Perang Baratayuda dalam Mahabharata sering dipahami sebagai perang fisik. Tetapi jika kita menoleh lebih dekat, kita akan menemukan hal lain: Baratayuda adalah sebuah drama komunikasi. Tidak hanya anak panah yang melesat, tetapi juga pesan, narasi, dan simbol yang mengisi udara. Panji dengan lambang Hanoman di kereta Arjuna adalah komunikasi simbolik. Bhagavad Gita yang diucapkan Kresna kepada Arjuna adalah komunikasi massa dalam bentuk teks suci yang melintasi zaman. Perang itu, sejak awal, adalah perang makna.
Apa yang terjadi di Indonesia antara 25 Agustus sampai 2 September 2025 bisa dibaca dengan kacamata yang sama. Jalanan kota-kota besar menjelma menjadi Kurukshetra baru, di mana rakyat melawan narasi penguasa dengan bahasa mereka sendiri. Bukan gada, bukan panah, tapi poster, nyanyian, unggahan media sosial, dan solidaritas yang menyala.
Komunikasi Massa: Siapa Menulis Sejarah?
Di Baratayuda, siapa yang menuliskan kisah punya kuasa atas ingatan. Epos yang kita kenal hari ini adalah hasil pilihan narasi: Pandawa sebagai lambang dharma, Kurawa sebagai lambang keserakahan. Demikian pula dalam demonstrasi Indonesia, media massa menjadi arena perebutan makna.
Sebagian media menggambarkan aksi sebagai kerusuhan, gambar gedung terbakar, asap, dan bentrok dengan aparat ditaruh di halaman depan. Sebagian lain menekankan tuntutan rakyat, keadilan, dan ketimpangan tunjangan pejabat. Sementara itu, media sosial mengambil alih peran: siaran langsung, video singkat, poster digital, dan meme menjadi jurnalisme alternatif. Narasi rakyat tak lagi bergantung pada redaksi besar; ia lahir dari ribuan handphone di tangan.
Dari sini kita belajar bahwa komunikasi massa bukan sekadar menyebarkan informasi, tetapi menentukan siapa yang akan diingat sebagai pahlawan dan siapa yang akan dicatat sebagai yang melawan.
Komunikasi Simbolik: Bahasa Sunyi yang Menggema
Selain media, demonstrasi juga berbicara dengan simbol. Poster dengan tulisan satir menjadi bahasa yang jujur: sederhana, murah, tapi langsung menohok. Gas air mata yang ditembakkan aparat adalah simbol kekuasaan yang kehilangan kemampuan berdialog. Dan lilin solidaritas yang menyala setelah kematian seorang warga, Affan Kurniawan, adalah simbol duka yang berubah menjadi perlawanan moral.
Dalam Baratayuda, simbol punya peran sama pentingnya. Panji perang bukan sekadar kain, tetapi lambang keberanian. Terompet Krishna bukan sekadar bunyi, tetapi tanda bahwa perang dimulai atas nama dharma. Simbol memberi arti pada tindakan, mengikat emosi kolektif, dan menyalakan tekad.
Pertarungan Makna yang Tak Pernah Usai
Jika komunikasi massa membentuk ingatan kolektif, maka komunikasi simbolik mengikat emosi kolektif. Keduanya bertemu dalam demonstrasi, seperti halnya dalam Baratayuda. Perang bukan hanya soal tubuh yang jatuh, tapi juga makna yang diperebutkan.
Baratayuda berakhir dengan kemenangan Pandawa, tetapi juga dengan luka dan duka panjang. Demonstrasi Indonesia pun masih meninggalkan pertanyaan: apakah tuntutan rakyat akan diingat sebagai suara sah demokrasi, atau dilupakan sebagai catatan kerusuhan belaka? Jawabannya bergantung pada dua hal: media yang menuliskan, dan simbol-simbol yang kita rawat.
Maka, pada akhirnya, Baratayuda dan demonstrasi sama-sama mengingatkan: kuasa sejati bukan hanya di tangan yang mengangkat senjata, tetapi di bahasa, simbol, dan narasi yang diyakini dan dijaga bersama.