Pewaris, yang Tak Lagi Bangga dengan Warisannya

Di bawah langit merah jingga nusantara, suara-suara muda menggema—namun bukan dalam nada harapan, melainkan dalam nada lelah. Mereka yang dulu disebut sebagai pewaris sah republik kini justru berdiri di pinggir jalan sejarah, memandang tanah kelahirannya dengan mata curiga, dengan hati beku. Fenomena ketidakpercayaan pemuda Indonesia terhadap negaranya sendiri bukanlah dongeng pesimis yang baru ditulis, tetapi gema dari akumulasi luka sosial, ekonomi, dan politik yang tak kunjung diobati.

Dalam ironi yang menyakitkan, pemuda yang seharusnya menjadi jantung perubahan justru terdiam. Mereka memilih skeptisisme daripada aktivisme, sinisme daripada idealisme. Sebagian besar merasa tidak didengar, tidak diberi ruang, dan tidak diberi makna. Bahkan, sebuah survei nasional oleh Lembaga Survei Indonesia (2022) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan generasi muda terhadap institusi negara terus menurun, terutama terhadap partai politik, DPR, dan lembaga penegak hukum.

Ketidakpercayaan ini tidak lahir dari kehampaan. Ia tumbuh dalam tanah yang subur oleh ketidakadilan. Dari korupsi yang mengakar (Transparency International, 2023), ketimpangan sosial yang makin melebar, hingga keterasingan pemuda dari proses pengambilan kebijakan—semuanya membentuk atmosfer apatis.

Menurut penelitian oleh Widjanarko & Susanti (2020) dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, salah satu faktor utama hilangnya kepercayaan generasi muda adalah “political disillusionment”, yaitu kekecewaan yang terus-menerus terhadap elite politik yang dianggap tidak mewakili aspirasi rakyat. Pemuda merasa seperti tamu tak diundang di rumahnya sendiri.

Namun lebih dari itu, sistem pendidikan pun gagal membumikan semangat kebangsaan secara hidup. Pelajaran kewarganegaraan yang kering dan prosedural tidak lagi menyulut gairah untuk mencintai bangsa. Identitas nasional menjadi kabur di tengah gempuran globalisasi digital.

Yang lebih mengkhawatirkan bukanlah ketidakpercayaan itu sendiri, melainkan ketidakpercayaan yang tidak disertai dengan usaha untuk berubah. Di sinilah kita menyaksikan tragedi senyap: generasi muda yang memilih menjadi pengamat pasif atas penderitaan bangsanya. Mereka menyindir negara di media sosial, tetapi enggan turun ke jalan. Mereka menulis keluh di kolom komentar, tapi tidak di kertas suara pemilu.

Seperti diungkap oleh Anwar dan Hidayat (2021) dalam Jurnal Komunikasi Politik, terjadi pergeseran partisipasi politik pemuda dari bentuk konvensional (seperti voting dan organisasi) ke bentuk ekspresi simbolik yang tidak selalu berdampak pada perubahan nyata. Artinya, kritik memang ada, tetapi solusi tak diupayakan. Ini menimbulkan apa yang disebut sebagai “alienasi politik”.

Mereka yang apatis merasa bahwa “perubahan adalah omong kosong”, dan bahwa idealisme hanyalah puisi masa lalu. Padahal, seperti kata Soe Hok Gie, “Yang terpenting dalam hidup adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri dan menjadi berguna bagi orang lain.” Keberanian itu kini sedang menghilang, digantikan oleh sikap menyerah yang terselubung.

Namun, alih-alih menyalahkan pemuda sepenuhnya, kita harus merenungi: siapa yang membuat mereka kehilangan nyala itu? Siapa yang membuat mereka merasa bahwa suara mereka takkan pernah didengar? Dalam sistem yang tidak memberi ruang bagi kritik dan partisipasi yang sehat, apatisme menjadi bentuk perlindungan diri.

Filsuf Prancis, Michel Foucault, pernah mengatakan bahwa kekuasaan membentuk wacana. Maka ketika negara gagal membentuk wacana keterlibatan, yang lahir adalah generasi yang diam. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena sudah terlalu sering disakiti.

Meski kelam, bukan berarti terang tak bisa ditemukan kembali. Karena dalam sejarah Indonesia, selalu ada masa ketika pemuda mengguncang takdir: dari Sumpah Pemuda 1928, Reformasi 1998, hingga gerakan lingkungan dan sosial hari ini, meski tak selalu diberitakan.

Pemuda Indonesia tidak kekurangan semangat. Yang kurang adalah panggilan yang tulus dan ruang yang nyata. Maka negara tidak boleh hanya meminta cinta dari pemuda—ia harus mencintai mereka terlebih dahulu, dengan menghadirkan keadilan, pendidikan yang membebaskan, dan demokrasi yang memberi tempat untuk bertumbuh.

Sementara bagi pemuda, kepercayaan bukanlah pemberian, tetapi perjuangan. Kita tak bisa menunggu negara menjadi sempurna baru mencintainya. Sebab seperti dalam cinta, kita memperjuangkan justru karena kita peduli.

Ketidakpercayaan pemuda terhadap negaranya sendiri adalah cermin retak dari kontrak sosial yang terlupakan. Namun selama puisi-puisi perlawanan masih ditulis, selama tangan-tangan muda masih berani mengepal, Indonesia belum selesai.

Negeri ini menunggu. Bukan untuk disindir, tapi untuk diubah. Oleh siapa? Oleh mereka yang darahnya masih merah segar: para pemuda