Membayangkan suatu pagi di kampus. Mahasiswa berkumpul, suara orasi menggema, spanduk protes terbentang di antara gedung-gedung yang dulunya saksi sejarah perjuangan 1998. Isu yang mereka bawa tak main-main: pemotongan anggaran pendidikan, kenaikan biaya kuliah, hingga ketimpangan akses terhadap teknologi dan sumber daya belajar.
Tidak sekadar gerakan moral, kemunculan aksi sosial ini perlu dilihat sebagai hasil dari penumpukan kontradiksi struktural dalam masyarakat. Bagi Chris Harman (2007), setiap ledakan sosial terjadi ketika sistem yang ada gagal memenuhi kebutuhan dasar kelompok tertentu. Dalam konteks ini, mahasiswa—sebagai bagian dari kelas menengah yang semakin terpinggirkan—menghadapi tekanan akibat liberalisasi pendidikan dan krisis ekonomi.
Menengok Februari 2025, aksi bertajuk “Indonesia Gelap” terjadi serentak di berbagai kota sebagai bentuk penolakan terhadap pemotongan anggaran pendidikan sebesar 20% oleh pemerintah (BBC, 2025). Pemerintah beralasan bahwa anggaran tersebut dialihkan untuk subsidi energi dan pangan. Namun, kebijakan ini berdampak langsung pada semakin komersialnya pendidikan tinggi dan terbatasnya akses bagi masyarakat. Kontradiksi ini memperjelas bahwa mahasiswa—sadar atau tidak—terjebak dalam dinamika pertarungan kelas yang lebih besar.
Peristiwa terkini memperlihatkan bagaimana kontradiksi struktural yang menekan seluruh elemen kelas benar-benar meledak ke permukaan. Gelombang protes besar yang pecah pada Agustus 2025 ini—dipicu isu kenaikan tunjangan pejabat, tewasnya seorang pengemudi ojek daring akibat kendaraan aparat, serta pemotongan anggaran pendidikan—menjadi bukti bahwa krisis pendidikan dan ketidakadilan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik nasional (CNBC, 2025). Kericuhan yang meluas, jatuhnya korban jiwa, hingga serangan terhadap gedung-gedung pemerintahan menunjukkan bahwa aksi mahasiswa berkelindan dengan kemarahan rakyat yang lebih luas terhadap ketimpangan sistemik.
Gerakan mahasiswa tidak semata-mata merupakan ekspresi idealisme, melainkan respons terhadap tekanan sistemik yang dialami. Persoalan muncul ketika gerakan ini tidak dilihat dalam kerangka struktur yang lebih luas, seperti liberalisasi pendidikan dan pemotongan anggaran. Tanpa analisis struktural yang jelas, aksi-aksi yang dilakukan berisiko terjebak pada simbolisme belaka: menggelegar sesaat, namun kehilangan momentum dan dampak jangka panjang.
Tulisan ini mencoba untuk menjadi kerangka alternatif atas pembacaan situasi kini. Maksudnya bahwa perjuangan tidak dapat hanya mengandalkan niat baik. Perjuangan harus dibangun atas pemahaman kita pada kondisi struktural, strategi jangka panjang, dan solidaritas yang menjangkau lintas kelas.
Sejarah yang “Hampir” Dilupakan
Kita selalu mengagumi mereka yang berani bergerak. Mahasiswa, dalam banyak narasi sejarah bangsa ini, seolah ditakdirkan untuk itu. Berteriak lantang dari podium kampus, turun ke jalan membawa poster dan tuntutan, menjadi benih perubahan saat dunia dewasa justru tenggelam dalam kompromi-kompromi. Tapi yang jadi pertanyaannya adalah mengenai orientasi gerakan: dari mana ia bermula dan ke mana tujuannya. Tanpa kejelasan agenda dan strategi yang terarah, gerakan berisiko terjebak dalam aksi simbolik tanpa dampak transformatif apa pun.
Tahun 1966 menjadi momen kritis ketika kesabaran sosial masyarakat Indonesia mencapai batasnya. Inflasi mencapai 650 persen, harga kebutuhan pokok melonjak tak terkendali, dan pemerintah tidak mampu memberikan kepastian arah kebijakan (Prasetyantoko & Indriyo, 2001). Dalam situasi demikian, mahasiswa turun ke jalan dengan membawa Tritura — tiga tuntutan yang lahir dari keresahan nyata terhadap masa depan yang suram dan sistem yang kehilangan arah. Aksi ini ialah protes struktural terhadap sistem yang mulai keropos.
Harman menyebut kondisi ini sebagai buah dari “kontradiksi historis” — ketika akumulasi ketimpangan, kegagalan ekonomi, dan stagnasi politik bertemu dalam satu momen, maka kemunculan gerakan adalah niscaya (Harman, 2007). Mahasiswa, dengan privilese ruang diskusi dan waktu belajar, menjadi detektor awal dari kerusakan sistem. Mereka memang bukan pemilik revolusi, tapi pemantik kesadaran kolektif.
Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa kekuasaan tidak pernah tinggal diam. Tahun 1974, ketika protes mahasiswa terhadap ekspansi modal Jepang dan ketimpangan pembangunan memuncak, negara menjawab dengan represi. Peristiwa Malari menjadi bukti bahwa keberanian bersuara dapat berhadapan dengan pembungkaman sistematis. Kebijakan NKK/BKK 1978 juga memperparah peran organisasi mahasiswa dari entitas politik yang kritis menjadi sekadar lembaga semi-formal yang berfungsi sebagai penyalur aspirasi terkendali. Sejak saat itu, fungsi kampus secara bertahap direduksi menjadi sekadar pabrik pengetahuan yang steril dari kritik. Organisasi mahasiswa dikendalikan secara ketat, sementara ruang dialektika di dalamnya menyempit secara perlahan (Supriyanto, 1998). Kebijakan ini, yang selanjutnya membungkam keseluruhan suara kritis, bahkan juga memutuskan tradisi intelektual yang menjadi jantung gerakan sosial mahasiswa.
Ketika Reformasi 1998 meledak, kita kembali melihat mahasiswa di garda depan. Mereka turun dengan tuntutan besar: menggulingkan rezim Soeharto. Dan itu berhasil. Tapi euforia itu tidak bertahan lama. Sistem yang dijanjikan lebih adil ternyata hanya mengganti wajah, bukan akar. Oligarki lama tetap bercokol dalam kemasan demokrasi baru, demokrasi elektoral (Arbi, 1999). Demikian Harman, bahwa perubahan politik tanpa kesadaran kelas yang memadai hanya akan menghasilkan rotasi elit penguasa, bukan penciptaan tatanan sosial yang substantif. Kegagalan ini menunjukkan bahwa keberhasilan gerakan mahasiswa harus diukur pada kemampuannya mendorong transformasi secara struktural yang berkelanjutan (Harman, 2007).
Kini, lebih dari dua dekade pasca-Reformasi, mahasiswa masih tetap turun ke jalan. Namun, tantangan yang dihadapi telah mengalami transformasi mendasar dari represi fisik menjadi represi sistemik yang lebih tersistematis. Biaya pendidikan terus meningkat signifikan dengan rata-rata kenaikan 7–12% per tahun sejak 2017, sementara akses terhadap pendidikan tinggi semakin terkonsentrasi pada kelompok ekonomi tertentu (Suharti & Nugraha, 2025). Fenomena utang pendidikan melalui skema pinjaman online semakin menguatkan komodifikasi pendidikan.
Universitas pun telah bergeser dari ruang kontestasi pemikiran menjadi arena kompetisi pasar. Mahasiswa didorong untuk menjadi tenaga kerja siap pakai alih-alih pemikir kritis, dengan kurikulum yang semakin terstandardisasi dan berorientasi pada kebutuhan industri “saja”. Pergeseran ini memperkuat konsolidasi oligarki dalam wajah baru (Robison & Hadiz, 2004) di mana logika kapital justru diperkuat melalui institusi yang seharusnya menjadi oposannya.
Inilah wajah baru mahasiswa kini: ‘proletariat akademik’. Mereka adalah bagian dari kelas pekerja yang belum bekerja, tapi sudah dikenai logika pasar. Tekanan untuk bertahan hidup di kampus membuat ruang kolektif mereka menciut. Kondisi ini mempersempit ruang kolektif dan waktu untuk mengorganisir gerakan, sebab energi mahasiswa terkonsentrasi pada penyelesaian studi, magang, dan akumulasi sertifikasi.
Banyak yang menuduh mahasiswa kini apatis. Tapi kita lupa melihat medan sosial dan konteks struktural yang membentuknya. Kesadaran kelas tidak tumbuh secara spontan. Ia harus dipupuk — dan sistem hari ini justru mengeringkan lahannya. Jika kita ingin menghidupkan kembali gerakan, maka kita tidak cukup hanya menyalahkan mahasiswa karena tidak turun ke jalan. Kita harus mulai dari membaca kembali sejarah gerakan — dan menyadari bahwa problem utama kita bukan kemalasan, tapi alienasi sistemik.
Harman menyebut bahwa perubahan hanya mungkin terjadi jika kelas tertindas memahami posisinya dalam relasi produksi dan struktur sosialnya serta memilih untuk melawannya (Harman, 2007). Dan mahasiswa, yang hari ini berada di persimpangan antara harapan keluarga dan tuntutan sistem, punya potensi itu. Namun, potensi ini mesti diarahkan melalui pembangunan kesadaran struktural dan narasi besar tentang cita-cita perubahannya— yang mengikatkan keberadaan mereka pada perjuangan yang lebih luas dari sekadar lulus cepat.
Sejarah tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya dibungkam oleh narasi dominan. Dan tugas gerakan mahasiswa hari ini harus diarahkan pada bagaimana membongkar ulang narasi: tentang siapa kita, bagaimana kita dibentuk oleh sistem, dan ke mana arah gerakan akan dibawa—sebuah gerakan yang menolak tunduk pada logika sistem yang tidak netral dan eksploitatif.
Megafon dan Algoritma
Secara historis, megafon berfungsi sebagai instrumen mobilisasi fisik—simbol perlawanan yang mengandalkan kehadiran massa, orasi langsung, dan visibilitas di ruang publik. Efektivitasnya terletak pada kemampuan membangun solidaritas secara langsung dan menciptakan tekanan psikologis terhadap kekuasaan melalui keberadaan massa yang terlihat dan terdengar.
Namun, era digital telah mentransformasi metode pengorganisasian gerakan. Media sosial kini berperan sebagai megafon virtual yang mampu menjangkau audiens luas dalam waktu singkat. Satu unggahan di Twitter atau TikTok dapat menyebar lebih cepat dan luas dibandingkan selebaran fisik atau orasi tradisional. Namun, teknologi tidaklah netral; ia terikat pada logika ekonomi-politik sistem dominan (Harman, 2007). Peralihan ke ruang digital adalah konsekuensi dari menggesernya struktur kesadaran kolektif gerakan.
Kecepatan dan kemudahan mobilisasi digital sering kali mengorbankan proses dialektika yang esensial bagi pembentukan kesadaran ideologis. Aktivisme yang mengandalkan viralisasi konten cenderung menggantikan diskusi mendalam dengan template “aktivisme instan”—mudah dikonsumsi, tetapi minim kedalaman analitis. Akibatnya, gerakan terjebak dalam reaktivitas sporadis tanpa strategi transformatif yang jelas.
Lebih jauh, logika operasional platform digital—yang berorientasi pada engagement metrics seperti klik, durasi tayang, dan visibilitas—mendorong produksi konten yang sensasional dan emosional, alih-alih substantif dan analitis (Trenggono, 2025). Algoritma juga menciptakan echo chamber yang mempersempit eksposur terhadap perspektif berbeda, sehingga menghambat perkembangan dialektika kritis. Dalam konteks ini, gerakan berisiko kehilangan landasan strategis jangka panjang dan terjebak dalam siklus protes reaktif tanpa dampak struktural yang berkelanjutan.
Maksudnya bukan bermaksud mengajak untuk kembali ke zaman mesin tik dan diskusi di pojok kantin, tapi agar gerakan tidak melulu terjebak dalam ilusi bahwa ‘viral = perubahan’ atau dengan kaos bertuliskan “pasukan revolusi”. Aktivisme digital bisa jadi alat yang luar biasa kuat, jika dipadukan dengan kerja akar rumput yang tekun. Karena sejarah pun menunjukkan, perubahan tidak pernah terjadi di layar ponsel. Ia terjadi ketika orang-orang berkumpul, berdialog, berselisih, lalu menyepakati tindakan bersama.
Penyusunan ulang ‘taktik-digital’ dalam gerakan mahasiswa merupakan sebuah keharusan strategis. Taktik ini harus berfokus pada pembangunan ekosistem informasi yang substansif, bukan sekadar mengejar viralisasi konten. Tujuannya adalah melampaui ekspresi kemarahan dengan menyusun narasi tandingan yang koheren terhadap sistem dominan. Langkah kritisnya adalah dengan mengubah orientasi dari menjadi objek yang dikendalikan algoritma menjadi subjek yang mampu memanfaatkannya secara sadar dan terencana.
Gerakan mahasiswa hari ini tidak kehilangan semangat. Ia hanya perlu menemukan cara baru untuk bergerak tanpa kehilangan basis massa. Megafon dan algoritma seharusnya bukan pilihan biner. Keduanya dapat diintegrasikan secara efektif melalui perencanaan strategis yang matang. Syarat utama integrasi ini adalah penerapan kesadaran kelas yang jelas sebagai landasan operasionalnya.
Mahasiswa di Persimpangan Kelas
Kita sering menganggap mahasiswa sebagai kelompok istimewa, tentu dengan berbagai privilesenya—bisa kuliah, berpikir bebas, bahkan dianggap sebagai pewaris masa depan bangsa. Tapi ketika mencoba untuk memosisikan mahasiswa dalam kondisi ini di mana posisi kelas mahasiswa dalam struktur masyarakat?
Harman (2008) menegaskan bahwa kelas ditentukan bukan oleh tingkat penghasilan, melainkan oleh posisi dalam proses produksi dan relasi terhadap kekuasaan. Dalam logika kapitalisme, dua kutub besar yang mendominasi: mereka yang mengendalikan kekuatan produksi (kapitalis), dan mereka yang menjual tenaganya untuk bertahan hidup (kelas pekerja). Mahasiswa tidak sepenuhnya masuk ke dalam salah satu kategori, karena mereka belum secara langsung menjual tenaga kerja maupun menguasai alat produksi, melainkan berada pada posisi transisi menuju kelas pekerja. Sebuah posisi ambigu, mereka belum bekerja, tapi telah terjerat oleh logika pasar. Uang kuliah yang mahal, tekanan untuk “cepat lulus dan langsung kerja,” bahkan kecemasan soal prospek masa depan — semuanya menempatkan mahasiswa dalam pusaran kapitalisme, meski mereka belum jadi pekerja penuh waktu.
Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2024 menunjukkan bahwa 78% mahasiswa di Indonesia berasal dari keluarga berpendapatan menengah ke bawah. Sebanyak 61% mengandalkan utang atau kerja sampingan untuk membiayai kuliah. Bahkan, muncul tren baru: mahasiswa sebagai konsumen pinjaman digital — bentuk mutakhir dari eksploitasi yang dibungkus dalam jargon kemandirian finansial (BPS, 2024).
Artinya kelas tidak selalu kasat mata. Kadang, mereka yang terlihat rapi dan intelektual, ternyata tengah berjuang keras secara ekonomi. Dan mahasiswa, dalam banyak kasus, adalah proletar dalam proses — pekerja masa depan yang kini sedang dididik untuk masuk ke sistem, bukan untuk mengubahnya, atau bahkan semacam lumpen proletariat.
Banyak gerakan mahasiswa saat ini menunjukkan ketidakjelasan arah politik. Tuntutan yang diajukan sering menekankan isu keadilan, tetapi tidak selalu dilandasi analisis kelas yang konsisten. Keterbatasan ini berkaitan dengan posisi mahasiswa yang berada di antara: bukan bagian dari elite pemilik modal, tetapi juga belum mengalami kondisi eksploitasi langsung sebagaimana kelas pekerja industri.
Namun justru karena itulah, potensi besarnya. Mahasiswa punya keistimewaan: akses terhadap ilmu, ruang diskusi, dan waktu reflektif. Mereka punya kesempatan untuk memahami sistem ini lebih dalam dari kelompok masyarakat lain. Dan dalam sejarah, mereka sering menjadi jembatan yang menghubungkan teori dengan aksi, elite dengan akar rumput, wacana dengan gerakan.
Posisi mahasiswa tidak secara otomatis menjadi sumber kekuatan politik. Tanpa kerangka kesadaran kelas yang jelas, posisi ini berisiko menjadi kebingungan permanen. Harman (2008) menekankan pentingnya pengorganisasian kesadaran, yaitu proses membangun pemahaman politik yang sistemik dan berbasis analisis struktural. Hal ini menuntut gerakan mahasiswa untuk melampaui ekspresi emosional maupun aksi simbolik, menuju keterlibatan langsung dalam perjuangan yang menyingkap dan menantang struktur ekonomi-politik kapitalisme.
Keterbatasan mahasiswa sebagai subjek sosial terletak pada posisi mereka yang berada di antara: bukan pemilik modal, tetapi juga belum mengalami tekanan eksploitasi secara langsung sebagaimana buruh industri atau petani kecil. Karena itu, potensi radikal mahasiswa hanya dapat terwujud jika keterhubungan dengan subjek revolusi yang lebih strategis—kelas pekerja dan petani—dibangun secara konsisten. Gerakan mahasiswa perlu menjadikan dirinya bagian dari aliansi sosial yang lebih luas, dengan menempatkan perjuangan buruh dan petani sebagai poros utama perubahan.
Dalam kerangka ini, pembangunan kesadaran harus bertahap: dari kesadaran ekonomis, yang lahir dari pengalaman langsung atas ketidakadilan distribusi dan akses; menuju kesadaran politis, yaitu pemahaman bahwa ketidakadilan tersebut bersumber dari struktur kekuasaan; hingga kesadaran ideologis, yang menempatkan perjuangan melawan kapitalisme sebagai agenda historis. Transformasi kesadaran ini tidak dapat dicapai secara spontan, melainkan membutuhkan organisasi politik yang mampu menyatukan elemen-elemen sosial tersebut dalam strategi jangka panjang (T. Lih, 2017).
Pembangunan partai alternatif menjadi prasyarat penting dalam kerangka ini. Partai yang harus dibangun atas dasar alat kolektif untuk mengartikulasikan kepentingan kelas pekerja, petani, dan mahasiswa secara bersama-sama. Tanpa partai yang berakar pada basis sosial ini, gerakan mahasiswa hanya akan menghasilkan siklus mobilisasi yang sementara: ribut pada momen tertentu, tetapi meredup tanpa arah strategis.
Dengan demikian, tantangan gerakan mahasiswa bukan berhenti pada klaim identitas sebagai aktivis dan heroisme, gerakan akan menjawab pertanyaan fundamental tentang posisi kelas apa yang hendak dipilih, aliansi sosial mana yang hendak dibangun, dan bentuk organisasi politik apa yang diperlukan. Dalam situasi di mana logika pasar mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan, ‘netralitas’ bukan pilihan. Sikap diam berarti memperkuat ketimpangan yang ada. Mahasiswa, sebagai bagian dari dinamika sosial yang lebih luas, memiliki kemungkinan untuk berperan sebagai katalis penyatuan kesadaran, bersama buruh dan petani, menuju proyek politik alternatif yang menantang tatanan kapitalisme.
Menyusun Ulang Imajinasi Kolektif
Reformasi 1998 menyisakan banyak hal: euforia, trauma, harapan, sekaligus kebingungan. Rezim berhasil diruntuhkan, tetapi arah pembangunan politik pasca-reformasi tidak pernah dipetakan secara jelas. Kekosongan tersebut dimanfaatkan oleh kekuatan lama untuk beradaptasi dan kembali mendominasi, kali ini dengan baju demokrasi—yang prosedural.
Dua puluh lima tahun setelahnya, mahasiswa masih aktif melakukan aksi politik. Namun pertanyaan yang muncul secara konsisten adalah mengenai substansi perjuangan itu sendiri. Identifikasi terhadap musuh politik relatif jelas, tetapi visi tentang tatanan alternatif belum terumuskan secara tegas.
Inilah yang disebut Harman sebagai “krisis imajinasi kolektif” (Harman, 2007). Ketika masyarakat tidak memiliki visi alternatif atas tatanan yang ada, maka gerakan sosial hanya melahirkan perlawanan sporadis. Aksi-aksi politik muncul, tetapi tidak berkesinambungan; solidaritas terbangun, tetapi terbatas pada isu-isu sektoral; energi mobilisasi ada, tetapi tidak disertai narasi ideologis yang mempersatukan.
Situasi tersebut menunjukkan bahwa protes semata tidak cukup untuk menciptakan perubahan fundamental. Perubahan sosial hanya dapat dicapai melalui pembangunan visi alternatif yang konkret dan konsisten diperjuangkan. Tanpa hal itu, energi politik mahasiswa dan masyarakat luas akan terus terfragmentasi serta mudah dikooptasi oleh kepentingan dominan dalam sistem yang ada.
Gerakan mahasiswa pada periode berbeda selalu mengusung imajinasi politik tertentu. Tahun 1966 ditandai dengan mobilisasi anti-komunisme, meskipun substansinya masih dapat diperdebatkan. Tahun 1974 dan 1978 melahirkan gagasan perlawanan terhadap korupsi dan feodalisme Orde Baru. Tahun 1998 meletupkan tuntutan demokrasi dan keadilan sosial (Arbi, 1999).
Kondisi saat ini menunjukkan ketiadaan imajinasi kolektif yang sebanding. Tuntutan yang muncul—pemilu yang jujur, biaya pendidikan yang terjangkau, atau ruang aman berekspresi—bersifat sah, tetapi hanya menyentuh gejala. Akar persoalan terletak pada struktur kapitalisme global dan nasional: neoliberalisme sebagai penyebab komersialisasi pendidikan, akumulasi kapital di balik perampasan ruang hidup, serta aliansi modal-teknologi-negara yang menopang praktik represi digital.
Tanpa imajinasi ideologis yang mampu menyingkap akar persoalan ini, gerakan mahasiswa hanya akan bergerak dalam logika tambal-sulam: menyelesaikan satu isu sementara isu lain terus bermunculan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukan sekadar aksi reaktif, melainkan rekonstruksi ideologis. Rekonstruksi ini bertujuan membangun fondasi intelektual dan emosional yang mampu menyatukan perjuangan lintas isu, lintas kampus, dan lintas generasi dalam kerangka sistemik melawan kapitalisme.
Penyusunan ulang “imajinasi kolektif” menjadi kebutuhan mendesak. Imajinasi tersebut tidak cukup berhenti pada tuntutan praktis, melainkan harus menjawab pertanyaan mendasar: bentuk pendidikan yang membebaskan, struktur ekonomi yang adil bagi semua, model demokrasi yang partisipatif, serta solidaritas yang berkelanjutan di luar siklus elektoral.
Proses ini tidak akan hadir secara spontan. Ia membutuhkan ruang-ruang baru untuk pembentukan kesadaran: forum diskusi yang konsisten, publikasi alternatif, dan platform ideologis yang aktif. Revitalisasi forum mahasiswa lintas kampus harus diarahkan pada pembangunan strategi perubahan kolektif, bukan sekadar pengelolaan agenda seremonial organisasi. Ernest Mendel (2002) menyebutnya “tugas generasi revolusioner” untuk membangun organisasi kesadaran yang sistemik, yang melampaui aksi sesaat. Tugas ini, kini berada di tangan generasi yang hidup dalam konteks krisis iklim, krisis ekonomi, dan krisis legitimasi politik.
Gerakan mahasiswa hanya akan memiliki masa depan apabila berani membangun imajinasi besar yang berpijak pada analisis tajam, solidaritas konkret, dan komitmen jangka panjang. Orientasinya tidak berhenti pada perlawanan, tetapi juga pada perumusan dan pembangunan tatanan alternatif. Perubahan sosial yang fundamental tidak lahir dari akumulasi kekecewaan, melainkan dari keberanian kolektif membayangkan dan memperjuangkan sesuatu yang belum bahkan belum ada. Bukan kembali pada imajinasi yang lalu seperti reformasi.
Menuju Gerakan Transformatif
Mahasiswa seusai berdemonstrasi sering berakhir tanpa tindak lanjut, hanya kembali pada rutinitas sehari-hari. Hal ini menunjukkan masalah mendasar dalam gerakan sosial kontemporer: rentetan aksi terus berlanjut, tapi tidak ada arah strategis. Aksi dilakukan tanpa perencanaan yang jelas mengenai tujuan struktural yang hendak dicapai.
Harman dalam Revolution in the 21st Century (2007) menjelaskan bahwa kapitalisme tidak runtuh hanya karena krisis, justru bertahan melalui kemampuannya menyerap dan menyesuaikan diri terhadap perlawanan. Dengan demikian, aksi-aksi sporadis tanpa strategi hanya menghasilkan pelepasan emosi, tanpa menimbulkan perubahan mendasar.
Transformasi sosial setidaknya memerlukan dua kondisi: krisis objektif dan kesadaran subjektif. Krisis objektif dapat berupa keruntuhan ekonomi, politik, atau sosial. Namun, tanpa adanya kelas sosial yang sadar, terorganisasi, dan mampu bertindak sebagai pelopor revolusi, sistem yang ada akan pulih kembali dan beradaptasi. Karena itu, perubahan historis hanya mungkin terjadi apabila terdapat kekuatan sosial yang secara terencana mempersiapkan diri untuk mengambil alih momen krisis
Gerakan mahasiswa dan aktivis saat ini berada pada fase kritis. Berbagai krisis objektif telah muncul, meliputi ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, konflik agraria, krisis demokrasi akibat dominasi oligarki, serta beban ekonomi generasi muda. Namun, keberadaan krisis objektif tidak otomatis menghasilkan perubahan sosial. Diperlukan kekuatan subjektif yang terorganisir untuk mengartikulasikan krisis tersebut ke dalam transformasi sistemik.
Pembangunan gerakan transformatif menuntut strategi yang melampaui aksi reaktif. Hal ini mencakup intervensi pada ruang-ruang produksi pengetahuan dan makna, seperti kampus, media, ruang kelas, komunitas, serta ruang digital. Harman menegaskan bahwa kelas pekerja — dan mahasiswa sebagai kelas dalam transisi — hanya dapat menjadi agen revolusioner apabila membentuk organisasi dengan kesadaran kelas yang jelas. Tanpa itu, gerakan akan tetap berada di pinggiran sejarah.
Pembentukan gerakan semacam ini memerlukan proses ideologis dan organisatoris yang konsisten. Tugas utamanya meliputi: membangun wacana tandingan terhadap ideologi dominan, membaca ulang sejarah dari perspektif kelas, memperkuat solidaritas lintas sektor, serta membongkar klaim netralitas kampus. Gerakan mahasiswa harus diposisikan sebagai bagian dari rakyat pekerja, dengan membangun aliansi politik dan sosial yang substantif, bukan seremonial.
Selain itu, gerakan harus menjaga independensi dengan menolak kooptasi dari kekuasaan. Akses pada posisi politik formal, partai, atau jabatan birokratis yang mengalihkan gerakan dari basis massa menuju kepentingan elite. Karena itu, orientasi harus tetap diarahkan pada penguatan basis rakyat sebagai sumber utama perubahan.
Dengan demikian, transformasi sosial tidak dapat dicapai secara instan. Ia mensyaratkan kombinasi antara refleksi kritis, strategi jangka panjang, serta keberanian bertindak. Fokus gerakan bukan hanya pada penolakan terhadap kekuasaan yang ada, melainkan juga pada pembentukan tatanan alternatif yang mampu menggantikan logika kekuasaan dominan.
Bahan Acuan
Arbi, S. (1999). Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Insist Press.
BPS. (2024). Statistik Pendidikan 2024. Badan Pusat Statistik.
Harman, C. (2007). Revolution in the 21st Century. Bookmarks.
Mendel, E. (2002). Gerakan Mahasiswa Revolusioner. https://www.marxists.org/
Prasetyantoko, A., & Indriyo, I. W. (2001). Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum.
Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in An Age of Markets. RoutledgeCurzon.
Saputra, Y. (2025, Februari 28). Dana Penelitian Dipangkas, Kuliah Dipaksa Daring, Hingga Insentif Dipotong—Dosen dan Mahasiswa Sejumlah PTN Protes Efisiensi Anggaran Kemendikti Saintek. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/
Suharti, & Nugraha, Y. (Ed.). (2025). Statistik Pendidikan Masyarakat 2024/2025. Pusdatin Kemendikdasmen.
Supriyanto, D. (1998). Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes sepanjang NKK/BKK (Cet. 1). Yayasan Sinyal.
Lih, L. (2017). Membaca Ulang Lenin: Sesat Tafsir atas Apa yang Harus Dikerjakan? Antitesis.
Trenggono, N. (2025). Gerakan Korektif: Tradisi Baru Gerakan Mahasiswa Indonesia. Deepublish.
Widyatama, E. (2025). Demo Memanas: Ini Kronologi Kericuhan & Tuntutan Massa yang Menggema. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/