Koperasi Merah Putih: Menapaki Jalan Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta di Era Prabowo-Gibran

Di tengah carut marutnya perekonomian global akibat perang Rusia-Ukraina, Iran-Israel, dan intervensi dari negara-negara G7, serta dampak dari di tutupnya selat Hormuz menjadi suatu pertanyaan bagi masyarakat di Indonesia khususnya Gen-Z yang dikenal sebagai generasi strawberry. Tantangan ketimpangan sosial dan ekonomi yang kian terasa, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: bagaimana mewujudkan keadilan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil? Di antara berbagai solusi yang ditawarkan, koperasi kembali mengemuka sebagai instrumen ekonomi kerakyatan.

Pemerintah era Prabowo-Gibran yang menurutku nyeleneh dalam membuat kebijakan tanpa melihat analisis secara komprehensif antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya. Era digitalisasi yang sangat massif dengan beragam arus perputaran informasi yang bertebaran baik di reels, tiktok, X, facebook yang mengungkapkan beragam kebijakan-kebijakan pemerintah pusat mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) atau yang nantinya jebolan lulusan SPPI ini menjadi Komando Cadangan (Komcad) atau teman sekitarku menyebutnya sebagai Letda (Letnan Dapur), dan yang terbaru mengharuskan semua Desa/Kelurahan di Indonesia membentuk Koperasi Merah Putih.

Kita coba kaji terlebih dahulu dari program MBG yang masih banyak PR di beberapa daerah, bahkan skeptisnya masyarakat terhadap MBG dengan sudah memakan banyak anggaran APBN dan pengamatan penulis pun hanya menjadi permainan mafia-mafia kapitalis negeri ini dengan membentuk Yayasan yang terintegrasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk meraup keuntungan dari program MBG ini. Dengan isu makanan basi, pihak developer yang nunggak membayar ke dapur umum, dan beberapa isu lainnya, lahirlah kebijakan membentuk Koperasi Merah Putih dengan konsep semua kementerian dan stake holder yang terlibat di dalamnya menggunakan Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Program Koperasi Merah Putih yang diwacanakan oleh Zulkifli Hasan selaku Menko Bidang Pangan dan Budi Arie selaku Menteri Koperasi dan UMKM pun mewacanakan Koperasi Merah Putih sebagai pekerjaan baru bagi para sarjana Fresh Graduate dan lulusan SMA dengan gaji 5-8 Juta. Kenyataannya, program ini sangat membebani pihak Desa/Kelurahan yang belum siap secara Sumber Daya Manusia maupun Pemerintah Desa/Kelurahan untuk mengkaji secara komprehensif potensi wilayah dan pengembangan Sumber Daya Manusia Warganya. Akhirnya, hanya melahirkan pembentukan koperasi sebatas normatif-prosedural tanpa dijalankan sebagai mana mestinya dunia perkoperasian.

Hal tersebut menurut penulis, sebagai pengalihan isu semata dari program MBG, SPPI, dan KMP ini yang dialihkan fokus publik ke wacana Koperasi Merah Putih yang akan mendapatkan dana 5 8 Miliar tersebut. Padahal, dana tersebut dikeluarkan oleh danantara yang berasal dari dana efisiensi lembaga negara yang dikelola oleh bank himbara dengan prosedur melalui Dana Bergulir, artinya Koperasi-Koperasi ini harus mengembalikan dana tersebut beserta bunganya bahkan pengajuan dana bergulir tersebut sangat normatif dan banyak sekali itemnya.

Ekonomi Kerakyatan

Mohammad Hatta memandang bahwa sistem ekonomi liberal yang mengandalkan mekanisme pasar bebas cenderung menimbulkan kesenjangan sosial. Dalam tulisannya “Demokrasi Kita” dan “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun”, ia menekankan bahwa pembangunan ekonomi harus berpijak pada semangat kekeluargaan dan gotong royong, bukan pada persaingan bebas. Ia mengajukan koperasi sebagai bentuk kongkret dari ekonomi kerakyatan, di mana alat alat produksi dan distribusi dimiliki dan dikelola bersama demi kemakmuran bersama.

Ekonomi kerakyatan menurut Hatta adalah sistem yang menempatkan rakyat sebagai pelaku utama, bukan hanya sebagai konsumen atau tenaga kerja. Nilai-nilai partisipasi, kebersamaan, dan kesetaraan menjadi fondasi utama sistem ini. Dalam koperasi, semua anggota adalah pemilik sekaligus pengguna jasa, sehingga tidak ada dominasi antara pemilik modal dan pekerja. Di sinilah letak perbedaan fundamental dengan sistem kapitalis yang dikritik Marx dan Engels.

Karl Marx dalam Das Kapital menjelaskan bahwa akar ketimpangan dalam kapitalisme terletak pada eksploitasi nilai lebih (surplus value). Dalam relasi produksi kapitalis, kaum buruh menciptakan nilai lebih dari tenaga kerjanya, tetapi nilai itu tidak mereka nikmati secara penuh. Pemilik modal (bourgeoisie) mengambil surplus tersebut sebagai keuntungan, sehingga terjadi akumulasi kekayaan di satu pihak, dan pemiskinan struktural di pihak lain (proletariat).

Menurut Marx, nilai lebih adalah selisih antara nilai yang dihasilkan oleh pekerja dengan upah yang diterimanya. Inilah bentuk eksploitasi laten yang menjadi jantung sistem kapitalisme. Engels menambahkan bahwa relasi produksi kapitalis bersifat menindas, karena alat-alat produksi tidak dimiliki oleh mereka yang memproduksi. Maka, pembebasan sejati hanya bisa dicapai jika alat produksi dimiliki secara kolektif.

Dalam konteks ini, koperasi ala Bung Hatta dapat dibaca sebagai bentuk alternatif dari sistem ekonomi yang menghindari eksploitasi nilai lebih. Karena semua anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pekerja, maka nilai yang dihasilkan tidak dieksploitasi oleh pemilik modal eksternal, tetapi dibagikan secara adil kepada para anggotanya. Artinya, nilai lebih tidak diambil oleh kelas kapitalis, tetapi dikembalikan kepada komunitas produktif itu sendiri.

Koperasi menjembatani pemikiran Hatta dan Marx: dari satu sisi ia adalah solusi pragmatis berbasis nilai lokal seperti gotong royong, dari sisi lain ia menjawab kritik struktural terhadap eksploitasi dalam kapitalisme. Koperasi menjadi bentuk “kolektivisasi alat produksi” dalam skala mikro yang demokratis, bukan represif seperti dalam komunisme negara. Lebih jauh, koperasi meniadakan alienasi pekerja terhadap hasil kerjanya sebuah konsep penting dalam Marxisme. Dalam koperasi, pekerja tidak tercerabut dari hasil produksinya karena mereka turut mengatur, mengelola, dan menerima hasilnya secara kolektif.

Gagasan Koperasi Merah Putih yang diusung Prabowo-Gibran menawarkan revitalisasi koperasi sebagai kekuatan ekonomi rakyat. Jika dikelola sesuai prinsip koperasi sejati, program ini berpeluang menjadi institusi sosial-ekonomi anti-eksploitasi di tengah sistem pasar yang cenderung oligarkis.

Program ini akan menjadi efektif jika menekankan prinsip: (1) Partisipasi langsung masyarakat dalam pengelolaan koperasi, (2) Distribusi nilai lebih secara merata kepada anggota, bukan pada elite pengurus, (3) Kepemilikan bersama atas alat produksi, seperti mesin pertanian, alat transportasi, bahkan lahan bersama, (4) Akuntabilitas dan transparansi, mencegah replikasi struktur kapitalistik di dalam koperasi itu sendiri. Dengan demikian, koperasi bukan sekadar lembaga ekonomi, tetapi bisa menjadi alat emansipasi kelas di tingkat lokal.

Ekonomi kerakyatan ala Bung Hatta dan kritik Marxis terhadap kapitalisme bertemu dalam semangat koperasi, menolak eksploitasi dan menegakkan keadilan ekonomi. Jika teori nilai lebih Marx menyajikan diagnosis tentang penyakit kapitalisme, maka koperasi ala Hatta memberikan resep penyembuhannya yakni dengan membangun sistem ekonomi kolektif berbasis gotong royong dan kepemilikan bersama.

Koperasi Merah Putih berpotensi menjadi jalan tengah antara idealisme sosialisme dan realitas masyarakat Indonesia yang plural. Namun keberhasilan program ini sangat bergantung pada bagaimana negara menjamin prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi sebagai fondasi utama koperasi. Tanpa itu, koperasi akan berisiko menjadi topeng baru dari relasi ekonomi yang eksploitatif. Maka, sebagaimana pesan Bung Hatta: koperasi bukan hanya alat, tapi cita-cita yang harus terus diperjuangkan.