah. Bahkan sebagian besar imam dari garis keturunan Husain hidup dalam bayang-bayang intimidasi dan spionase politik.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setelah naiknya Abbasiyah, kaum Syiah Ali tidak benar-benar menjadi bagian dari kekuasaan. Mereka hanyalah bagian dari legitimasi awal yang kemudian disingkirkan secara sistematis setelah kekuasaan kokoh. Bahkan, beberapa sumber Syiah klasik menyebut peristiwa ini sebagai bentuk pengkhianatan revolusi. Apa yang terjadi setelah kemenangan adalah realisasi dari pepatah Arab yang tajam: Man tazahhar bi al-haqq li yablugh bihi al-mulk, fa idza balaghahu nasiyahu—”Barangsiapa menampakkan kebenaran demi meraih kekuasaan, maka setelah mendapatkannya ia akan melupakannya”.