Mengenang Wijaya Herlambang: Menguak Praktik Kekerasan Pasca-1965

Pada suatu sore yang cerah, segerombolan orang yang diduga bagian dari kelompok Front Pembela Islam (FPI) berkumpul di depan gedung Institut Francais Indonesia (IFI) untuk melakukan protes agar pementasan Tan Malaka segera dihentikan, karena dianggap sedang mempromosikan kembali ajaran komunisme dalam bentuk seni. Pelarangan ini berlanjut dalam bentuk—yang bagi saya—sangat menggelikan yakni razia atribut dan pembakaran buku-buku kiri atau yang berhubungan dengan komunisme, dilakukan oleh sekelompok ormas dan aparatus negara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi secara sporadis ini mungkin membuat kita geram. Bahkan dari beberapa data yang coba saya himpun melalui media cetak maupun online sejak sepuluh tahun terakhir, atas kejadian semacam itu, tercatat ada 50an kasus (dan bahkan lebih) pelarangan dalam berbagai bentuk terhadap aktivitas gerakan kiri.

Semua jenis peristiwa tersebut menunjukkan pada kita secara jelas bahwa walaupun Orde Baru sudah tumbang sejak 1998, akan tetapi pelarangan dan pengiblisan terhadap komunisme masih terus berlangsung. Akibatnya, ada trauma yang dalam dan berkepanjangan bagi orang-orang, terutama bagi siapa saja yang mencoba membuka luka sejarah 1965-1966. Selain itu, adakalanya sebagian orang dibuat kesulitan untuk menjelaskan secara gamblang bagaimana hal tersebut terjadi bahkan sampai pada tindak kekerasan yang paling ekstrem.

Dalam hal ini, Wijaya Herlambang tampil sebagai salah satu peneliti yang kukuh dari banyak peneliti lainnya untuk membongkar kebusukan rezim Orde Baru dalam praktik kekerasan terhadap anggota dan simpatisan komunis. Dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca-1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, diterbitkan oleh Marjin Kiri (2013)—yang sempat menjadi latar belakang dari perdebatan sengit antara Martin Suryajaya dan Goenawan Mohamad—berupaya menjelasakan dengan sangat sistemik mengenai kekerasan.

Wijaya Herlambang (selannutnya WH) mendefinisikan dan merumuskan kekerasan dalam domain kebudayaan yang menjadi salah satu aspek penting yang melegitimasi kekerasan terhadap simpatisan komunis. Produk kebudayaan seperti ideologi negara, meseum, monumen, diorama, folklore, buku-buku, film dan sastra, menjadi faktor krusial atau pendorong utama dalam praktik kekerasan. Dengan demikian, ia pun menelusuri awal mula praktik kekerasan terhadap simpatisan komunis ini berlangsung dan membongkar struktur ideologis anti-komunis yang menjadi wacana utama di Indonesia dan masih bertahan sampai saat ini. Selain melalui sektor kebudayaan, wacana utama anti-komunis yang bertahan hingga saat ini adalah dampak dari pendekatan politik Orde Baru untuk menghancurkan komunisme demi mewujudkan kepentingan ekonomi AS.

Namun, WH beragumen bahwa pendekatan kebudayaan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru dan agen-agen busuk kebudayaannya jauh lebih berpengaruh terhadap pembentukan ideologi anti-komunis. Maka ia pun memfokuskan analisinya pada dua produk kebudayaan, yaitu ideologi liberalisme yang dalam konteks Indonesia dikenal dengan istilah humanisme universal dan versi resmi peristiwa 1965 yang menjadi narasi utama rezim Orde Baru. Kedua hal itu saling berkait kelindan dengan proses pembentukan ideologi anti-komunis yang bahkan menjadi instrumen legitimasi atas kekerasan terhadap orang-orang yang diduga komunis. Untuk memahami agresi liberalisme dalam kebudayaan Indonesia, ia menjelasakan secara terperinci bagaimana ide-ide liberalisme ini beroperasi dan siapa saja yang berperan di dalamnya. Akan tetapi, sebelum memahami lebih jauh ide-ide liberalisme ini ditancapkan pada setiap pemikiran intelektual Indonesia, ada baiknya kita mengetahui terlebih dulu istilah liberalisme yang sering digunakan di berbagai tempat ini dalam studi kebudayaanya.

Istilah liberalisme ini, dalam studinya, harus dipahami dalam terminologi ekonomi-politik, selain dalam konsep kebudayaan. Dalam hal ini, WH sangatlah dekat dengan tradisi Marxisme, yang memandang liberalisme sebagai teori atau praktik-praktik politik dan ekonomi yang bersifat ekspolitatif dalam distribusi sumber daya dengan kemampuan masing-masing individu melalui mekanisme pasar. Sementara liberalisme dalam terminologi kebudayaan mengacu pada gerakan kebudayaan yang berorientasi pada Barat, yang mulai berkembang di lapangan kebudayaan Indonesia sejak perang dunia II. Istilah liberalisme dalam pengertian kebudayaan merujuk pada konsep-konsep semacam “kebebasan intelektual”, “kebebasan berekspresi” dan “kebebasan artistik”. Dalam konteks Indonesia, perkembangan ideologi liberalisme di lapangan kebudayaan pada tahun 1960an, merupakan hal penting karena ideologi ini tidak saja untuk menghancurkan ide-ide Marxisme, tetapi juga untuk mewujudkan model ekonomi kapitalisme.

Para budayawan intelektual dan seniman anti-komunis seperti Mochtar Lubis, HB. Jassin, Wiratmo Soekito, Taufik Ismail, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad, sangat berpengaruh dalam pembentukan wacana anti-komunis di lapangan kebudayaan Indonesia. Bahkan WH menjelaskan bahwa konteks perdebatan kebudayaan di sekitar 1963 antara sastrawan dan seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang mendukung ideologi humanisme universal (liberalisme) merupakan manifestasi Perang Dingin di bidang kebudayaan. Dengan dukungan dari elemen-elemen sayap kanan dan lembaga seperti CCF (Congres for Cultural Freedom) yang merupakan onderbouw CIA. Tugas utama dari CCF adalah melepaskan komunisme dari kalangan intelektual Indonesia.

Para penulis yang tergabung dalam lingkaran CCF ini memperlakukan gagasan liberalisme sebagai senjata ideologis untuk menyingkirkan komunisme dan aktivitas kebudayaannya. Melalui cara pandang ini, ide demokrasi pun dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pro-Barat yang kapitalistik. Ivan Kats adalah salah satu tokoh perwakilan CCF untuk program Asia yang berperan sangat penting sebagai penghubung antara intelektual Indonesia anti-komunis dalam kebudayaan. Kats telah banyak mendistribusikan buku-buku penulis Barat yang anti-komunis seperti tokoh eksistensialis Albert Camus.

Kemudian WH pun memaparkan bahwa di saat elemen-elemen pro-Barat mempersiapkan basis ideologis dan intelektual untuk menjustifikasi wacana kebudayaan anti-komunis, pada saat yang sama militer mengambil peran penting dengan cara menghancurkan kaum komunis secara fisik dengan dukungan pemerintah AS, yang mendapatkan momentumnya pada 30 september 1965. Peristiwa kudeta yang dilakukan Soeharto pada pemerintahaan Soekarno adalah bentuk nyata dari pengejewantahan ide-ide liberalisme untuk menyingkirkan komunisme. Hanya dengan waktu yang sangat singkat, dimulai sejak 2 Oktober 1965, Soeharto bersama Angkatan darat yang dipimpinya, melakukan kampanye kekerasan tehadap PKI dan yang berafiliasi denganya seperti Lekra. Hingga dalam peristiwa kudeta ini hampir jutaan orang dibantai, hilang dan dipenjarakan. Pembunuhan masal inilah yang membuat Soeharto berhasil merebut kursi kekuasaan dan membentuk sebuah kekuasaan diktator militer. Akibatnya, sepanjang pemerintahan Orde Baru dan sesudahnya, wacana anti-komunisme menjadi wacana dominan di masyarakat Indonesia. Dalam hal ini WH mempertanyakan bagaimana ideologi anti-komunisme mampu beratahan lama, bahkan jauh setelah jatuhnya Orde Baru?

Dengan berlandaskan pada teori kekerasan budaya Johan Galtung, ia berupaya membongkar bagaimana ideologi anti-komunis ini dikontruksi pada produk-produk budaya seperti film dan karya sastra untuk melegitamasi praktik kekerasan. Ada tiga tipe kekerasan dalam teori Galtung, yang digunakannya untuk menjelaskan bagaimana kekerasan budaya bekerja, yakni kekerasan langsung, struktural, dan kultural. Kekerasan langsung adalah bentuk kekerasan yang diakibatkan atas tekanan sistem, sehingga kaum yang “tertindas” mencoba membebaskan diri di dalamnya dan kemudian berhadap-hadapan dengan lawan mereka (aparatus negara) yang menginginkan sistem itu tetap terpelihara, hingga dimungkinkannya kekerasan terjadi.

Sementara kekerasan struktural adalah segala jenis represi dan ekspolitasi yang dilakukan kelompok orang terhadap kelompok lainnya. Kekerasan ini bersifat tidak langsung dalam arti kekerasan yang tidak mencelakai atau membunuh melalui senjata, melainkan melalui struktur sosial yang menyebabkan kemiskinan, ketidakseimbangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial-politik. Untuk hal ini WH memberikan suatu ilustrasi yang tepat bahwa kemiskinan merupakan praktik kekerasan struktural. Kesulitan untuk memperoleh layanan kesehatan, sumber-sumber ekonomi, pekerjaan dan pendidikan, yang disebabkan oleh kebikajan politik dan ekonomi merupakan bentuk kekerasan struktural.

Sementara legitimasi atas kekerasan langsung dan tak-langsung, yang biasanya dilakukan melalui produk-produk kebudayaan, juga merupakan bentuk kekerasan. Kata “legitimasi” merupakan istilah krusial dalam model teoritis Galtung untuk menjelaskan bagaimana kekerasan budaya dapat beroperasi. Penggunaan kata “legitimasi” dalam hubungannya dengan praktik kekerasan negara berarti bahwa kekerasan sesungguhnya dapat “dibenarkan” melalui produk-produk kebudayaan yang berfungsi terutama untuk menjelaskan transformasi nilai-nilai moral dan ideologis agar masyarakat dapat melihat praktik kekerasan sebagai kejadian yang normal atau alamiah.

Dengan demikian, pembenaran atas praktik kekerasan melalui produk-produk kebudayaan merupakan bentuk kekerasan yang disebut Johan Galtung sebagai “kekerasan budaya”. Ketiga bentuk kekerasan yang telah dipaparkan tadi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk merumuskan sebuah pengertian bagaimana kekerasan dapat terjadi di dalam masyarakat. Bahkan untuk memperkuat argumennya, WH melangkah lebih jauh dalam menjelaskan kekerasan budaya dengan mengadopsi teori kekuatan simbolik Piere Bourdieu dan teori ideologi Louis Althusser.

Ia pun menganalisis sejarah yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto tentang percobaan kup 30 September 1965 yang menjadi versi resmi Orde Baru, yang juga ditransformasi ke dalam produk-produk budaya seperti film dan novel. Dalam karyanya itu Nugroho menyimpulkan bahwa PKI adalah dalang di balik peristiwa kudeta tersebut. Tentu saja pernyataan ini hasil dari rekayasa yang diciptakan olehnya di bawah pimpinan Soeharto. Selain itu, Nugroho adalah orang yang sangat dekat dengan milter, ia menjabat sebagai kepala Pusat Sejarah ABRI sekaligus sejarawan di Universitas Indonesia (UI). Ia menikah dengan keponakan Direktur Seksoad Jendral Suwarto yang menjadi orang penting PSI di Angkatan Darat yang sangat dekat dengan para pemimpin PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo.

Argumentasi dasar Nugroho bertumpu pada pernyataan Soehartao pada 1 Oktober 1965 bahwa PKI berada di balik peristiwa tersebut. Untuk memperkuat pendapatnya Nugroho melakukan “interogasi” terhadap para pelaku kunci percobaan kup seperti Kolonel Untung (komandan G30S), Mayor Sujono, Kolonel Latief, Sukirman (anggota PKI), dan Nyono (anggota PKI). Bahkan Nugroho melanjutkan penjelasannya dengan menjabarkan bagaimana ketujuh perwira itu diculik dan dibunuh, dilanjutkan dengan deskripsi tentang bagaimana militer, di bawah komando Jendral Soeharto, bereaksi dan melumpuhkan pemberontakan itu yang berbuntut pada pembantaian masal terhadap pengikut PKI.

Namun, tak lama kemudian karya awal Nugroho itu dibantah oleh tiga orang sarjana Amerika yang secara serius mengkaji peristiwa tersebut yakni Ben Anderson, Ruth McVey, dan Frederick Bunnel di Universitas Cornell. Buku yang diberi judul Preliminary Analysisi of the October 1, 1965 Coup in Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah Cornell Paper, karya pertama yang menyangkal argumen Nugroho yang menurut WH menghadirkan bantahan serius tidak saja terhadap legitimasi kekerasan terhadap komunis, melainkan pula atas berdirinya pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya bantahan ini Nugroho pun menulis ulang karya awalnya yang berjudul 40 Hari Kegagalan G30S secara “komprehensif” versi berbahasa Inggris dibawah arahan Guy Pauker, salah satu agen CIA, dan diberi judul The Coup Attempt of the September 30th Movement. Itupun didukung oleh hasil dari persidangan militer yang menurut para sarjana telah dimanipulasi.

Kemudian setelah terbitnya buku tersebut pada tahun 1967, Nugroho pun melanjutkan penyebaran ideologi anti-komunis melalui produk-produk kebudayaan seperti meseum, monumen diorama, novel dan film yang tentu saja menurut versi Orde Baru. Dalam pembentukan wacana anti-komunis salah satu produk kebudayaan yang paling berpengaruh adalah film Pengkhiantan G30S/PKI (1981) besutan Arifin C. Noer, yang juga dinovelkan oleh Arswendo Atmowiloto (1986). Melalui film inilah nilai-nilai moral dan ideologis Orde Baru ditransformasikan untuk membentuk perspektif masyarakat bahwa komunisme adalah musuh utama negara.

Saya pun jadi teringat saat pertama kali menonton film propaganda Orde Baru itu, kalau tak salah ketika saya berusia 8 tahun, karena diwajibkan oleh pihak sekolah sebagai bentuk pengetahuan sejarah. Kesan yang saya dapat setelah selesai menonton film itu adalah ketakutan yang sangat mengerikan terhadap komunisme. Bahkan sesampainya di rumah, saya tak bisa tidur karena setiap adegan demi adegan masih melekat kuat di dalam ingatan saya. Kesan komunisme yang saya bayangkan seperti iblis yang sangat mengerikan, ini terus berlangsung hingga memasuki usia remaja. Mungkin hal itu tidaklah dialami semua orang, tetapi bertolak dari pengalaman itu, saya dapat memahami bahwa betapa bengisnya rezim Orde Baru dalam membentuk perspesktif masyarakat tentang komunisme.

Dalam hal ini, WH memaparkan perihal pentingnya film ini terletak pada dramatisasi yang tidak mungkin tersaji dalam karya sejarah Nugroho. Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI Nugroho hanya terfokus pada poin-poin refrensi idelogis yang bertujuan untuk membangun kerangka di mana PKI dapat diperlihatkan sebagai satu-satunya pelaku kup 30 September, tanpa menggambarkan secara rinci urutan kronologis dari percobaan kup atau penculikan dan pembunuhan tersebut. Karakterisasi dan dramatisasi film ini menjadi sebuah instrumen ampuh untuk mencakupkan pesan-pesan ideologis dan memanipulasi opini publis. Film ini berfungsi untuk merekontruksi dramatisasi dari peristiwa 1965.

Melalui narasi dan dramatisasi itu, penekanan bahwa PKI-lah yang membunuh para perwira militer itu melekat dalam benak permirsa secara nyata. Dengan demikian, film tersebut tidak hanya melegitimasi peran politik militer dalam mendominasi panggung politik Indonesia dengan Soeharto sebagai pahlawan yang berhak menjadi pemimpin, tetapi juga melegitimasi pembunuhan masal terhadap komunis. Dalam hal ini teori kekuatan simbolik Bourdieu menjadi sangat berguna untuk menjelaskan legitimasi praktik kekerasan tersebut. Simbol, sebagai bagian dari produk kebudayaan di dalam masyarakat, memiliki peran yang sangat penting dalam membuat realitas menjadi kabur. Bahasa dan seni, misalnya, merupakan simbol yang sangat ampuh yang untuk mempengaruhi pikiran dan memiliki kemampuan untuk mengubah dan memelihara nilai-nilai moral.

Dalam bukunya Language and Symbolic Power (1991), Bourdieu beargumen bahwa kekuatan simbolik adalah sumber penting kekuasaan. Kekuasaan ini dapat digunakan oleh mereka yang menggenggamnya untuk mempengaruhi pihak lain yang lebih lemah demi mencapai dan mempertahankan dominasi. Dengan kata lain, ini merupakan praktik kekerasan simbolik yang dalam istilah Galtung, yakni kekerasan budaya. Praktik semacam ini dapat juga diartikan sebagai proses untuk mempengaruhi pikiran masyarakat untuk melihat tindak kekerasan sebagai hal yang wajar. Sistem simbolik adalah semacam instrumen politik yang otentik dan hal inilah yang memperngaruhi terminologi “ideologi” dalam perspekif Marxis.

Para pemikir Marxis mengartikan fungsi politik dari “sistem simbol” dengan cara menghubungkan proses produksi simbol dengan kepentingan kelas yang dominan. Ideologi yang diintegrasikan ke dalam proses produksi simbol, dalam perspektif Marxis, mewakili kepentingan-kepentingan khusus dari kelas yang berkuasa. Sejalan dengan pendapat Graeme Turner, yang membahas bagaimana film dimanfaatkan sebagai instrumen idologis, dalam buku Kekerasan Budaya Pasca-1965. Turner mencatat bahwa film tidak dapat lagi dianggap sebagai karya seni melainkan sebagai medium praktik sosial di mana ideologi dan praktik kebudayaan berinteraksi.

Dengan demikian, semuanya nampak terang benderang bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi alat ideologi Orde Baru yang fungsi politiknya untuk menormalisasi pembantain masal terhadap para anggota dan simpatisan PKI, hingga dimungkinkannya wacana anti-komunis hadir dalam benak masyarakat Indonesia. Namun, film Pengkhianatan G30S/PKI bukanlah satu-satunya yang diproduksi dalam bidang kebudayaan untuk melanggengkan kekuasaannya yang fasis dan membentuk wacana anti-komunis. Hanya saja untuk membahas produk budaya yang dianalisis oleh WH dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca-1965 tentunya sangat tidak dimungkinkan. Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menegaskan tanpa bermaksud mengkultuskan beliau, bahwa Wijaya Herlambang telah berkontribusi sangat besar bagi kita dalam upaya menegakan keadilan dengan membongkar praktik kekejaman Orde Baru dalam pembantaian masal sepanjang sejarah kelam Indonesia.

Tinggal di Bandung. Belajar di Arena Studi Apresiasi Sastra UPI, Lingkar Studi Filsafat Nahdliyyin, dan Asosiasi Psikoanalisis Indonesia. Meminati kajian filsafat, sastra, psikoanalisis, dan tasawuf.