Madzhab Perjuangan: Membaca Kelakar Cak Imin antara HMI dan PMII

Di tengah suasana Rakernas Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII), minggu lalu, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin melontarkan sebuah kelakar yang memantik perbincangan panas: “Kader PMII itu tumbuh dari bawah. Nggak mungkin dari atas. Kalau dari atas pasti dia HMI.” Sekilas, pernyataan ini terdengar nyinyir, bahkan dianggap sebagai reduksi sejarah. Beberapa pihak menilai Cak Imin sedang menebar provokasi, seakan hendak membenturkan dua gerakan mahasiswa Islam tertua, antara PMII dan HMI.

Tapi guyonan dalam tradisi politik Indonesia, khususnya kultur Nahdliyin, tak sekadar mengundang tawa. Di sana sebenarnya tersimpan sebuah gagasan penting yang jika dibaca menggunakan peta gerakan mahasiswa sebagai spektrum madzhab perjuangan, maka ucapan Cak Imin justru menjadi pintu masuk untuk membaca ulang diferensiasi ideologis yang selama ini terpendam di antara dua organisasi ini.

Perlu diketahui organisasi mahasiswa ekstra kampus bukan hanya tempat kaderisasi, tapi juga wahana produksi ideologi. Di sanalah watak generasi politik dibentuk, bukan hanya secara teknis kepemimpinan, tetapi juga secara paradigmatik, bagaimana mereka memandang kekuasaan, masyarakat, dan jalan perubahan. Maka membandingkan HMI dan PMII tak cukup dilihat dari data sejarah atau jumlah kader di parlemen dan kementerian. Ia harus dibaca dari perbedaan paradigma yang melatari orientasi geraknya.

Madzhab Good Governance: HMI sebagai Jalan Perjuangan dari Atas

Sejak awal berdirinya pada tahun 1947, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah memposisikan dirinya sebagai bagian dari upaya membentuk kader intelektual Muslim yang memiliki kecakapan dalam membangun bangsa melalui aparatus negara. Di sinilah benih madzhab good governance tertanam. Nurcholish Madjid, sebagai pemikir terbesarnya, tidak hanya mendorong pembaruan pemikiran Islam, tetapi juga memberi arah perjuangan HMI ke dalam orbit reformasi negara dari dalam, yakni menjadi teknokrat, birokrat, politisi, atau elite negara yang beriman dan beretika.

Secara konseptual, madzhab ini meyakini bahwa masyarakat yang adil dan beradab dibentuk dari keberadaan pemimpin yang adil, kuat, dan visioner. Dalam pembahasan fikih klasik, hal ini beririsan dengan pandangan Ibnu Taimiyah (yang mempengaruhi pemikiran Nurchalis Madjid) dalam as-Siyasah asy-Syar’iyyah, bahwa keberadaan al-imam (pemimpin) adalah syarat mutlak bagi terwujudnya keadilan dan tatanan sosial yang stabil. Negara adalah alat, bukan ancaman. Karena itu, masuk ke birokrasi bukanlah pengkhianatan, tapi instrumen dakwah. Maka tak heran jika kader HMI cenderung bergerak ke dalam orbit kekuasaan, ia mendekati pusat, mengelola kementerian, dan menjadi aktor strategis dalam tubuh negara.

Sejarah mencatat bahwa sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, posisi-posisi elite strategis di republik ini banyak diisi oleh alumni HMI, dari Bang Ali Sadikin, Akbar Tandjung, Anas Urbaningrum, Mahfud MD, hingga Dedi Mulyadi dan Anies Baswedan serta masih banyak lagi tentunya. Mereka bukan sekadar berperan, tetapi mengendalikan peta kekuasaan. Inilah yang dimaksud “berjuang dari atas” —yaitu meyakini bahwa transformasi masyarakat dapat dilakukan melalui kanal negara, melalui tangan-tangan kekuasaan yang tercerahkan.

Madzhab Civil Society : PMII dan Jalan Perjuangan dari Bawah

Di sisi lain, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sejak awal kelahirannya pada 1960, menapaki jalur yang berbeda. PMII lahir bukan sebagai pecahan HMI, tetapi sebagai antitesis kultural dari corak HMI yang terlalu elitis dan terlampau kental dengan gaya modernis perkotaan. PMII membawa semangat santri, kultur pesantren, dan prinsip jam’iyah yang berpijak pada akar tradisi Nahdliyyin.

Dalam tradisi pemikiran Gus Dur—yang menjadi patron intelektual PMII—tatanan sosial yang adil tidak harus berangkat dari negara, tetapi dari masyarakat sipil yang kuat. Dalam banyak tulisannya, Gus Dur mengartikulasikan pentingnya civil society sebagai benteng terhadap otoritarianisme negara. Ia mengedepankan pemberdayaan akar rumput, advokasi masyarakat marginal, dan penguatan komunitas sebagai jalan utama transformasi.

Dengan kata lain, PMII menganut madzhab perjuangan civil society , bahwa transformasi tidak datang dari pusat, tetapi dari pinggiran. Gerakan bukan dimulai dari elite, tetapi dari basis. Hal ini sangat tercermin dalam paradigma arus balik masyarakat pinggiran, yang menurut saya masih terwarisi hingga hari ini di tubuh PMII. Maka tidak heran jika PMII cenderung lebih aktif dalam kegiatan advokasi, pendampingan masyarakat, LSM, penguatan desa, dan kerja-kerja sosial di luar struktur negara. Dalam banyak kasus, kader PMII justru tampak lebih nyaman berada di luar orbit kekuasaan formal. Sekali masuk orbit kekuasaan, ia kelabakan, karena memang tidak terdesain untuk menjadi pengendali jalannya negara.

Kita kembali ke pernyataan Cak Imin. Tentu ia menyampaikannya dalam gaya khas Nahdliyin, guyon, santai, bahkan terdengar sinis. Pernyataan “kalau dari atas itu HMI, dari bawah itu PMII” menjadi masuk akal jika dibaca dalam kerangka paradigma tadi. Bahwa masing-masing organisasi telah mengambil madzhab perjuangan yang berbeda. HMI mewarisi garis perubahan dari atas, dari negara, dari elite. PMII menghidupi perjuangan dari bawah, dari masyarakat, dari rakyat biasa. Keduanya tidak saling menegasikan. Keduanya punya logika sejarahnya masing-masing. Keduanya berada dalam spektrum strategi sosial-politik yang sah dan memiliki keabsahan historis-filosofis dan ilmiah.

Saya justru terheran-heran ketika mendapati bahwa kelakar Cak Imin itu dimaknai sebagai penghinaan atau bentuk distorsi oleh sebagian kanda-kanda. Seolah-olah, pernyataan “berjuang dari atas” adalah semacam tudingan negatif. Padahal jika kita sedikit saja meletakkan perspektif secara lebih ilmiah dan historis, kita akan tahu bahwa banyak pejuang besar bangsa ini justru lahir dan berkontribusi melalui jalan “dari atas”.

Apakah kita lupa bahwa diplomasi kemerdekaan Indonesia tidak hanya ditempuh lewat teriakan di jalanan, tetapi juga melalui perundingan di meja-meja elit? Bahwa bangsa ini tidak semata dibangun oleh aktivis akar rumput, tetapi juga oleh teknokrat, birokrat, pejabat, dan negarawan yang menata ulang realitas melalui jalur sistem? Tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, hingga Syahrir adalah contoh bahwa berjuang dari dalam sistem bukanlah bentuk kompromi ideologis, melainkan strategi rasional untuk mengartikulasikan idealisme dalam kerangka kekuasaan yang sah.