Sejak kapan pemanfaatan sumber daya alam menjadi masalah? Pertanyaan ini seolah-olah menjadi hal yang baru bagi umat manusia. Kenapa dahulu di tahun 700 M, misalkan, menebang pohon tidak dilarang dan menyebabkan perubahan iklim yang signifikan? Apakah mungkin karena pengetahuan manusia mengenai lingkungan dan perubahannya belum semutakhir sekarang, sehingga dampak dari tindakan tersebut tidak sepenuhnya dipahami? padahal pengetahuan mengenai konservasi alam setidaknya dimiliki oleh masyarakat lampau dan komunitas hukum adat yang hidupnya berdampingan dengan alam, sebutlah masyarakat Baduy Sunda, yang mempunyai pengetahuan ekologi lokal mengenai konservasi hutan (konsep hutan larangan). Contoh lainnya, pada jaman dahulu mungkin, perburuan paus tidak menjadi sorotan utama sebagai masalah kepunahan spesies, mungkin karena habitat dan populasi paus yang jauh lebih melimpah. Namun, seiring dengan waktu dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan manusia, tekanan terhadap lingkungan pun semakin tinggi, tidak hanya paus dan pohon, akan tetapi semua yang bisa dimakan dan dijadikan komoditas bagi manusia terancam mengalami krisis.
Malthusian Catastrophe
Pada saat ini, kita menyaksikan bagaimana tindakan yang tampaknya pada masa lampau tidak menimbulkan masalah, sekarang bisa berujung pada perubahan besar yang merusak ekosistem. Problem ini bisa kita analisis dari pandangan Robert Malthus mengenai Malthusian Catastrophe atau jebakan populasi. Menurutnya, peningkatan populasi manusia yang tidak diimbangi dengan sumber daya yang cukup dapat menyebabkan kekurangan pangan, penurunan kualitas hidup, dan konflik yang berkepanjangan. Malthus berpendapat bahwa, pada titik tertentu, kapasitas dukung bumi akan terbatas, sehingga akan muncul bencana alam atau krisis sosial sebagai respons alami untuk mengurangi jumlah populasi. Dalam konteks saat ini, pemanasan global, pencemaran lingkungan, dan penipisan sumber daya semakin mengkonfirmasi teori tersebut, menunjukkan bahwa tindakan manusia—seperti deforestasi, penggunaan bahan bakar fosil, dan pertanian yang merusak—dapat membawa konsekuensi yang sangat serius bagi kelangsungan hidup di planet ini.
Menurut Malthus, populasi manusia secara alami cenderung tumbuh dengan cara geometris dan eksponensial, yang berarti bahwa populasi akan meningkat dengan sangat cepat seiring waktu jika tidak ada faktor pembatas yang menghalangi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi ideal, jumlah individu dalam suatu komunitas dapat berlipat ganda dalam waktu yang relatif singkat, yang menyebabkan kekhawatiran akan kelebihan populasi dan dampaknya terhadap sumber daya yang tersedia. Pada tahun 2010 populasi di Indonesia mencapai 237.641.326, populasi nya meningkat secara eksponensial hingga tahun 2020 mencapai 270.203.917. Malthus berpendapat bahwa tanpa pengendalian yang tepat, pertumbuhan populasi yang cepat ini bisa mengakibatkan krisis besar, termasuk kelaparan, penyakit, dan peperangan, karena sumber daya alam tidak dapat mengikuti laju pertumbuhan yang pesat ini.
“A Finite World Can Support Only a Finite Population”
Jadi menurut Malthus ketika populasi manusia telah melebihi atau pas di batas maksimal food pruduction/natural, disitulah pemanfaatan alam menjadi masalah. sedangkan idealnya populasi adalah populasi yang bisa ditopang oleh sumber daya alam (optimum population).
Dalam konteks peradaban saat ini, analisis teori ini bisa menjadi refleksi bagi umat manusia, mengajak kita untuk merenungkan posisi kita di alam semesta. Mungkin ini saatnya manusia meninggalkan ego spesies, dan meninggalkan antroposentrisme, yang telah membuat ilusi bahwa manusia adalah spesies paling sempurna dan istimewa. Kita harus menyadari bahwa setiap makhluk hidup memiliki perannya masing-masing dan bahwa keberadaan kita bergantung pada ekosistem yang lebih besar.
The Tragedy of The Commons
Ketika Garrett Hardin menulis esai pada tahun 1968 yang dipublikasikan dalam jurnal Science, yang berjudul The Tragedy of The Commons, ia dipengaruhi, sekaligus mengkritik pemikiran Robert Malthus. Dalam esai tersebut, Hardin menjelaskan secara mendalam mengenai tantangan yang dihadapi umat manusia terkait dengan pertumbuhan populasi yang tidak terkendali dan dampaknya terhadap sumber daya alam. Ia menyatakan bahwa “The population problem has no technical solution, it requires a fundamental extension in morality,” menggarisbawahi kebutuhan untuk mengubah cara berpikir dan berperilaku manusia agar dapat menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara populasi dan kapasitas bumi.
Sebab menurut Hardin The commons yang berarti sumber daya alam milik bersama (air, udara, hutan, tanah, atau padang rumput), dieksploitasi secara berlebihan oleh individu-individu yang bertindak demi kepentingan pribadi mereka, sehingga menyebabkan kerusakan atau habisnya sumber daya tersebut. Dalam konteks ini, Hardin menjelaskan bagaimana tindakan sewenang-wenangnya dari individu bisa berujung pada kehancuran sumber daya yang seharusnya dinikmati bersama oleh seluruh komunitas
Analogi Tragedy of the Commons
Bayangkan sebuah padang rumput yang dapat diakses secara bebas oleh semua peternak di sebuah desa. Setiap peternak memiliki insentif untuk menambah ternak mereka di padang rumput ini karena keuntungan dari penambahan ternak (misalnya, lebih banyak daging atau susu) langsung dirasakan oleh peternak tersebut. Namun, biaya dari penambahan ternak (misalnya, kerusakan padang rumput karena penggembalaan berlebihan) dibagi oleh semua peternak yang menggunakan padang rumput tersebut. Akibatnya, setiap peternak cenderung menambah ternaknya tanpa memperdulikan dampak jangka panjang terhadap padang rumput, karena keuntungan pribadi mereka lebih besar daripada kerugian yang mereka rasakan secara individu. Pada akhirnya, padang rumput menjadi rusak atau habis karena penggembalaan berlebihan (overgrazing), sehingga tidak ada peternak yang bisa memanfaatkannya lagi. Ini adalah “tragedi” yang dimaksud Hardin: sumber daya komunal hancur karena perilaku egois individu.
Beliau menggunakan analogi ini untuk menyoroti konflik antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif dalam pengelolaan sumber daya yang dimiliki bersama. Hardin berargumen bahwa tragedi ini terjadi karena sifat manusia yang rasional secara ekonomi cenderung memprioritaskan keuntungan jangka pendek, meskipun hal ini merugikan keberlanjutan sumber daya dalam jangka panjang.
Solusi?
Hardin berpendapat bahwa tragedi komunal tidak dapat dihindari hanya dengan mengandalkan kesadaran moral atau kebaikan hati individu. Ia mengusulkan dua solusi utama:
- Privatisasi Sumber Daya, Dengan mengubah sumber daya komunal menjadi milik pribadi, individu atau entitas akan memiliki insentif untuk mengelola sumber daya tersebut secara berkelanjutan karena mereka menanggung biaya penuh dari kerusakan. Misalnya, jika padang rumput dimiliki secara pribadi, pemiliknya akan membatasi jumlah ternak agar tidak merusak lahannya.
- Regulasi oleh Pemerintah: Pemerintah dapat mengatur penggunaan sumber daya komunal melalui hukum, kuota, atau pajak. Contohnya, kuota penangkapan ikan atau pajak karbon untuk mengurangi polusi.
Namun, Hardin menekankan bahwa kedua solusi ini tidak sempurna dan memiliki kelemahan yang signifikan yang perlu dipertimbangkan. Privatisasi dapat menyebabkan ketidakadilan sosial yang semakin mendalam, di mana hanya orang kaya yang memiliki akses penuh terhadap sumber daya yang esensial, meninggalkan komunitas yang kurang beruntung dalam keadaan kekurangan. Kondisi ini dapat menyebabkan kesenjangan ekonomi yang lebih besar dan mengurangi kesempatan bagi individu dari latar belakang yang berbeda. Di sisi lain, regulasi pemerintah memerlukan penegakan hukum yang kuat dan efektif, yang sering kali terhambat oleh faktor-faktor seperti birokrasi yang rumit, korupsi yang merajalela, dan kurangnya sumber daya yang memadai untuk supervisi. Apalagi, ketika aturan dan regulasi tidak ditegakkan dengan konsisten, hal ini dapat menyebabkan timbulnya kekecewaan di kalangan masyarakat dan berpotensi mengurangi kepercayaan terhadap pemerintah. Oleh karena itu, pencarian solusi yang seimbang dan adil untuk masalah ini tetap menjadi tantangan yang kompleks dan mendesak.
Benarkah masyarakat tidak mampu bekerja secara kolektif dalam mengelola The commons? ataukah Hardin salah mengartikan The commons?