Kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami semata sebagai fenomena statistik atau sekadar deviasi dari standar pembangunan ekonomi yang lazim. Ia merupakan konstruksi historis yang lahir dari relasi kuasa yang timpang, yang sejak masa kolonial telah meminggirkan mayoritas penduduk dari akses terhadap sumber daya produktif. Dalam kerangka political economy of development sebagaimana dikemukakan Wallerstein (1974), kemiskinan di negara-negara periferal seperti Indonesia adalah akibat langsung dari sistem kapitalisme global dan formasi kolonial yang menempatkan koloni sebagai penyedia bahan mentah dan tenaga murah bagi pusat kapital.
Struktur ekonomi-politik yang eksploitatif sejak masa Hindia Belanda meletakkan fondasi bagi ketimpangan sosial-ekonomi, di mana akses terhadap tanah, pendidikan, kesehatan, dan sumber daya lainnya dikonstruksi untuk menopang kepentingan kolonial.
Setelah Proklamasi 1945, struktur timpang itu tidak serta-merta terhapus. Janji keadilan sosial yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal konstitusi menghadapi kenyataan bahwa pembangunan nasional yang ditempuh pasca-kolonialisme tetap berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sering kali dengan mengabaikan agenda redistribusi struktural.
Indonesia memang mengalami penurunan angka kemiskinan makro—dari sekitar 24 persen pada awal reformasi menjadi sekitar 9,3 persen pada 2024—namun kemiskinan struktural tetap bertahan, tercermin pada ketimpangan spasial di beberapa daerah dan dominasi sektor informal yang melibatkan lebih dari separuh angkatan kerja tanpa perlindungan sosial yang memadai.
Kebijakan baru pemerintah, khususnya Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Pengentasan kemiskinan dan Pengahapusan Kemiskinan Ekstrem hadir sebagai bentuk strategi hal-ihwal kemiskinan di Indonesia. Inpres ini memerintahkan sinergi lintas kementerian dan pemerintah daerah dengan fokus pada integrasi program bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi, serta perbaikan layanan dasar. Namun, pendekatan ini, meskipun menunjukkan komitmen pemerintah, masih terbatas pada penyatuan program yang bersifat residual dan belum sepenuhnya menyasar reformasi struktural yang lebih mendasar.
Selama ini, strategi pengentasan kemiskinan Indonesia terjebak pada pendekatan teknokratis-residual. Program-program seperti PKH, BLT, BPNT, KIP, hingga kebijakan dalam agenda pemerintah Prabowo yang menekankan pada penguatan bantuan pangan dan perbaikan gizi, serta perluasan akses pendidikan vokasi dan kesehatan ibu-anak, memang berkontribusi dalam mengurangi beban hidup rumah tangga miskin.
Pemerintah Prabowo melalui koordinasi Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat menargetkan integrasi program berbasis pemberdayaan yang lebih partisipatif, terutama dengan pendekatan pembangunan desa, penguatan ekonomi keluarga, dan revitalisasi koperasi. Namun, pada dasarnya arah kebijakan ini tetap lebih dekat pada pendekatan means-tested welfare yang fokus pada pengurangan gejala kemiskinan ketimbang membongkar relasi struktural penyebabnya. Praktik implementasinya pun menghadapi tantangan fragmentasi program, duplikasi anggaran, dan lemahnya mekanisme partisipasi warga dalam desain dan pengawasan program.
Universal Basic Services (UBS) hadir sebagai alternatif teoritik dan strategis atas kebuntuan pendekatan teknokratis ini. UBS bukan semata kebijakan sosial tambahan, tetapi merupakan proyek politik untuk membangun ulang kontrak sosial antara negara dan warga negara. UBS menegaskan bahwa layanan dasar—pendidikan, kesehatan, transportasi publik, perumahan layak, informasi, dan layanan hukum—harus dipandang sebagai hak universal yang dijamin negara, bukan sebagai komoditas yang diakses berdasarkan kemampuan bayar. Berbeda dengan Universal Basic Income (UBI) yang menekankan distribusi uang tunai, UBS berfokus pada penyediaan langsung layanan yang intrinsically valuable untuk martabat hidup warga (Coote dkk., 2019; Gough, 2019).
Sementara itu, gagasan Universal Basic Income (UBI) kerap diangkat sebagai solusi “revolusioner” menghadapi kemiskinan, disrupsi pasar tenaga kerja — khususnya pasca Covid 19. Namun, UBI justru mengandung kelemahan mendasar jika dilihat dari perspektif keadilan struktural. Dengan menekankan distribusi uang tunai tanpa syarat, UBI cenderung mempertahankan logika pasar: kebutuhan dasar warga tetap dipenuhi melalui mekanisme konsumsi individual, bukan jaminan kolektif negara. Hal ini berisiko melanggengkan komodifikasi kebutuhan dasar karena warga tetap dipaksa bergantung pada pasar untuk mengakses pendidikan, kesehatan, atau perumahan.
Selain itu, dalam konteks ekonomi-politik Indonesia, UBI rentan direduksi menjadi populisme tunjangan tanpa mengubah struktur distribusi kekayaan dan relasi produksi yang timpang. Oleh karena itu, dibanding UBI, UBS menawarkan pendekatan yang lebih transformatif karena berfokus pada pemenuhan hak melalui layanan publik universal yang membebaskan warga dari dominasi pasar atas kehidupan sehari-hari mereka. Berbeda dengan Universal Basic Income (UBI) yang menekankan distribusi uang tunai, UBS berfokus pada penyediaan langsung layanan yang intrinsically valuable untuk martabat hidup warga (Coote dkk., 2019; Gough, 2019).
Dalam kerangka itu, UBS merupakan realisasi dari prinsip decommodification (Esping-Andersen, 1990), di mana layanan dasar dipisahkan dari mekanisme pasar. Gagasan UBS sejalan dengan semangat Inpres No. 8 Tahun 2025 dalam hal menekankan integrasi dan perluasan akses layanan dasar, tetapi berbeda secara mendasar karena UBS menuntut transformasi struktur penyediaan layanan yang bersifat universal, bukan sekadar memperbaiki program berbasis data kemiskinan–Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
Konsep UBS berakar pada kritik atas kegagalan neoliberalisme dan pasar dalam menjamin akses merata atas layanan dasar. Negara-negara Nordik seperti Swedia, Norwegia, dan Finlandia menjadi bukti bahwa layanan dasar universal memperkuat kohesi sosial, menurunkan ketimpangan, dan mendukung pembangunan berkelanjutan.
Pada konteks Indonesia, gagasan ini menemukan dasar kuat dalam konstitusi: Pasal 28H UUD 1945 menegaskan hak atas hidup sejahtera dan pelayanan kesehatan, Pasal 31 menjamin hak atas pendidikan, dan Pasal 34 memerintahkan negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Namun, dalam praktik, amanat ini direduksi menjadi program bersyarat yang bersifat residual, dengan negara berperan lebih sebagai last-resort provider ketimbang primary guarantor kesejahteraan rakyat (Titmuss, 1974).
Inisiatif pemerintah Prabowo melalui Kemenko Pemberdayaan Masyarakat untuk mendorong kolaborasi komunitas, pendampingan usaha, dan koperasi rakyat patut diapresiasi, tetapi untuk dapat mendekati cita-cita UBS, dibutuhkan lebih dari sekadar koordinasi teknis—yaitu keberanian untuk memprioritaskan layanan dasar universal dalam anggaran dan kebijakan nasional.
Implementasi UBS di Indonesia mensyaratkan reformasi struktural. Pertama, reformasi fiskal melalui sistem perpajakan progresif yang mengoreksi ketimpangan distribusi kekayaan, termasuk melalui pajak kekayaan, warisan, dan karbon (Piketty, 2014). Kedua, realokasi anggaran dari belanja regresif (seperti subsidi energi yang bias kelas) ke investasi dalam layanan dasar. Ketiga, reformasi birokrasi agar lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari relasi rente (Winters, 2011). UBS juga mensyaratkan pembangunan infrastruktur sosial yang masif: sekolah, rumah sakit, hunian rakyat, transportasi publik, jaringan informasi, dan layanan hukum.
Kebijakan pemerintah saat ini, termasuk lewat Inpres No. 8 Tahun 2025, memang menyinggung penguatan layanan dasar, tetapi dalam kerangka UBS hal ini harus dibarengi dengan pendekatan yang menjadikan layanan dasar sebagai hak universal, bukan sekadar intervensi untuk kelompok rentan.
UBS pada dasarnya juga menawarkan kerangka pembangunan baru bagi Indonesia: pembangunan yang people-centered (Sen, 1999) dan berbasis pada ukuran kesejahteraan rakyat, bukan semata angka pertumbuhan PDB. Di tengah krisis iklim, disrupsi teknologi, dan ketidakpastian ekonomi global, UBS menjadi instrumen kunci dalam membangun negara kesejahteraan yang berkeadilan sosial sekaligus berkelanjutan secara ekologis. Transportasi publik ramah lingkungan, perumahan layak huni, dan layanan kesehatan universal berbasis sistem hijau merupakan contoh konkret UBS sebagai pilar green welfare state.
Realisasi UBS jelas menghadapi hambatan, baik teknis maupun politis. Namun, sejarah menunjukkan bahwa perubahan struktural selalu lahir dari keberanian politik, konsolidasi gagasan, dan mobilisasi sosial. UBS adalah proyek pembebasan sosial yang menempatkan negara pada peran sejatinya: sebagai penjamin martabat dan kesejahteraan seluruh warga. Dengan mengadopsi UBS, Indonesia tidak hanya membangun keadilan sosial di dalam negeri, tetapi juga menegaskan posisinya sebagai pelopor pembangunan berkeadilan di kawasan global selatan.
Universal Basic Services bukan hanya tawaran kebijakan teknis, tetapi harus dipahami sebagai sebuah proyek politik yang menantang struktur kekuasaan dan logika pembangunan yang telah mapan. Dalam kerangka critical social policy, UBS merepresentasikan pergeseran dari paradigma welfare residual menuju paradigma welfare universalism, di mana negara tidak lagi menempatkan layanan dasar sebagai instrumen untuk “mengatasi kegagalan pasar” secara sementara, tetapi sebagai bagian integral dari pemenuhan hak warga negara. Dalam hal ini, UBS mendobrak dominasi pendekatan berbasis means-tested yang secara implisit mereproduksi relasi subordinasi antara negara dan warga miskin.
UBS juga menawarkan perangkat teoretis yang kuat untuk merekonstruksi relasi negara, pasar, dan warga dalam pembangunan. Sebagaimana dijelaskan Gough (2019), UBS merupakan upaya untuk re-embed pasar dalam kerangka kolektivitas sosial, mengembalikan fungsi negara sebagai primary agent dalam menjamin kesejahteraan. Dengan UBS, negara tidak hanya mengatur pasar atau memberikan subsidi untuk memperbaiki pasar, tetapi secara aktif mengambil alih fungsi-fungsi strategis penyediaan layanan dasar yang esensial untuk kehidupan bermartabat.
Penerapan UBS dalam konteks Indonesia juga sejalan dengan gagasan pembangunan berbasis hak (rights-based development), di mana layanan dasar bukanlah pemberian belas kasihan negara atau bantuan untuk “kaum lemah”, melainkan bentuk pemenuhan hak konstitusional. Hal ini mengacu pada mandat konstitusi (UUD 1945) yang dengan jelas mengakui hak atas kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan kehidupan yang layak. Sayangnya, dalam praktik kebijakan, amanat ini sering tereduksi menjadi retorika politik atau program jangka pendek yang tidak menyentuh akar struktur ketidakadilan distribusi.
Dari sisi ekonomi politik, UBS juga dapat dilihat sebagai strategi untuk mengintervensi secara langsung mekanisme akumulasi kapital yang selama ini mengabdi pada kepentingan segelintir elite ekonomi-politik. Oligarki kebijakan sosial (Winters, 2011) telah lama membajak agenda kesejahteraan demi melanggengkan kontrol atas sumber daya ekonomi. Dengan kata lain, UBS adalah alat untuk mengembalikan agenda sosial ke pangkuan warga negara, bukan sekadar instrumen bargaining elite dalam negosiasi politik.
Secara geopolitik, keberhasilan UBS di Indonesia akan memiliki dampak simbolik dan strategis bagi kawasan global selatan. Selama ini, wacana negara kesejahteraan sering diidentikkan dengan model negara-negara utara yang kaya. Penerapan UBS di Indonesia akan membuktikan bahwa negara berkembang pun mampu membangun model kesejahteraan berbasis hak yang sesuai dengan konteks sosialnya. Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai pelopor alternatif pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Yang perlu digarisbawahi, UBS bukan utopia. Tantangan realisasinya nyata: resistensi elite, lemahnya komitmen politik, hingga keterbatasan kapasitas birokrasi. Namun, sejarah menunjukkan bahwa transformasi sosial selalu bermula dari keberanian untuk membayangkan tata dunia baru, disertai perjuangan politik yang konsisten untuk mewujudkannya. UBS adalah imajinasi politik semacam itu—sebuah visi masyarakat Indonesia yang lebih setara, sejahtera, dan bermartabat, di mana setiap warga tidak sekadar diperlakukan sebagai konsumen pasar, tetapi sebagai pemilik sah negara dan penerima manfaat utama pembangunan.