Di Antara Lacan dan Ponty: Apakah Filsafat Masih Perlu?

*Catatan Samara: 15 Juli 2025

“Aku berpikir, maka aku ada.” Ungkapan Rene Descartes ini kerap dikutip anak-anak muda, “sekelompok” mahasiswa yang baru jatuh cinta pada kegiatan berpikir. Mereka sedang liar-liarnya berpikir, belum tentu runtut. Tapi tak mengapa. Semua pemula memang dimulai dari kegamangan bukan? Dan, hampir semua orang besar melewati fase itu. Namun, tidakkah hari ini kita kadang justru merasa sebaliknya? Bahwa terlalu banyak berpikir membuat kita hilang? Cogito ergo non sum.

Syahdan, mungkin dunia hari ini terasa penuh dari kehadiran yang “tak pasti”. Pikiran tak selalu menjamin kejelasan. Barangkali Descartes lupa: berpikir tak melulu menghadirkan kepastian. Justru saat kita berpikir, kita mulai sadar—betapa banyak hal yang tak bisa dengan mudah kita mengerti. Socrates lebih dulu menyadari itu, “Aku tahu bahwa aku tidak tahu” katanya. Mungkin, di situlah filsafat bermula: antara keterbatasan dan keraguan. Antara resah dan gelisah.

Ferry Irwandi, dalam sebuah unggahan Instagram beberapa waktu lalu meramaikan jagat maya. Tanpa terkecuali pemikir-pemikir hebat jebolan alumni Jurusan Filsafat. Ia ajukan judul dengan sebuah pertanyaan retoris: “Perlukah jurusan Filsafat dihapus?” Pertanyaan yang, sebenarnya tak benar-benar minta dijawab. Tapi cukup menunjukkan sikap: bahwa filsafat, mungkin sudah dianggap usang. Ia tidak praktis, bahkan tak lagi relevan. Dunia hari ini lebih mengagungkan sains dan teknologi. Yang terukur, yang bisa dibuktikan. Yang sesuai, yang bisa dipakai. Filsafat, dalam pandangan semacam itu, hanyalah labirin kata-kata dan teka-teki.

Yang dibutuhkan bukan filsuf, melainkan teknisi, insinyur, pembuat alat, pencipta sistem. Sebenarnya ini bukan nada baru. Sejak abad ke-19, positivisme berusaha mengusir filsafat dari ranah ilmu. Auguste Comte pernah meramalkan kelak manusia akan melewati masa teologi dan metafisika, hingga akhirnya tiba pada tahap positif—sains sebagai satu-satunya penjelasan. Namun, benarkah dunia sepenuhnya bisa dijelaskan oleh sains?

Beberapa hari lalu, kami berbincang tentang filsafat ambiguitas. Diskusi itu berangkat dari sebuah buku yang awalnya merupakan tesis berjudul “Aku yang Ambigu: Sintesa antara Pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan”, karya Irawan, seorang alumni Magister Filsafat Universitas Indonesia, yang kemudian diterbitkan oleh Jalasutra dengan judul: “Animal Ambiguitas: Memahami Manusia melalui Pemikiran Maurice Merleau-Ponty dan Jacques Lacan.” Penulisnya sendiri hadir, dan menguliti yang ia tuliskan. Kami menyimaknya.

Dari seorang Lacan—pemikir yang ganjil, seringkali menyebalkan, dan justru karena itu: menarik baginya. Juga tentu saja bagi mereka yang gandrung mencari. Lacan percaya, bahasa adalah penjara. Kita adalah “subjek” yang dibentuk olehnya. Terbelah antara apa yang kita kehendaki dan apa yang bisa kita ucapkan. Kita hidup dalam kekurangan. Manusia, sederhana tetapi pelik menurut Lacan, adalah makhluk yang terus mencari makna—namun makna itu sendiri selalu menunda hadirnya. Filsafat dalam pandangan Lacan yang kuat dipengaruhi Post-Modernisme tak pernah menawarkan jawaban. Ia membuka pertanyaan. Dan dari satu pertanyaan, ke pertanyaan selanjutnya, ke pertanyaan berikutnya—hingga kesadaran perlahan lahir. Sadar bahwa manusia tidak akan bisa dipisahkan dengan ambiguitasnya.

Namun bukan hanya Lacan yang bicara tentang keterbelahan dan ketaklengkapan manusia. Ponty, yang menjadi poros lain dalam tesis itu, menawarkan jalan berbeda namun tak kalah mengganggu dan menyebalkan. Ponty menolak pandangan Cartesian bahwa manusia adalah res cogitans, makhluk yang berpikir secara terpisah dari tubuhnya. Bagi Ponty, manusia adalah animal ambiguus: makhluk ambigu. Kita tidak bisa dipisahkan antara tubuh dan kesadaran. Tubuh bukan sekadar wadah, tetapi cara kita mengalami dunia. Melalui tubuh, kita memahami, merasakan, dan hadir.

Ambiguitas dalam Ponty bukan kelemahan, bukan sesuatu yang negatif, tetapi kenyataan eksistensial yang tak terelakkan. Tubuh manusia—yang sadar sekaligus terbatas—menjadi titik tolak dalam memahami bahwa kebenaran tak pernah sepenuhnya terang. Yang ada adalah intensitas, nuansa, ketaksaan.

Sintesis antara Lacan dan Ponty menjadi semacam dialog antara tubuh dan bahasa. Antara yang dirasakan dan yang diartikulasikan. Antara yang kasat dan yang tersembunyi. Maka filsafat, dalam kasus ini, dan kasus-kasus yang lain tidak sedang mencari kepastian, melainkan menampung ketakterelakkan akan ketidakpastian itu sendiri.

Bayangkan, manusia dilempar ke semesta yang absurd. Dan dari absurditas itu tumbuh pertanyaan: untuk apa semua ini? Dunia tidak pernah rapi. Tak masuk akal. Tidak selalu bisa dijelaskan. Tapi, dari kekacauan itulah muncul kesadaran: bahwa hidup tak dapat diringkas dalam kepastian rumus. Walaupun rumus kadang bisa menyelesaikan sesuatu. Pada kegelisahan semacam itu, filsafat menjadi perlu. Bukan yang tinggi, bukan yang agung, tidak pula yang melangit. Tapi yang rapuh. Yang jujur. Dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar akan keterbatasannya, akan ajalnya. Kesadaran akan mati itulah yang justru membuat hidup berarti.

Tentu saja, tak terelakkan zaman ini sudah sangat diliputi oleh serba kecepatan, karenanya kesadaran semacam itu sering tenggelam. Kita lupa merenung. Lupa bertanya. Di situlah filsafat perlu hadir—bukan sebagai pelajaran, tetapi sebagai jeda. Sering kita kira filsafat hanya milik Socrates, Plato, Hegel, Marx atau Kant. Atau nama-nama besar lain yang menulis dengan kalimat panjang dan buku-buku tebal. Tapi filsafat juga bisa hadir dalam praktik keseharian, dalam hal-hal sepele: dalam rasa bersalah setelah menyakiti, dalam ragu sebelum memilih, dalam diam saat melepaskan.

Ia hidup di wilayah yang tak bisa dijelaskan oleh angka dan data. Di Yunani kuno, filsafat bukan sekadar ilmu. Ia adalah laku hidup. Socrates mengajar bukan dengan teori, tapi pertanyaan. Ia berjalan di tengah kota, menggali tanpa menggurui. Dan dari penggalian itulah manusia mulai mengenal dirinya. Filsafat, dalam bentuknya yang paling murni, bukanlah perihal jawaban. Ia adalah upaya untuk terus mencari—meski sadar bahwa yang dicari mungkin tak akan pernah selesai dan benar-benar ditemukan.

Tanpa syak wasangka, zaman ini sudah jengah pada kerumitan-kerumitan seperti itu. Kita lebih menyukai kepastian, bukan keraguan. Ingin jawaban, bukan proses. Wajar bila filsafat menjadi asing. Terlalu lambat. Terlalu ragu. Terlalu banyak bertanya. Tidak langsung praktik. Tidak konkrit. Barangkali justru karena itu, filsafat penting. Sebab dunia tidak selalu bisa dipercepat. Ada luka yang butuh waktu. Ada keputusan yang tak bisa dirumuskan. Ada nilai yang tak bisa diukur.

Ketika hukum kehilangan keadilan, ketika sains membungkam nurani, ketika sistem membungkus kuasa dengan logika, kita butuh filsafat—untuk menelanjangi semuanya. Benar, kita tidak butuh filsafat untuk membangun rumah. Tapi kita butuh filsafat untuk bertanya rumah seperti apa yang bisa menjadi tempat pulang yang paling nyaman? Kita tidak butuh filsafat untuk menciptakan mobil, tapi kita butuh untuk bertanya ke mana arah yang layak dituju? Kita tidak butuh filsafat untuk meracik obat, tapi kita perlu bertanya siapa yang layak disembuhkan? Kita tidak butuh filsafat untuk membuat hukum, tapi kita butuh filsafat untuk bertanya apakah hukum itu adil?

Akhirnya, filsafat bukan alat. Sebab ia tidak menyelesaikan. Tapi ia menjaga kita dari menyelesaikan sesuatu dengan cara yang salah. Tentu saja filsafat juga tidak bebas kritik. Ia kadang terlalu sibuk mengagumi dirinya sendiri. Terlalu asyik bermain konsep. Abstraksi-abstraksi yang tidak konkrit. Terlalu melangit. Tapi itu bukan alasan untuk menyingkirkannya. Justru itulah alasan untuk membumikan kembali filsafat ke tanah: ke ruang obrolan keluarga, ke warung kopi, ke kelas sekolah, ke percakapan antara ayah dan anak. Filsafat harus menjadi sikap, bukan sekadar pengetahuan. Sebab ia bukan milik para pemikir. Tapi milik siapa pun yang tak puas dengan jawaban-jawaban yang gampang.

Apakah filsafat masih perlu? Barangkali jawabannya tidak bisa diberikan sekarang. Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi selama manusia masih bertanya tentang cinta, tentang keadilan, tentang mati, tentang mengapa hidup terasa berat—filsafat akan tetap dibutuhkan.

Bukan untuk menjawab semuanya, tapi untuk menemani kita menghadapi semuanya. Yang kita perlukan mungkin bukan filsafat yang besar, tapi yang dekat. Yang tak sok tahu, tapi mau mendengar. Yang tak menggurui, tapi menumbuhkan keingintahuan. Yang tak menjanjikan terang, tapi berani tinggal dalam gelap. Sebab hidup bukan tentang menemukan semua jawaban. Tapi tentang menjaga ruang—bagi pertanyaan-pertanyaan yang terus menyala.