Prof. Bambang Q-anees datang menengok Kebul. Seperti biasa, beliau menanyakan kabar, dan tentu, kami ngawangkong, berbincang ngalor-ngidul, menyusuri topik-topik kecil dan besar dalam suasana yang santai, kadang serius, kadang tertawa sampai lupa bahwa sedari tadi belum ada yang beli buku.
Dari semua percakapan itu, ada satu kalimat yang saya garisbawahi, saya lingkari, saya simpan baik-baik dalam kepala: ibadah itu ada ibadah hati, ibadah akal, dan ibadah badan. Lalu ia menambahkan, “Jika ibadah hati dan ibadah akal belum sempat kau tunaikan, paling tidak, ibadah badanmu telah selesai dikerjakan.”
Saya terdiam.
Bukankah sering kali kita menjalankan salat dengan pikiran melayang ke tagihan listrik, ke cucian baju yang belum selesai, atau ke notifikasi yang belum sempat dibaca? Bukankah saat puasa, kita masih mencibir diam-diam, masih marah dalam hati, masih mengeluh tentang rezeki yang terasa seret? Bukankah zikir yang kita ucapkan sering lebih banyak menjadi rutinitas lidah daripada gerak kesadaran? Lidah berucap, “Allah.. Allah.. Allah..” tapi pikiran berdenyut kata, “Uang.. uang.. uang..”??
Tapi rupanya, sebagaimana kata Prof. Bambang, meski hati dan akal belum menyatu sepenuhnya, walau kita masih jauh dari khusyuk dan malaweung, Tuhan tetap menghargai laku badan kita. Dia tak pernah menyepelekan sujud yang kita kerjakan, tak pernah menutup telinga atas mulut yang menyebut nama-Nya, tak pernah ngaleos dari langkah kaki yang menuju rumah-Nya.
Dia sendiri yang berjanji:
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)
Saya lalu teringat Gus Mus. Dalam suatu pengajian, beliau pernah menguraikan makna salah satu Asmaul Husna: Asy-Syakur. Kata beliau, jika engkau telah sekuat tenaga berbuat baik, telah bersungguh-sungguh beribadah, tapi masih ada celah, ada cacat, ada kurang di sana-sini, maka Allah tetap akan “bersyukur”. Tentu bukan dalam arti seperti kita bersyukur, tapi dalam pengertian Ilahiyah: Dia tetap menerima pengabdianmu. Dia mengapresiasi niat dan usaha, meski belum sempurna. Dia menerima cinta yang kita bungkus meski tidak paripurna.
Yang celaka, bukan hanya pikiran dan hati, tapi jika tubuh pun enggan untuk berbakti. Apa yang jadi sebab? Maka sebelum pulang, ucapan Prof. Bambang tumpah seperti air bah.
“Jika di kemudian hari anggota tubuhmu akan menjadi saksi, itu berarti mereka semua punya kesadaran. Pernahkah kamu berbicara dengan jantungmu yang terus berdetak itu? Atau kepada darahmu yang tak henti mengalir itu? Atau kepada mulutmu, otakmu, tanganmu, kakimu, kelopak matamu, hidungmu, telingamu, ususmu, duburmu, kukumu, kulitmu, atau pori-porimu?”
“Pernahkah di sunyi malam, kamu menyapa seluruh anggota tubuhmu? Pernahkah kamu menyesali atas segala ketololanmu dalam memperlakukannya, kemudian minta maaf padanya? Atau pernahkah kamu berterima kasih pada seluruh anggota tubuhmu atas semua kerja dan fungsinya, lalu mengucap ‘aku mencintaimu?‟
“Pernahkah satu detik di dalam kehidupanmu, kau mengajak komunikasi otakmu sendiri, mengajak diskusi kaki tanganmu, mengajak bermusyawarah jantung juga darahmu, atau mengajak berbincang seluruh bulu yang tumbuh di tubuhmu?”
Karena tidak pernah melakukannya, saya hanya menggeleng kepala, dan suara Prof. Bambang kembali menghentak, “Maka pantas, jika tubuhmu akhirnya berkhianat kepada dirimu sendiri. Kamu ajak tubuhmu berbuat kebajikan, tapi mereka diam. Kamu ajak mereka mencari ilmu pengetahuan, mereka tak mau. Kamu pinta mereka menyelami samudra kebenaran, mereka tak suka. Bahkan ketika kamu ajak mereka menyembah Tuhan, mereka mengelak.”
“Terimalah mereka, sadari keberadaannya dalam dirimu. Menyesal lah, kasihilah, meminta maaflah, dan berterima kasihlah pada seluruh anggota tubuhmu. Sebab jika tidak, mereka tak akan cuma mengkhianatimu di dunia ini, tapi juga di pengadilan akhirat kelak. Mereka akan membuka aib-aib yang selama ini kau sembunyikan, akan membongkar rahasia-rahasia yang selama ini kau simpan, di hadapan semesta dan Tuhan.”
“Jangan kamu pedulikan mereka hanya ketika sakit tiba. Hari ini sapalah mereka, ajak bicara, biar mereka akrab dan jatuh cinta padamu. Dan setelah itu, kamu akan benar-benar menyembah Tuhan dengan seluruh dirimu..”