Bencilah Gurumu, Selama Ia Menjadi Budak Hasrat yang Menyedihkan!

Judul: Genanse og Verdighet (Aib dan Martabat)
Penulis: Dag Soltad
Penerjemah: Irwan Syahrir
Penerbit: Marjin Kiri
Halaman: 138
ISBN: 9789791260572

Jika tidak ingin dianggap sebagai murid tak tahu diri atau menjadi santri yang kualat, maka menghormati seorang guru adalah keniscayaan. Guru merupakan sosok yang sangat berjasa bagi kita. Melalui seorang guru lah kita mendapatkan ilmu dan barokahnya, yang kelak sangat berguna bagi kehidupan ini.

Karena itu kita wajib menghormati guru, memuliakan dan ta’dhim pada mereka layaknya orang tua kita sendiri. Bahkan Imam Ali ra. pernah berkata, “Aku adalah budak bagi orang yang pernah mengajariku walau hanya satu huruf, jika ia mau aku dijual ataupun dibebaskan, terserah padanya”. Betapa penting dan berharganya seorang guru ini hingga dimuliakan oleh Imam Ali.

Namun, persoalannya adalah guru yang seperti apa? Bagaimana jika ada seorang guru yang jauh dari sifat teladan, hingga lumrah kiranya jika seorang murid atau santri membenci guru tersebut? Atau kita harus tetap patuh pada sosok guru yang tak patut diteladani itu? Mungkin, hanya Ustadz Fellix Siauw yang tahu.

Lagian tulisan ini bukan untuk memperdebatkan hal seperti itu. Di sini saya hanya ingin mengulas sedikit tentang kisah seorang guru yang sangat menyedihkan dalam novel Aib dan Martabat (2016) terbitan Marjin Kiri, yang barangkali sifatnya itu bisa ditemukan pada guru-guru Anda.

Sejak muda guru Rukla merupakan sosok yang mudah terserang penyakit hati. Hal itu terus berlanjut sampai ia menapaki umur tua. Ia pun menjadi pemabuk paling wahid di usianya yang ke-56. Setiap malam, setelah istrinya lelap mendengkur, ia akan menenteng sebotol minuman di depan jalan apartemennya seraya merenungi nasibnya yang amburadul. Mengutuki berbagai soal kehidupan seperti koran dan televisi, para koleganya yang menjadi budak hutang, bahkan demokrasi.

Paginya, ia akan kembali mengajar sastra klasik yang membosankan: naskah drama Henrik Ibsen berjudul Itik Liar, yang telah menjadi warisan budaya kolektif masyarakat Nowergia. Di dalam kelas, kegalauan guru Rulka semakin pukal saat mendapati murid-muridnya dengan wajah jenuh dan penuh kebencian. Sampai kedongkolannya memuncak dan ia bertindak konyol di hadapan murid-muridnya; menghancurkan payung rongsoknya di depan halaman sekolah hingga ia pergi mengembara tak tentu arah seperti Odisius.

Kondisi hidup yang dialami oleh guru Rukla, tokoh utama dalam novel Dag Solstad ini, memang sangat menyedihkan. Pergulatan guru Rulka dengan dirinya sendiri dan sosialnya itu, barangkali perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dari sekitarnya. Jika diteropong melalui psikoanalisa, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan sosialnya itu merupakan proses dialektika hasrat: hasrat akan pengakuan dan bahwa sisi gelap manusia adalah perjuangan akan pengakuan itu. Jadi bisa dibilang, keberadaan guru Rulka secara fisik adalah sebagai suatu hasrat—yang bisa jadi bagian dari hasrat pengarangnya juga—akan sesuatu seperti kesenangan, pembalasan dendam, pemenuhan, pengakuan, kuasa, dan lainnya. Maka mudah saja memahami tingkah laku guru Rulka yang keblinger dalam novel Aib dan Martabat ini.

Berbeda dengan guru Rukla yang cenderung impulsif dan selalu bernasib sial. Johan Corneliussen, sohib terbaik guru Rukla, merupakan seorang mahasiswa filsafat yang cukup populer di kampusnya. Ia memiliki semangat hidup dan sangat tertarik pada filsuf besar, Immanuel Kant. Johan mendapatkan gelar magister atas tesisnya tentang hubungan Kant dan Marx. Johan merasa nyaman dengan guru Rukla dan menjadikan ia sebagai sohib terbaiknya. Semasa mudanya, mereka berdua banyak melakukan petualangan menyenangkan dan sering berdiskusi perihal olahraga, film, sastra, filsafat, dan politik.

Persitiwa-persitiwa yang telah mereka berdua jalani, terekam kuat dalam ingatan sang guru Rulka. Hal itu membuatnya gelisah dan kesepian yang berlarat-larat. Menurut Lacan, kegelisahan berkaitan dengan hasrat, dan hasrat muncul dari kekurangan (lack). Hasrat merupakan esensi manusia, yang sifatnya asing dan tak terpahami. Kegelisahan terjadi ketika ada kekurangan yang terjadi seperti tak tersalurkannya seksualitas seseorang atau hilangnya kebahagiaan akan sesuatu. Dalam diri guru Rulka, kegelisahan selalu menghantuinya setiap saat. Bahkan setelah ia tinggal serumah bersama wanita yang ia cintai, Eva Linde, yang merupakan istri sahabatnya sendiri.

Sampai suatu ketika guru Rulka mulai frustrasi dan mulai merindukan kembali masa mudanya bersama Johan. Dalam kondisi seperti itu, muncul lah salah satu koleganya di ruang guru dan berkata, “Aku merasa seperti Hans Castorp hari ini, mestinya aku berbaring saja ya di balik selimut”. Membuat Elias Rulka tersentak mendengarnya. Guru Rulka tak mengira bahwa masih tersisa seorang guru di Fagerborg, yang juga memahami sastra: membicarakan Hans Castrop, tokoh utama novel Thomas Mann, The Magic Mountain. Sementara koleganya itu bukanlah guru bahasa Jerman, tapi seorang guru matematika.

Baginya, hal itu merupakan momen yang mencerahkan, hingga ia mulai merasa cemas dan terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia pun berencana mengundang koleganya itu untuk jamuan makan malam di apartemennya. Tujuannya, agar ia dapat lebih akrab dengannya, mendapatkan kembali partner diskusi seperti masa mudanya. Tapi, keinginannya itu tak pernah terwujud. Guru Rulka membatalkannya karena dirasa aneh olehnya.

Dalam hal ini, keinginan guru Rulka untuk mendapatkan kembali partner diskusi seperti masa mudanya merupakan dorongan dari objek hasrat yang menjadi hasratnya. Objek hasrat ini merupakan masa mudanya bersama Johan yang membuat ia gelisah tak putus-putusnya. Menurut Lacan, objek hasrat merupakan penyebab hasrat, tetapi hasrat didukung oleh fantasi. Dengan adanya fantasi seseorang mendapatkan ilusi untuk mendekati objek hasrat. Meski objek hasrat ini dapat berubah-ubah, tetapi objek hasrat ini merupakan objek yang selalu dicari oleh seseorang tanpa pernah selesai. Karena itulah hasrat bersifat tidak terbatas, dan hanya kematian yang menjadi batas hasrat. Lacan memahami kematian ini sebagai “Tuan Absolut”.

Aib dan Martabat merupakan novel realis yang dipenuhi dengan konflik psikologis yang terkadang membuat jengkel pembacanya. Belum lagi dengan kalimat-kalimat bertingkat, serta tak ada pembabakan dan nyaris tanpa paragraf yang rutin seperti novel pada umumnya. Dengan adanya novel ini, Dag Soltad yang disebut-sebut sebagai sastrawan terbesar Norwegia pada zamannya, berhasil mengukuhkan kedudukannya itu.

Melalui guru Rulka, Dag Soltad berhasil menggambarkan gejolak batin manusia yang bisa saja bagian dari kondisi pengarangnya sendiri dalam ruang sosialnya yang tanpa harapan. Manusia yang selalu menjadi budak hasrat hingga ia nampak terlunta-lunta. Terutama, seorang guru sastra seperti guru Rulka yang selalu dipandang remeh-temeh oleh sekitarnya. Maka, boleh-boleh saja membenci seorang guru, selama ia menjadi budak hasrat yang menyedihkan!

Tinggal di Bandung. Belajar di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI, Lingkar Studi Filsafat Nahdliyyin, dan Asosiasi Psikoanalisis Indonesia. Meminati kajian filsafat, sastra, psikoanalisis, dan tasawuf.