Apakah Tuhan hanya Pencipta seluruh semesta, atau sekaligus Pengarah kehidupan? Pertanyaan ini barangkali sederhana, namun sesungguhnya mengandung polemik metafisik dan teologi yang pelik. Dalam pandangan orang-orang beriman, jawabannya sudah jelas: Tuhan tidak hanya mencipta, tetapi juga menyertai, mengarahkan, dan berbicara. Ia bukan “Deus otiosus”—Tuhan yang pensiun pasca penciptaan—sebagaimana diasumsikan dalam model deistik. Islam memandang Tuhan bukan hanya al-Khaliq, tetapi juga al-Mudabbir, pengatur yang terus-menerus terlibat dalam seluruh kehidupan dan nurani manusia.
Model deistik yang melihat Tuhan ibarat tukang jam yang meninggalkan ciptaannya setelah sempurna dirakit, jelas bertentangan dan sungguh sangat menyimpang. Tuhan Islam bukan mekanik yang lepas tangan, tetapi Tuhan yang mengintervensi, menyampaikan kehendak dan nilai-nilai-Nya melalui wahyu dan Rasul. Tuhan yang Mutakallim—Zat yang mengujar, berbicara kepada manusia.
Namun, jika Tuhan berbicara, maka ia pasti memilih bahasa. Dan di sinilah pertanyaan-pertanyaan yang cukup kompleks mulai bermunculan. Lantas dalam bahasa apa Tuhan berbicara? Jika dalam bahasa Arab sebagaimana Al-Quran, apakah itu berarti Tuhan memiliki bahasa? Dan jika bahasa itu adalah bahasa manusia, bukankah itu berarti Tuhan memasuki ruang semantik manusia yang terbatas, dan dengan demikian, menembus batas antara Yang Tak Terhingga dan yang fana?
Pertanyaan ini bukan sekadar pertanyaan retoris yang penuh teka-teki linguistik, melainkan pernah menjadi bahan perdebatan teologis cukup keras dalam sejarah Islam. Bahkan, dalam konteks “mihnah”—inkuisisi teologis era Abbasiyah—isu seperti ini menjadi sandungan ortodoksi. Untungnya, alih-alih tersesat dalam belitan wacana metafisik yang tidak selalu produktif, para sebagian ulama ushul fiqh memilih pendekatan yang lebih metodologis dan fungsional: alih-alih bertanya bagaimana Tuhan berbicara secara hakiki, mereka bertanya bagaimana manusia bisa memahami firman Tuhan secara sistematis.
Dalam hal inilah nama besar Muhammad bin Idris al-Syafi‘i (w. 820) muncul. Melalui karya monumentalnya, Al-Risalah, ia tidak hanya membangun fondasi yurisprudensi Islam, tetapi juga menawarkan arsitektur epistemologis untuk memahami “khithab” Ilahi—ujaran atau wacana Tuhan.
Bagi al-Syafi‘i, Tuhan berbicara bukan tanpa maksud. Firman-Nya bukan sekadar “suara” transenden yang menggantung di langit, tetapi wacana dengan muatan “bayan”—penjelasan, keterangan, atau klarifikasi. Bahasa bukan sekadar medium ekspresi, tetapi alat komunikasi bernalar, dan oleh karena itu, harus mengandung makna yang intelligible—dipahami secara masuk akal oleh manusia.
Kata kunci yang digunakan al-Syafi’i adalah bayan, yang dalam kerangka ushul fiqh dimaknai sebagai proses pencerahan—dari gelap menjadi terang, dari kabur menjadi jelas. Kata ini menjadi poros dalam bangunan ushul fiqh, karena seluruh cabang dan rincian hukum Islam, dengan segala keragaman bentuknya, berangkat dari satu asumsi fundamental: bahwa firman Tuhan bisa dan harus dipahami.
Tetapi bagaimana memahami firman itu ketika ia datang dalam pelbagai bentuk, nada, dan warna? Sebagaimana al-Syafi‘i isyaratkan, dalam bayan Tuhan ada pokok (ushul) dan ada cabang (furu‘). Ada kesatuan dalam keragaman. Maka muncullah upaya sistematis dalam ushul fiqh untuk menata dan memetakan ragam jenis “khithab” Tuhan, agar kita tidak tenggelam dalam kekacauan makna.
Di antara aspek penting dalam kategorisasi ini adalah pemisahan antara firman yang menuntut (iqtida‘) dan firman yang membebaskan pilihan (takhyir). Yang pertama menghasilkan konsep hukum seperti wajib dan haram, sementara yang kedua melahirkan mubah, makruh, dan mandub. Dengan kata lain, wahyu tidak hanya memberi perintah dan larangan, tetapi juga menyediakan ruang kebebasan dan pilihan moral.
Dalam kaitan inilah kita sampai pada Al-Razi (w. 1209), sang polimatik brilian, yang mengembangkan lebih lanjut perdebatan mengenai perintah dan larangan (amr wa nahy) dalam karya besarnya Al-Mahsul. Bagi Al-Razi, perintah Tuhan bukan sekadar tindakan Nabi yang bisa ditiru secara mekanik. Perintah, secara hakikat (haqiqat), adalah ujaran—sesuatu yang harus disampaikan secara verbal, bukan hanya melalui perilaku.
Mengapa ini penting? Karena dalam dunia Islam, pembedaan antara tindakan dan ucapan bukan soal teknis, melainkan epistemologis. Tindakan Nabi bisa menjadi contoh, tetapi tidak otomatis menjadi norma hukum—kecuali jika ia disertai ujaran atau indikasi eksplisit. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap logos Tuhan, dan sekaligus bentuk kehati-hatian agar umat tak terjebak pada penyembahan bentuk di atas substansi.
Perdebatan ini bukan hanya soal logika hukum, tetapi menyentuh soal makna kemanusiaan itu sendiri: bahwa manusia sebagai makhluk rasional diajak berdialog oleh Tuhan yang Mutakallim. Dialog ini tidak dilakukan dalam bahasa adikodrati atau simbol-simbol mistik yang membingungkan, tetapi dalam bahasa manusia, agar bisa ditangkap akal, direnungi hati, dan dijelmakan dalam tindakan.
Walhasil, kita bisa melihat bahwa ushul fiqh bukan sekadar ilmu tentang hukum, tetapi juga ekspresi paling elegan dari upaya peradaban Islam untuk menjawab panggilan Tuhan dengan nalar, bukan sekadar dengan kepasrahan buta. Ushul fiqh adalah ruang tempat wahyu dan akal berdialog, tempat Tuhan yang Mahatinggi menunduk agar dimengerti oleh yang rendah, tanpa kehilangan kemuliaan-Nya.
Firman Tuhan, dengan demikian, adalah tanda cinta yang menjelma menjadi bahasa. Bahasa yang tidak membingungkan, tetapi menuntun. Dan tugas manusia bukan hanya mendengar, tetapi memahami. Sebab hanya dengan pemahamanlah, firman itu menjadi hidup, membumi, dan menuntun jalan.