Jejak Darah di Karbala: Tragedi Husain dan Memori Sejarah Perlawanan (6)

Genealogi Netralitas: Sebuah Kilas Balik

Setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib pada 40 H/661 M, panggung sejarah Islam memasuki babak genting yang kelak menjadi fondasi keretakan internal umat Islam hingga hari ini. Hasan bin Ali, putra sulung Ali, dibaiat oleh mayoritas masyarakat Kufah dan Hijaz sebagai khalifah sah penerus ayahnya. Ia bukan sekadar anak dari menantu Nabi, tapi juga cucu yang sangat dicintai oleh Nabi. Kharisma Hasan bin Ali jelas mengakar di kalangan umat Islam, terutama para sahabat dan tabi’in yang masih menyaksikan sisa-sisa kenabian berdenyut dalam keluarga Nabi.

Namun, muncul pula sosok Muawiyah bin Abi Sufyan—gubernur Syam dan pemimpin faksi penentang Ali sejak Perang Shiffin yang telah membangun kekuatan administratif dan militer sejak masa Utsman bin Affan. Ia menolak baiat kepada Hasan dan mengklaim legitimasi kekhalifahan dirinya. Persaingan ini tak hanya tentang suksesi, tetapi soal persaingan politik antara dua kutub yang merepresentasikan dua wajah Islam: Islam spiritual-politik yang melekat pada Ahlul Bait (Bani Hasyim) dan Islam pragmatis-hegemonik yang dimotori oleh Bani Umayyah. Menariknya, Muawiyah memilih strategi bukan dengan memaksa seluruh kabilah berpihak padanya, tapi cukup membuat mereka bersikap _netral_, menjauhi konflik, dan membiarkan politik tinggi diselesaikan oleh segelintir elit.

Strategi ini membuahkan hasil besar bagi Muawiyah. Di saat Hasan menyatukan dukungan dari basis akar rumput dan loyalis Ahlul Bait, Muawiyah menebarkan jaring pengaruh yang bersandar pada _status quo_ dan stabilitas. Banyak kalangan tabi’in, generasi setelah sahabat (yang pada awalnya mendukung Hasan), memilih untuk tidak berpihak atas dasar menghindari fitnah. Hal itu tentu saja membuat kekuatan Hasan melemah dan memaksanya untuk menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah.

Sikap netral ini yang kemudian dilestarikan, diwariskan, dan akhirnya dilembagakan dalam konstruksi etika khas Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah). Sebuah sikap keagamaan yang lahir bukan hanya dari ijtihad fiqih, tetapi dari warisan sikap apolitis terhadap konflik internal Islam awal. Sikap netral para tabi’in terhadap konflik Muawiyah dan pengikut Ahlul Bait bukan lahir dari ketidaktahuan, melainkan dari kehati-hatian berlebihan yang kerap kali berubah menjadi pembiaran terhadap kezhaliman. Fakta bahwa banyak ulama klasik Sunni kemudian menganggap Muawiyah sebagai _raja pertama dalam Islam_ sebagaimana diungkapkan Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah, memperlihatkan bahwa legitimasi politik bisa dibenarkan atas dasar stabilitas, bukan kebenaran.

Al-Sya’rani dalam Mizan al-Kubra menyebut bahwa mayoritas kaum sufi awal lebih condong menghindari campur tangan dalam konflik politik demi menjaga kejernihan batin. Padahal, yang mereka hindari bukan hanya fitnah politik, tapi juga risiko kehilangan posisi sosial dan keselamatan fisik di bawah tekanan kekuasaan Umayyah. Dalam Tarikh al-Khulafa’, al-Suyuthi bahkan menuturkan bahwa banyak ulama besar masa itu tidak berani menyuarakan penentangan terbuka terhadap Muawiyah, bukan karena setuju, tapi karena situasi politik yang represif.

Sikap netral—yang sejatinya adalah pasif terhadap kezaliman—terlanjur membentuk wajah Islam dominan selama berabad-abad. Ia muncul dalam bentuk madzhab fikih yang menjauhkan diri dari kritik terhadap penguasa. Di kemudian hari, sikap ini dilembagakan oleh mazhab-mazhab Sunni besar yang lahir di bawah pelukan istana. Mazhab Hanafi dibesarkan oleh penguasa Abbasiyah, begitu juga Maliki yang menjadi mazhab resmi Andalusia dan Afrika Utara. Syafi’i—meski awalnya menderita represi dari aparat negara—akhirnya juga dilembagakan di bawah dukungan Bani Abbas. Hanbali pun, meski mengalami penyiksaan di era Mihnah (218–234 H), akhirnya menjadi mazhab resmi Dinasti Seljuk dan Mamluk. Maka tak heran jika dalam sejarah panjang Islam Sunni, lebih mudah menemukan pembenaran terhadap kezaliman daripada dukungan terhadap perlawanan. Sunni, nyatanya bukan dibentuk dari lorong penyiksaan atau gurun pengasingan, seperti Syiah, Khawarij, atau Mu’tazilah. Ia lahir dalam atmosfer kestabilan, di tengah aula para sultan, dan berkembang dalam naungan patronase istana.

Di tengah-tengah kezaliman penguasa, Sunni justru menyerukan al-shabr ‘ala jur al-hukkam (bersabar atas kezhaliman penguasa). Dalam karya Siyar A’lam al-Nubala’, al-Dzahabi (w. 748 H) seringkali menyebut ulama yang menentang penguasa sebagai ahl al-fitnah, sementara yang tunduk disebut ahl al-jama‘ah. Paradigma ini terbawa hingga hari ini. Doktrin seperti taat kepada penguasa meskipun ia fasiq menjadi dogma pakem di mimbar-mimbar Sunni, dengan dalih mencegah kemudaratan lebih utama dari pada menegakan keadilan (mashlahat).

Maka tidak mengherankan juga, dalam isu kontemporer seperti penjajahan Israel atas Palestina, kita menyaksikan banyak kalangan Sunni lebih memilih diam. Bahkan menyerukan netralitas dan perdamaian semu, meski realitasnya adalah kolonialisme terang-terangan. Mereka enggan mendukung perjuangan Palestina hanya karena dipimpin oleh faksi-faksi berafiliasi Syiah seperti Iran, Hizbullah, atau kelompok yang dianggap radikal seperti Hamas.

Ini adalah bentuk baru dari strategi Muawiyah yang dihidupkan kembali—menolak membela karena lebih nyaman menjadi netral. Ironisnya, netralitas ini sering dikemas sebagai ajakan pada perdamaian. Padahal, perdamaian yang tidak berdiri di atas keadilan hanyalah bentuk lain dari dukungan diam-diam terhadap penindasan.