Setelah Reformasi, Tak Ada Lagi! (2)

Kemarahan kolektif akhir bulan kemerdekaan lalu, terlepas siapa dalangnya akhirnya hanya akan diingat atau bahkan dilupakan. Protes yang meluas terus direproduksi, pamflet-pamflet bermunculan, aksi lanjutan sudah semakin landai namun masih dilakukan, orang-orang meneriakkan tuntutan 17+8. Deadlinenya 5 September kemarin. Tuntutan itu bisa saya sebut bukan main-main—ia menjadi ringkasan kemarahan kolektif, seolah-olah menjadi “manifesto” namun semu dan memaksa negara untuk mendengar. Hanya saja, hanya beberapa minggu setelahnya, semua itu “menguap”. Propaganda itu masih memenuhi linimasa media, ia tetap ada. Namun, orang-orang lainnya beramai-ramai biasa saja. Mereka berangkat ke mall. Termasuk saya, yang berjalan-jalan ke Summarecon di libur panjang kemarin, dan pemandangan di sana membuat saya muak—sekaligus menyebalkan. Orang berdesakan belanja, bahkan parkir mobil saja saya harus sabar antre dan rebutan. Anak-anak muda di sana menonton konser, keluarga makan di food court. Seolah tidak pernah ada yang marah di jalanan.

Barangkali, tanpa disadari inilah cara kapitalisme menetralkan perlawanan. 17+8 menjadi sekadar tuntutan yang trending, menjadi konten berantai, menjadi narasi “perlawanan”. Sistem, selain membungkam melalui kekerasan, ia hadir dan perlu memberi manusia lainnya hasrat modernitas dari mulai hiburan konser, film baru di bioskop, event lari di minggu pagi, bahkan diskon. Masyarakat lainnya pada tataran “kelas menengah” diberi candu agar lupa bahwa dunia sedang tidak beres. Mereka diberi ilusi normalitas agar menerima ketidakadilan struktural menjadi sesuatu yang wajar.

Saya tetap mengawal 17+8, saya membaca dan mengamatinya, saya masih tetap mendukung setiap aksi lanjutan. Hanya saja saya pun perlu jujur, sebagaimana tulisan sebelumnya: saya orang yang pesimis. Bukan karena tuntutannya salah—tuntutan itu benar dan adil. Selama ini kita hidup dalam ketidakadilan struktural yang sangat kentara. Yang membuat saya pesimis adalah mayoritas masyarakat ini tidak merasa perlu marah dan berangkat akan kesadaran yang sama. Sebagian mereka masih nongkrong, sebagian mereka masih nobar bola, mereka masih bisa belanja, masih bisa memesan makanan yang diantarkan ojek online. Mereka marah jika, dan hanya jika hidup kesehariannya tidak sesuai ekspektasi dan tidak berjalan, bukan jika harga pangan mencekik. Mereka geram karena konser yang sudah diagendakan tiba-tiba batal misalnya, bukan karena subsidi dipangkas. Bahkan kemarin masih hangat konser Dewa di GBK.

Inilah masalahnya kawan. “Kelas menengah”, yang konon melek informasi, bahkan digadang-gadang sebagai kaum intelektual justru menjadi “benteng terkuat dan paling kokoh bagi status quo”. Mereka mengutuk korupsi, tapi tetap nongkrong di cafe hits hingga antre dan berbondong-bondong nongkrong di mall yang dibangun di atas tanah polemik hasil perampasan. Mereka menolak ketidakadilan, tapi tetap menikmati kenyamanan yang hanya bisa eksis karena ada kelas lain yang bekerja murah. Mereka menertawakan pemerintah, tapi takut jika ekonomi benar-benar lumpuh. Mereka ingin perubahan—asal pekerjaannya tetap aman.

Hal inilah yang disebut Marx dalam analisis kelas sebagai alienasi. Marx bilang soal keterasingan buruh dari hasil kerjanya—yang itu pada zamannya. Di abad ini kita dihadapkan atas alienasi dari kesadaran kita sendiri. Kita tahu dunia tidak adil, tapi kita menolak merasakan dampaknya. Kita tahu ada sebagian dan masih banyak orang yang lapar, tapi kita menghibur diri dengan kopi susu di pagi hari hingga konten lucu lantas mengecam makan bergizi gratis program dari Pemerintah. Žižek pernah bilang, ideologi tidak bekerja dengan menipu, tetapi dengan membuat kita tetap melakukan sesuatu walau kita tahu itu salah. Kita tahu sistem ini bobrok, tapi kita tetap menjadi konsumen utama kapitalisme, kita tetap belanja, kita bahkan tetap bekerja untuk membayar cicilan.

Walhasil, jangan heran jika 17+8 akan sulit menjadi bara perubahan besar-besaran di masa post-reformasi yang sudah berumur hampir dua dekade ini—bahkan revolusi. Ia akan terus didorong oleh segelintir orang yang “dianggap” konsisten memperjuangkan keadilan dan pemerataan kesejahteraan, namun akan selalu kalah oleh normalitas sehari-hari yang direproduksi kapitalisme. Saya bicara seperti ini bukan berarti menyerah atas keadaan. Justru kesadaran akan pesimisme ini amat penting—agar kita tidak naif, agar kita tahu bahwa perjuangan panjang ini bukan soal satu aksi hingga rentetan aksi, bukan soal satu isu trending, bukan beramai-ramai menggunakan filter Brave Pink Hero Green di setiap profil picture dan postingan media sosial. Akan tetapi soal memelihara ketidakpuasan jangka panjang.

Kita harus mulai mengguncang dari dalam, merusak kenyamanan semu ini. Mengganggu ruang-ruang dengan sungguh-sungguh yang terlalu tenang ini. Membuat kelas menengah gelisah. Membuat mereka sadar bahwa barang-barang yang mereka nikmati adalah hasil kerja kelas lain yang tidak pernah diajak berdiskusi sama sekali. Saya muak dengan sikap “baik-baik saja”. Negara tidak baik-baik saja. Rakyat tidak baik-baik saja. Jika benar-benar ingin perubahan, kita harus berani kehilangan kenyamanan itu. Kalau perlu, biarkan mall itu sepi. Biarkan tol itu lengang tanpa kendaraan yang melintas. Biarkan ekonomi tersendat sampai negara dan korporasi gelagapan.

Ya, saya pesimis. Tapi pesimisme ini bukan menyerah. Ini pesimisme yang—membuat saya terus gelisah, terus curiga, terus menolak, terus menggeleng. Pesimisme yang membuat saya masih mengamati apa yang terjadi dari tuntutan 17+8, meski saya tahu mayoritas akan kembali merasa baik-baik saja tanpa merasa terkena dampak apa-apa. Pesimisme yang membuat saya berharap ada yang membaca ini, merasa jengkel, lantas mulai mempertanyakan hidupnya sendiri.

Karena hanya dari kegelisahan yang terus dipelihara, hasrat baru bisa lahir—hasrat yang tidak bisa dijual ruang-ruang besar korporasi kapitalisme atas buah dari modernitas semu ini.