Egalitarianisme Radikal dalam Islam

Dalam lanskap sejarah Islam awal, muncul sebuah kelompok yang keberadaannya selalu memicu kegaduhan dan kontroversi, mewakili satu spektrum ideologis dalam Islam yang menolak kompromi politik sekaligus menentang warisan kekuasaan yang dibangun atas dasar oligarki kesukuan. Radikalitas mereka kerap dijadikan alasan untuk mengutuk, menuduh sesat, bahkan bughat. Namun di balik semua kutukan yang diwariskan berabad-abad itu, sesungguhnya tersembunyi satu hal yang jarang diungkap, yaitu penolakan mendasar terhadap struktur sosial-politik feodal yang berusaha mengekang agama demi kepentingan suku tertentu.

Kelompok itu adalah Khawarij—satu-satunya kekuatan politik dalam sejarah Islam awal yang secara tegas menyatakan perang terhadap teokrasi tribal, dan meletakkan fondasi egalitarianisme politik yang berakar pada prinsip tauhid. Bagi mereka, kepemimpinan bukanlah hak eksklusif orang Quraisy, bukan pula hasil konsensus jenderal-jenderal veteran Perang Badar. Ia harus lahir dari keimanan, keadilan, dan persetujuan umat, tanpa peduli apakah pemimpinnya keturunan nabi, pedagang unta, atau budak hitam dari Afrika. Inilah mimpi politik Islam yang paling terlarang yang dapat kita istilahkan sebagai teokrasi tanpa kasta.

Untuk memahami bagaimana mereka tumbuh dari keresahan menjadi gejolak, kita harus menoleh sejenak pada satu insiden kecil tapi menentukan: Peristiwa Ji’ronah. Seusai Perang Hunain, Nabi Muhammad membagi ghanimah (harta pampasan perang) kepada para pemeluk Muslim baru, sementara kaum Anshar nyaris tak kebagian. Di tengah suasana itu, muncul seorang lelaki dari Bani Tamim, Dzul Khuwaishirah at-Tamimi namanya, dengan sorban yang dilingkarkan di leher dan keberanian yang tak lazim di depan Nabi, ia berkata: “I’dil ya Muhammad, fa innaka lam ta’dil!” “Berbuat adillah, wahai Muhammad, karena engkau belum adil!”

Para sahabat hampir menghajarnya, tapi Nabi menahan mereka dan hanya menjawab:
“Yakhruju min di’di hadza qawmun yatluwna al-Qur’an la yujawizu taraaquyahum, yamruquna min ad-din kama yamruqu as-sahmu min ar-ramiyah.” “Akan muncul dari keturunan orang ini suatu kaum yang membaca Al-Qur’an, namun tak melampaui kerongkongan mereka; mereka keluar dari agama seperti anak panah menembus hewan buruan.” (HR al-Bukhari, Muslim)

Hadis ini kerap dikutip dengan nada final: Khawarij adalah sesat. Selesai. Namun jarang direnungkan bahwa kegelisahan semacam itu muncul di tengah struktur distribusi kekuasaan dan harta yang, dalam banyak hal, menyingkirkan keadilan substantif. Bahkan jika Dzul Khuwaishirah bersalah dalam cara, bukankah tetap ada ruang untuk mencermati spiritnya?

Khawarij bukan sekadar pecundang sejarah yang fanatik. Mereka dikenal sebagai shaimun nahar (puasa di siang hari), qaimul lail (beribadah di malam hari), dan hafidzhul quran (penghafal Qur’an). Mereka rajin membaca, bahkan mungkin lebih fasih daripada sebagian agamawan kita hari ini yang ketika ditanya ayat musti membuka smartphone terlebih dahulu.

Dalam tragedi besar Islam (fitnatul kubr), mereka tidak memihak Ali maupun Muawiyah. Mereka justru meninggalkan dua-duanya ketika tahkim disepakati—yakni arbitrase manusia atas konflik yang bagi mereka hanya layak diputuskan oleh Allah. Slogan mereka yang terkenal, “la hukma illa lillah” (tiada hukum kecuali milik Allah), bukan sekadar jargon teologis. Ia adalah jeritan politik dari umat yang muak melihat kekuasaan dinegosiasikan seperti dagang unta.

Ketika para elit kabilah sibuk membagi peta kekuasaan—siapa yang dapat jatah gubernur Kufah, siapa yang memegang pasukan Syam, siapa yang mengatur Hijaz, dst—kaum Khawarij justru menyuarakan: “Siapa pun yang adil dan disepakati umat—meskipun ia budak hitam—ia berhak memimpin.” Ini bukan sekadar retorika moral yang utopis, melainkan ledakan ideologis yang meretakkan sendi-sendi feodalisme dan aristokrasi dalam tubuh Islam awal. Di tengah budaya yang mengafirmasi silsilah sebagai tiket kekuasaan, Khawarij menancapkan egalitarianisme radikal yang berani menyejajarkan budak dengan bangsawan—selama keadilan menjadi tolok ukurnya. Ibn Hazm al-Andalusi, seorang ulama Sunni yang keras kepala, bahkan menulis dalam al-Fishal: “Inna a‘dalu al-milal ba‘da al-Islam hum al-Khawarij.” “Sesungguhnya kelompok yang paling adil setelah Islam adalah Khawarij.”

Tentu, Ibn Hazm tidak sedang menyetujui akidah mereka. Ia hanya mengakui satu hal yang sulit dibantah: Khawarij konsisten. Mereka tidak mentolerir tirani, bahkan ketika datang dari internal mereka sendiri. Abdullah bin Wahb al-Rasibi, khalifah mereka di Nahrawan, dibunuh oleh pengikutnya sendiri karena dianggap menyimpang. Ini bukan anarki, ini adalah idealisme politik yang tak memberi ruang pada hipokrit—termasuk dari barisan sendiri.

Benar bahwa Khawarij terjerembab dalam kekerasan dan menghalalkan darah sesama Muslim, tapi sejarah tak bisa dibaca seperti daftar hitam buronan polisi. Mereka memang salah dalam hal metode, akan tetapi jejak pikiran dan cita-citanya, bahwa Islam bukan milik Quraisy, kebenaran tak tunduk pada silsilah, dan Tauhid adalah seruan untuk membongkar kasta tidak bisa kita kesampingkan.

Sayangnya, mimpi mereka berakhir tragis. Di Nahrawan, ribuan dari mereka ditebas oleh pasukan Ali bin Abi Thalib, dan sejak saat itu sejarah resmi menuliskan nama mereka dengan tinta hitam dan stempel merah: kelompok sesat. Namun, gagasan mereka sebenarnya tidak mati. Ia tetap menyala dalam ruang sejarah yang disembunyikan. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib saat menatap tubuh mereka yang bergelimpangan: “bi’sa ma walaakum ‘alayhi gharrakum asy-syaithan.” Tapi kita juga bisa bertanya: “apakah benar mereka tertipu oleh setan, atau justru oleh setanlah kita diajarkan untuk membenci mereka?”

Maka, ketika para pemikir sibuk bertengkar antara demokrasi dan khilafah, ternyata dalam lorong gelap sejarah kita, ada satu bab yang terlarang dibaca. Sebuah cita-cita politik tanpa feodalisme, tanpa dinasti, tanpa kasta, dan anti oligarki. Sebuah teokrasi horizontal yang dibangun bukan di atas pedang atau nasab, tapi di atas prinsip: la hukma illa lillah. Faman lam yahkum bima anzalallahu faulaaika humul kaafirun. “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”

Ya, itu adalah cita-cita Khawarij—cita-cita yang gagal, ditumpas, dikutuk, tapi tidak sepenuhnya salah.