Di Balik Fleksibilitas Fikih

Fikih sering dipuji karena daya lenturnya, ia hidup melintasi zaman, seolah selalu siap menjawab kebutuhan zaman apapun bentuknya. Tapi ketahanan ini bukan hasil dari kekokohan struktur logisnya, melainkan justru karena fikih tidak pernah membangun dirinya sebagai sistem yang disiplin secara logika formal. Fikih bertahan karena ia beredar di luar orbit mantiq. Ia bukan menara logika, tapi gudang fatwa. Ia liar, fleksibel, dan dipenuhi tarik menarik kepentingan.  Namun bila fikih hendak diklaim sebagai ilmu, bukan sekadar warisan otoritatif, maka ia wajib tunduk pada standar struktur ilmu. Dan hal paling awal dalam setiap ilmu adalah kejelasan konsep dan definisi.

Dalam kaidah dasar mantiq, definisi mesti mengacu pada kaidah la yanalu tasawur illa bil had, wa al-had ayyakuna jami‘an wa mani’an. Maksudnya tidak mungkin diperoleh pemahaman kecuali dengan definisi dan definisi itu harus jami‘an dan mani‘an, yakni mencakup seluruh jenis yang termasuk dan menolak segala jenis yang tidak termasuk. 

Tapi mayoritas definisi dalam fikih tidak memenuhi dua syarat ini. Shalat, misalnya, didefinisikan dalam berbagai karangan fikih klasik sebagai af‘al wa aqwal mahsusah muftatahat bi takbir wa mukhtatamat bi taslim. Perbuatan dan perkataan yang dibuka dengan takbir dan diakhiri dengan salam. 

Jika kita uji dalam laboratorium penalaran, banyak shalat yang tidak punya rukun seperti sujud dan ruku‘—seperti shalat jenazah. Ada pula yang dilakukan sambil berjalan, atau dalam kendaraan. Maka definisi ini tidak jami‘, karena tidak mencakup seluruh yang dinamai shalat, dan juga tidak mani’, karena masih bisa mencakup aktivitas lain. Misal dalam konteks demonstrasi, ada orator membuka orasi dengan takbir dan menutupnya dengan salam. Jika hanya memakai definisi literal itu, maka orasi pun bisa disebut shalat.

Kasus riba juga serupa. Definisi umum adalah kullu ziyadah la muqabil laha (setiap tambahan yang tidak memiliki imbal balik baginya), tapi tidak ada kejelasan apa itu muqabil. Apakah waktu, jasa, atau risiko tidak termasuk? Lalu jika seseorang memberi pinjaman 10 ribu, lalu meminta kembali 12 ribu karena inflasi, apakah itu riba? Fikih tidak menyelesaikan ini dengan kaidah, tapi dengan qiyas syabah yang membandingkan dengan praktik jahiliyyah. Maka hukum atas riba tidak berpijak pada illah burhaniyyah, melainkan pada mashabi musytarakah. Hanya berdasarkan dugaan atas dasar kemiripan jenis. 

Dalam struktur qiyas yang seharusnya terdiri dari muqaddimah kubra (premis mayor), muqaddimah sughra (premis minor), dan natijah shahihah (kesimpulan), fikih seringkali memulai dari natijah terlebih dahulu. Contohnya, hukum khamr haram liannahu yudhhhibu al-‘aql (khamr haram karena menghilangkan akal). Dari sini langsung disimpulkan bahwa narkoba juga haram karena memiliki efek serupa. Padahal tidak semua narkoba memabukkan, bahkan ada zat stimulan yang meningkatkan kesadaran. Al-Razi menganggap qiyas jenis ini sebagai qiyas mu‘tal min jihat al-‘illah, yaitu qiyas yang sakit dari sisi sebab hukum (‘illah), karena ‘illah tersebut tidak dijelaskan dengan dalil burhan (bukti logis yang pasti), melainkan hanya diasumsikan berdasarkan kemiripan efek semata.

Kaidah-kaidah fikih yang sering kita hafal, seperti al-maslahah mu‘tabarah, al-darar yuzal, irtikab akhaff al-dararayn, dan al-darurat tubih al-mahzurat, memang terdengar elegan secara redaksi, tapi secara metodologis tidak lahir dari prinsip, melainkan dari praktik. Mereka bukan hasil dari konstruksi logika hukum yang deduktif, melainkan merupakan bentuk rasionalisasi terhadap kebijakan atau fatwa yang telah diambil. 

Misal kaidah irtikab akhaff al-dararayn (mengambil mudarat yang lebih ringan di antara dua bahaya). Kedengarannya sangat intelektual dan bijaksana. Tapi fikih tidak pernah membakukan parameter objektif tentang apa itu lebih ringan (akhaff)? dan apa itu lebih berat (ashadd)?. Maka dalam kasus hukum politik, kerjasama dengan penguasa zalim bisa dianggap sebagai mudarat ringan dibanding kekacauan sosial, padahal standar berat-ringan ini sangat relatif dan tidak pernah didefinisikan secara mantiqiy.

Demikian juga kaidah al-darurat tubih al-mahzurat, keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang. Tapi apa itu darurat? Tidak ada definisi mani‘ (pembatas) yang tegas. Apakah darurat berarti kelaparan, keterdesakan ekonomi, atau ketidakstabilan negara? Dalam satu kasus, lapar menjadi alasan boleh mencuri. Dalam kasus lain, krisis ekonomi nasional dijadikan dalih untuk praktik riba perbankan. Maka darurat menjadi konsep elastis yang justru bisa dipakai untuk melegitimasi pelanggaran hukum secara sistemik.

Kaidah al-maslahah mu‘tabarah  juga menyimpan problematis. Maslahat disebut sebagai sumber hukum setelah nash, ijma‘, dan qiyas. Tapi maslahat seperti apa yang dianggap mu‘tabarah (diakui syariat)?  Para fuqaha bisa saja dengan longgar menggunakan maslahat untuk semua hal, dari proyek infrastruktur, politik stabilitas, hingga kapitalisasi pertambangan. Maslahat menjadi dalil fleksibel yang mudah disesuaikan dengan arah kekuasaan, bukan hasil dari proses logika hukum yang sistematis.

Akhirnya, seluruh kaidah-kaidah ini, meski tampak kokoh, lebih menyerupai istidlal ta‘lili terhadap apa yang sudah terjadi, bukan istinbath ushuli yang bisa memandu sejak awal. Maka kaidah bukan fondasi hukum, tapi justifikasi pasca-keputusan (ta‘lil ba‘da al-fi‘l). Ia berfungsi seperti narasi yang memperindah keputusan, bukan kompas yang menuntun penalaran. 

Dan di sinilah kita temukan jawabannya, mengapa fikih enggan tunduk pada mekanisme struktur ilmu, karena sejak awal, ia tidak lahir sebagai sistem logika, tapi sebagai sistem otoritas. Dan selama otoritas tetap dipertahankan di atas disiplin penalaran, maka fikih akan selalu hidup, tapi tidak pernah mampu menjelaskan mengapa ia hidup.