Di kampung saya, dulu orang takut menebang pohon sembarangan. Bahkan untuk sekadar mengambil ranting di hutan, mereka permisi dulu, kadang pakai doa, kadang dengan bisik-bisik: “punten nu aya di dieu, abdi nyuhunkeun widi.” Nenek saya bilang, kalau ambil kayu tanpa izin bisa bikin demam tujuh hari. Bisa sakit, bisa gagal panen, bahkan bisa ‘ditegur’ penghuni pohon. Mitos? Boleh. Tapi siapa pun yang tumbuh dari akar kampung pasti tahu, itu bukan soal benar atau tidak, tapi tentang bagaimana manusia menjaga tata krama terhadap alam.
Hari ini, pepohonan ditebang bukan karena lapar, tapi karena laku. Hutan-hutan dirambah bukan untuk bertahan hidup, tapi untuk hidup mewah. Semua dibungkus dengan dalih pembangunan dan investasi. Kalau dulu orang takut murka penghuni hutan, sekarang yang ditakuti cuma harga lahan dan surat izin tambang.
Seorang mahasiswa saya pernah berkata dengan nada frustasi, bahwa satu-satunya cara menyelamatkan alam hari ini adalah dengan membangkitkan lagi animisme dan dinamisme. Katanya, kepercayaan lama itu lebih mampu membuat manusia menghormati alam, ketimbang agama dan sains modern yang sibuk membedah, menilai, dan mengekstrak. Gagasannya menarik, meski saya pribadi tidak sependapat.
Sebagai seorang Muslim, saya percaya bahwa Islam punya solusi yang sangat konkret untuk menyelesaikan krisis ekologi. Bukan cuma dalam bentuk fatwa moral, tapi dalam kerangka teologis dan spiritual. Tapi saya tidak mau langsung menghardik atau menolak ide si mahasiswa. Sebab saya tahu, keresahannya datang dari tempat yang tulus: ia muak dengan manusia yang semakin rakus.
Di banyak komunitas adat seperti Baduy, Kasepuhan, dan Kampung Naga, hutan-hutan dianggap sebagai rumah para leluhur dan makhluk halus penjaga alam. Dalam studi Robert Wessing tentang sacred groves, ia mencatat bahwa warga adat Sunda memiliki sistem larangan keras untuk memasuki hutan-hutan tertentu. Bukan karena hukum negara, tapi karena keyakinan spiritual. Bahkan pu’un atau tetua adat sering kali dianggap sebagai perantara yang menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan roh penjaga alam.
Sistem ini memang tidak teknokratis. Tapi justru di situlah kehebatannya. Larangan menebang pohon, memakai air, hingga berburu, dijaga bukan oleh CCTV atau Satpol PP, tapi oleh tabu dan rasa takut melanggar harmoni kosmik. Dalam terminologi sosiologi lingkungan, ini disebut sebagai ecological filter berbasis budaya. Dan, sejauh ini, sistem itu lebih efektif ketimbang undang-undang yang gampang dibeli dengan sogokan.
Sayangnya, modernitas datang membawa eskavator dan legalitas. Pohon tidak lagi dianggap berjiwa, tapi berukuran dan bernilai. Tanah diukur dalam hektar dan dihitung dengan rupiah. Alam dijadikan pasar, bukan makhluk. Paradigma ini yang dikritik dalam buku Ekoteologis: Perspektif Agama-Agama, di mana disebutkan bahwa modernitas telah mencabut roh dari tanah dan menggantinya dengan sertifikat hak milik.
Islam, sebenarnya, tidak bertentangan dengan kearifan lokal semacam itu. Bahkan dalam al-Qur’an, Allah menyebut kerusakan lingkungan sebagai fasad, yakni bentuk kerusakan moral sekaligus spiritual. Manusia disebut sebagai khalifah — pemegang amanah, bukan pemilik bumi. Dalam banyak ayat, kita diajak untuk memperhatikan tanda-tanda Tuhan di langit dan bumi, bukan untuk dikuasai, tapi untuk direnungi dan dijaga. Alam bukan objek dominasi, tapi bagian dari dzikir kosmik.
Jadi, saya tidak melihat perlunya membangkitkan kembali animisme untuk menyelamatkan alam. Tapi saya juga tidak ingin mencampakkannya. Sebab mitos-mitos lokal itu pernah — dan masih bisa — berfungsi sebagai safeguard ekologis. Islam tidak perlu menggusur mereka. Justru yang diperlukan hari ini adalah integrasi: bagaimana nilai-nilai tauhid bisa hidup berdampingan dengan kearifan lokal, tanpa kehilangan akarnya.
Krisis lingkungan bukan hanya soal lubang tambang dan hutan gundul. Ia adalah krisis kesadaran. Saat manusia lupa bahwa dirinya bukan pemilik bumi, tapi hanya penumpang, maka yang terjadi adalah penjarahan, bukan pengelolaan. Kita harus kembali menanamkan rasa takut dan hormat pada alam — entah lewat mitos, entah lewat tauhid, entah lewat keduanya. Sebab kalau tidak, maka bukan cuma pohon yang tumbang, tapi juga masa depan kita.
Sekarang pilihannya tinggal dua: mau jadi orang modern yang merusak dengan alasan logis, atau jadi manusia sadar yang merawat dengan kesadaran kosmik — entah itu lewat al-Qur’an, atau bisikan pohon di pinggir hutan.