Setelah Reformasi, Tak Ada Lagi!

Benar bukan? Saya sudah bilang, “pasca reformasi 98, kita itu masih jauh dari reformasi besar-besaran, apalagi revolusi.”—masih jauh dari apa yang “ideal” dan dicita-citakan bersama dalam narasi kolektif yang terus diulang di ruang publik. Saya katakan ini dalam kesempatan diskusi Samara kemarin. Dan seperti halnya pernyataan bernada pesimistik di tengah kejengahan rakyat yang sedang membara dari api perubahan, sontak saja langsung ada penolakan. “Revolusi perlu diciptakan bung!”—atau lebih tepatnya “dimotori”, sebab “jika tidak digerakkan bagaimana mungkin itu akan terjadi?!”. Beberapa aksentuasi bising di ruang media sosial, teriakan keras atas kejengahan dan titik puncak rakyat yang membuncah, membuat seolah-olah kita—saat ini sudah berada di tepi jurang perubahan, hanya tinggal satu dorongan terakhir, sebuah “finishing touch”, maka tumbanglah rezim. Terciptalah tatanan adil makmur sejahtera.

Namun benarkah? Atau jangan-jangan kita hanya sedang menonton “drama lama” yang coba saya paksa kita semua untuk mau membuka memori kolektif, mengingat kembali beberapa kejadian beberapa tahun ke belakang. Faktanya? Hampir sama bukan? Tentu, dengan aktor yang berbeda, dan tanpa naskah yang benar-benar berubah. Ending-nya barangkali sudah ditentukan sejak awal. Krisis, kekecewaan dan amarah meledak, suasana chaos, lalu kembali ke normalitas yang diperpanjang.

Jujur saja, aksi 25–30 Agustus 2025 kemarin—yang bermula di depan gedung DPR, hingga berlanjut ke kepolisian karena kemarahan rakyat setelah hilangnya nyawa manusia bernama Affan Kurniawan dilindas mobil rantis—adalah bahan bakar, dan bara api yang menyulut emosi. Namun, saya berani bilang, ini belum menjadi letupan historis. Sebuah perlawanan yang benar-benar menggerakkan sejarah mestilah bukan hanya letupan dan luapan emosi kolektif, tetapi juga kristalisasi kesadaran. Sebuah kesadaran yang terorganisir, terstruktur, dan terkonsolidasi dengan baik. Reformasi besar-besaran bahkan revolusi sekalipun bukan hanya sekadar amukan massa kawan, melainkan peristiwa yang melahirkan kebebasan baru dan tatanan politik yang segar. Sebuah _new order_ yang benar-benar baru dari cara lama yang sangat mengecewakan. Tentu narasi ini perlu diperas dan didialektikakan menjadi gagasan besar yang konkrit. Dalam hal ini, kita masih belum sampai ke arah sana. Kita hanya memprotes, belum mengajukan dunia baru. Kita hanya teriak mengaku dan mendaku sebagai yang paling tertindas.

Affan menjadi martir, juga beberapa korban lainnya. Ada yang terbakar di gedung DPR, ada yang dikeroyok aparat, ada yang menjadi korban gas air mata, ada yang diamuk massa karena diduga intelijen. Ya, Affan dan semuanya “mungkin” dianggap martir, namun “tanpa manifesto”. Nama-namanya diglorifikasi di media sosial dan menjadi viral, menjadi poster digital, disebarkan dan dibagikan dengan kemarahan. Namun, adakah gagasan yang lahir dari nyawa mereka? Apakah Ferry Irwandi punya manifesto yang dia sering sampaikan di kanal medianya? Atau jangan-jangan kita hanya mengulang ritus tahunan kemarahan yang sama akan keadaan negara yang tidak baik-baik saja: protes, demo, bentrok, gas air mata, represifitas aparat, protes, demo, landai, lalu pulang? Ah, inilah apa yang Gramsci bilang sebagai pessimism of the intellect, optimism of the will.

Kita wajib pesimis secara intelektual, melihat bahwa struktur kekuasaan yang kita hadapi terlalu canggih, ia terlalu lihai mengerangkeng, sangat terstruktur, sistematis dan masif, terlalu lihai serta terlatih mengelola krisis menjadi rutinitas dalam menghadapi amarah rakyat. Namun kita juga mesti memelihara optimisme kehendak, bahwa setiap aksi, sekecil apa pun, mampu menjadi benih sejarah—jika, dan hanya jika—“ditumbuhkan dan dirawat dengan strategi yang mapan dan tujuan yang jelas”.

Masalahnya, kita sering berhenti di tahap pertama: Marah. Revolusi di beberapa tragedi Revolusi dunia sekalipun (yang terkesan sangat berdarah) bukan hanya soal marah. Marah memang penting dalam melihat ketidakadilan, penindasan hingga “pelindasan”, namun marah tanpa arah adalah energi yang cepat habis, atau lebih buruk lagi, “mudah ditunggangi”. Sebab, yang perlu dipahami, kekuasaan negara itu tidak hanya represif, tetapi juga memiliki daya produktif. Ia mampu mencetak narasi, mengatur siapa yang tampak dan siapa yang lenyap. Siapa yang menjadi pahlawan, dan siapa yang menjadi lawan. Jika tidak hati-hati, maka kematian orang-orang yang menjadi “martir” itu akhirnya justru hanya akan direduksi menjadi statistik seperti saat ini, bagian dari “collateral damage” sebagai margin error pada saat upaya aparat melakukan stabilisasi ketika ricuh, yang akhirnya dinormalisasi oleh negara. Atau bahkan “dilupakan” begitu saja.

Syahdan, bahaya terbesar yang perlu disadari saat ini, media sosial sebagai ruang “agitasi” meminjam istilah Baudrillard menggiring dan menarik kita sangat dalam pada palung simulacra—di mana rumor, fakta, opini, bahkan teori konspirasi teraduk-aduk, tercampur dalam emosi kolektif yang menjadi satu, namun amat sangat “bias”. Sulit rasanya memisahkan realitas dan representasi dari tontonan dan kenyataan saat ini. Semua terasa mendesak, semua merasakan angin revolusi, semua terasa mampu merongrong tatanan Indonesia baru. Padahal, yang terlihat saat ini hanya semacam kilatan peristiwa, potongan dramatisasi, ucapan-ucapan yang dipelintir, dan sulit rasanya memilah mana yang benar dan mana yang salah bukan? Semua akhirnya berebut “tafsir”. Penafsiran akan situasi, tafsir atas keadaan, tafsir atas revolusi hingga jatuh pada asumsi-asumsi yang tak berdasar. Bukankah tidak berlebihan bahwa seperti itu saat ini?

Lantas bagaimana? Haruskah menunggu? Tentu tidak. Menunggu adalah nama lain dari menyerah. Namun kita juga tidak boleh tergesa-gesa melabeli setiap kekecewaan publik, amarah publik, dan setiap kericuhan hingga kesadaran kolektif ini menjadi semacam pantikan untuk melakukan perombakan besar-besaran, bahkan hingga melahirkan revolusi di zaman post-reformasi. Seperti kata Žižek, ada momen ketika tindakan justru adalah menolak bertindak secara spontan—menolak untuk memberi negara drama yang diinginkannya—dan sebaliknya menyiapkan bentuk-bentuk politik baru yang lebih sulit dipadamkan dan dimatikan.

Endingnya? Saya tidak tahu, namun prediksi saya, semua ini akhirnya hanya sampai pada sesuatu yang ambigu. Sebab, setelah reformasi, tak ada lagi! Sampai saat ini belum dan tidak selesai bukan? Mungkin memang belum waktunya selesai. Tuntutan 17+8 sudah ramai, namun sejauh mana realisasi akan tuntutannya? Apakah ini kesalahan berpikir saya? Entahlah. Yang saya pahami, sejarah bukanlah garis lurus yang linier, ia adalah lengkungan dan fragmen-fragmen yang ditiup angin kemajuan. Tugas saat ini bukan sekadar berjalan mengikuti arah angin, namun sesekali menahan langkah, menoleh ke belakang, dan memungut puing itu untuk dijadikan semacam batu loncatan.

Kematian Affan bukan akhir, tetapi juga ia tidak bisa saya sebut menjadi awal. Ia adalah jeda—momen yang menuntut kita berpikir. Lantas mau dibawa ke mana semua ini? Jika benar-benar serius berbicara tentang perubahan tatanan baru di Negera kita tercinta, maka, yang perlu dilakukan kita harus berani membayangkan dunia yang lebih layak daripada sekadar “pemerintah mundur”, “DPR mundur”, pemakzulan dan lain sebagainya. Kita harus merumuskan visi, membangun organisasi, mendidik massa, dan terus mengasah imajinasi politik.

Bahkan jika memungkinkan, buatlah Partai di negara yang “katanya” Demokrasi ini. Tentu dengan bergerak menyampaikan aspirasi rakyat. Kita harus membayangkan tatanan baru yang epistemik bukan hanya dramatik. Bukan sekadar memindahkan kursi kekuasaan, tetapi mengubah logika kekuasaan. Kalau tidak, kita hanya akan mengulang siklus amarah yang sama, direkam kamera, masuk berita, dan lenyap tertumpuk berita-berita lainnya. Revolusi akan jadi jargon yang melulu diucapkan dan membasahkan mulut hingga berbusa, tetapi tak pernah benar-benar tercipta. [ ]