Transfer Pemain dan Bay‘ al-Gharar: Ketika Bursa Sepakbola Menantang Etika Akad

Musim panas 2025 kali ini menjadi momentum krusial bagi klub-klub Eropa dalam merombak skuat menghadapi musim kompetisi 2025-2026 nanti. Bursa transfer kembali dibuka dengan gelombang negosiasi, rumor, kontrak, komisi agen, hingga klausul rilis. Di sinilah klub menjual dan membeli manusia dengan harga yang kadang menyaingi PDB negara kecil. Satu gelandang kreatif bisa dihargai 100 juta euro hanya karena algoritma menilai dia punya expected assist tinggi. Namun dari sudut pandang fikih, transaksi semacam ini menyodorkan pertanyaan mendasar: ini jual beli macam apa? Dan di mana letak kepastian akadnya

Dalam Islam, akad jual beli (bay‘) dituntut memiliki unsur-unsur kejelasan objek (ma‘qud ‘alayh), kerelaan kedua belah pihak (taradl), serta bebas dari unsur gharar, yakni ketidakpastian, spekulasi liar, atau objek yang tidak jelas hakikatnya. Maka ketika seorang pemain ditebus seharga 70 juta euro padahal ia masih cedera panjang, belum tentu pulih, atau belum tentu cocok dengan taktik pelatih, maka di sinilah akad itu mulai menari-nari di tepi jurang bay‘ al-gharar.

Gharar adalah musuh utama dalam muamalah. Ia menyelinap melalui akad-akad yang tidak jelas hasil, tidak jelas objek, atau terlalu spekulatif. Nabi SAW pernah melarang jual beli “ikan dalam air” atau “anak unta dalam kandungan induknya” karena dua alasan, antara lain tidak bisa dijamin keberadaannya, dan bisa memicu pertengkaran. Lalu bagaimana dengan transfer pemain yang digadang-gadang sebagai calon bintang, tapi enam bulan kemudian jadi penghangat bangku cadangan? Atau jadi tontonan lawak fans rival di setiap pertandingannya?

Contoh klasik gharar modern dalam sepakbola adalah klausul kontrak yang berbunyi: “jika ia bermain 50% dari total laga musim ini, maka klub wajib membayar tambahan 10 juta euro.” Atau klausul rilis yang otomatis aktif “jika klub lolos ke Liga Champions.” Semua itu serupa dengan mu‘allaqat, yakni akad bersyarat yang terlalu tergantung pada hal yang tidak pasti. Dalam ushul fikih, akad seperti ini jelas mengandung potensi gharar karena hasil akhirnya tidak bisa dipastikan saat transaksi dilakukan.

Sebagian ulama kontemporer seperti Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa gharar bisa ditoleransi jika kecil (gharar yasir) dan sudah menjadi kebiasaan umum yang dibutuhkan (‘urf), selama tidak membawa kepada pencederaan total terhadap hak dan kewajiban. Maka, dunia sepakbola, dengan segala keanehannya, telah membentuk semacam ‘urf mu‘ashir, suatu kebiasaan profesional yang dipahami dan diterima semua pihak. Meski demikian, gharar tetap jadi wilayah abu-abu, apalagi jika akad itu menzalimi salah satu pihak. Seperti kontrak jangka panjang yang mengikat pemain muda secara sepihak tanpa kejelasan menit bermain. Atau klausul sepihak yang membuat pemain tak bisa pindah meskipun sudah tidak dipakai. Hal itu sangat lumrah terjadi pada dunia bursa transfer pemain.

Masalah makin ruwet ketika agen pemain masuk. Komisi agen seringkali tidak transparan. Mereka bisa mengambil 10% dari total nilai transfer, bahkan kadang menerima uang pelicin agar pemain lebih memilih klub tertentu. Ini menyerempet ranah rishwa (suap), atau bahkan ghubn fahisy, yakni manipulasi harga yang mencederai keadilan pasar. Dalam fikih, akad seperti ini bisa dinilai fasid atau cacat karena ketimpangan informasi dan ketidakseimbangan posisi tawar.

Yang menarik, dalam akad bay’, Islam juga mengenal prinsip khiyar, yaitu hak memilih setelah akad berlangsung, apakah diteruskan atau dibatalkan. Dalam sepakbola, ini bisa dibandingkan dengan masa percobaan atau opsi pembelian permanen setelah masa peminjaman. Klub bisa menilai dulu performa pemain, lalu memutuskan. Ini adalah bentuk tatsabbut, kehati-hatian dalam bermuamalah. Tapi bila tak jelas syarat dan waktunya, maka khiyar bisa berubah menjadi gharar baru.

Dengan demikian, bursa transfer adalah arena kontemporer yang menantang fikih klasik. Ia memaksa kita untuk bertanya ulang, bagaimana fikih merespons realitas ekonomi modern yang cepat, spekulatif, dan penuh fluktuasi? Apakah akad masih bisa dianggap sah jika objeknya adalah “potensi” seorang pemain, bukan performa aktualnya? Apakah kita tengah menjual dzimmah (komitmen abstrak), atau menjual ‘ayn (sesuatu yang konkret)?

Sepakbola ternyata juga menyimpan persoalan fikih yang ruwet. Ia memperlihatkan bahwa hukum Islam bukan sekadar larangan-larangan puritan, tapi kerangka berpikir untuk memahami ketidakpastian modern. Dan barangkali, di tengah hingar bingar bursa transfer, umat Islam bisa belajar ulang tentang etika transaksi, hakikat nilai, dan batas antara ijtihad yang kreatif dengan gharar yang merusak.

Pada akhirnya, bukan nilai transfernya yang jadi soal, tapi keadilan dan kejelasan akad, dua hal yang ditanamkan Rasulullah sebagai fondasi muamalah yang sehat. Jika sepakbola adalah agama global non-teistik, maka bursa transfer adalah ujian imannya, siapa yang teguh pada nilai, siapa yang goyah karena nominal.