Privasi sebagai domain keamanan nasional?
Semesta digital yang tampak gemerlap di permukaan namun keropos di kedalaman, menyoal firewall dan sandi dua langkah, tapi soal eksistensi yang kian porak. Isu keamanan, manipulasi, dan peretasan bukanlah hantu yang muncul dari dongeng, tetapi realitas kelam yang berdarah di balik layar-layar yang setiap hari kita sentuh tanpa curiga. Kita hidup di zaman ketika data bukan hanya bocor—tapi mengalir, diretas—juga dikomodifikasi, bukan hanya dicuri—tapi disulap jadi senjata ideologis dan alat kekuasaan yang nyaris tak terbaca
Lihatlah, lewat satu kata (yang jadi luka): Cambridge Analytica. Di tangan mereka, data berubah dari angka menjadi narasi, dari preferensi menjadi provokasi, dari “like” menjadi ledakan psikologis massal yang menggiring opini tanpa logika. Jutaan data pengguna Facebook disedot diam-diam, kemudian dijahit dengan algoritma prediktif, untuk menyusun iklan-iklan politik yang menyamar sebagai kebenaran personal. Privasi pun runtuh, bukan oleh pencurian biasa, tapi oleh manipulasi ideologi yang dibungkus dalam bentuk yang seolah tak mengganggu sama sekali. Inilah kejahatan yang paling canggih— (katanya) karena targetnya adalah persepsi, nalar, dan nadi demokrasi.
Tapi jangan jauh-jauh, Indonesia pun sudah lama berdarah dalam diam, namun lukanya ditutup dengan istilah-istilah normatif yang tak pernah menyentuh akar masalah yang sebenarnya pekat dan kelam (meski kadang curiga dan tak sepenuhnya percaya pada data). Kebocoran 1,3 miliar data SIM Card, di mana data nama, nomor KTP, nomor KK, dan nomor telepon disinyalir dijual bebas di forum gelap oleh akun bernama Bjorka, Kebocoran Data eHAC Kemenkes (2021), Kebocoran Data BPJS Kesehatan (2021), Kebocoran Data dari Dukcapil (2022), dan lain lainnya.
Negara; alih-alih sigap dan radikal, sering kali merespons dengan wacana normatif, mengaburkan penyebab, dan menyalahkan pihak yang menyuarakan. Seolah data warga adalah korban kolateral dari ketidaksiapan struktural, dan masyarakat hanya disuruh bersabar sambil tetap menggunakan aplikasi yang telah menjadikan mereka sebagai ladang laba dan titik rawan bencana.
Apakah privasi masih milik individu, atau sudah menjadi domain keamanan nasional? negara harus melindungi privasi sebagai hak konstitusional, namun realitas menunjukkan bahwa negara kerap menjadi pihak yang membangun infrastruktur pengawasan massal dengan dalih keamanan dan stabilitas sosial. Di satu sisi, negara memusuhi peretas, tapi di sisi lain membangun sistem yang diam-diam memantau warganya dari balik layar. soal “saya ingin merahasiakan”, tapi soal “siapa yang berhak tahu, siapa yang punya kuasa, dan siapa yang tak bisa dilawan”.
Kita tak lagi hidup dalam dunia Orwellian yang penuh kamera dan tentara, tetapi dalam era invisible surveillance: pengawasan yang tak terlihat, tapi terasa. Privasi hari ini bukan lagi jubah, tapi medan perang. Ia tak bisa lagi diselamatkan hanya dengan password atau VPN, tapi dengan kesadaran kolektif dan sistem hukum yang lebih tajam daripada algoritma yang menyerang. Jika tidak, kita akan terus menjadi mangsa tanpa suara dalam pesta data yang terus digelar oleh mereka yang tak pernah terlihat wajahnya.
“Ketiadaan kedaulatan digital individu dalam arsitektur data global saat ini bukan disebabkan oleh absennya regulasi, melainkan karena ketimpangan epistemik antara yang mengendalikan algoritma dan yang dikendalikan olehnya.” kata lain, masalah utama bukan pada hukum yang belum ada, tapi pada logika kuasanya; bukan pada perangkat legal, tapi pada relasi tak setara antara manusia dan mesin yang disusupi logika laba tanpa makna. Jika individu tetap dijadikan objek pasif dalam lanskap data, maka kebebasan digital hanyalah mitos dalam selubung demokrasi yang telah direkayasa.
Kita tidak bisa lagi memandang data sebagai milik pribadi dalam pengertian klasik. Rekonseptualisasi hak atas data menuntut kita membongkar ulang paradigma kepemilikan, dan memikirkan ulang siapa sebenarnya yang berhak atas hasil rekam digital tubuh, pikiran dan interaksi sosial manusia. Apakah kita masih bisa bicara “milik pribadi” dalam ekosistem yang setiap detiknya melakukan duplikasi, migrasi, dan prediksi?
Menuju data commons—di mana data tidak dimiliki secara eksklusif oleh individu maupun korporasi, tetapi dikelola secara kolektif dengan prinsip keadilan, transparansi, dan kontrol komunitas. data menjadi milik bersama umat manusia, dan penggunaannya harus berdasar pada asas manfaat dan keberlanjutan, bukan semata keuntungan dan penetrasi pasar. —meski cukup terasa terlalu utopis bagi struktur politik-ekonomi hari ini.
Masyarakat harus belajar membaca struktur kekuasaan di balik layar, memahami bagaimana data dikumpulkan, diolah, dan digunakan untuk membentuk kembali dirinya sendiri. Privasi bukan hanya hak, tapi praksis—yang menuntut kesadaran dan keberanian berpikir kritis atas data. Maka pendidikan literasi digital harus menjangkau semua usia, semua kelas sosial dan semua ruang interaksi—karena hanya dengan itu, kontrol bisa kembali ke tangan manusia, bukan pada perusahaan, bukan pada negara, dan bukan pada mesin yang tak pernah mengenal jeda.
Sedikit hipotesis bahwa krisis privasi digital yang melanda masyarakat global—terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia—tak semata-mata akibat ketiadaan regulasi atau perangkat hukum yang memadai, melainkan karena adanya ketimpangan struktural dalam epistemologi dan infrastruktur pengelolaan data. Dimana individu hanya diposisikan sebagai objek pasif dalam ekosistem informasi, sementara kekuasaan utama atas data dikuasai oleh aktor-aktor oligopolis digital (big tech), negara, dan pihak ketiga yang memonopoli logika algoritmik dan nilai ekonomi dari data. Kesenjangan ini melahirkan relasi kuasa baru yang tidak transparan, tidak setara dan menimbulkan erosi terhadap hak-hak mendasar individu, baik sebagai warga negara maupun sebagai subjek digital.
dapat (diasumsikan saja) bahwa tanpa upaya serius untuk merekonseptualisasi hak atas data—melalui pendekatan literasi digital kritis, rancangan teknologi etis, dan model kepemilikan data kolektif seperti data trust—maka berbagai bentuk manipulasi, peretasan, serta komodifikasi data akan terus terjadi dalam skala masif dan sistemik. Privasi digital akan terus mengalami dekonstruksi, pula mitos simbolik dalam tata kelola teknologi yang berorientasi pada keuntungan semata, kecuali jika masyarakat sipil, negara dan sektor privat membangun kerjasama strategis untuk menyeimbangkan kembali kekuasaan atas data dan melindungi martabat digital manusia secara integral.