Judul Buku: Sibawaih Mu’tazilian: Hafriyat fi Metafizika an-Nahw al-Arabi
Penulis: Idris Maqbul
Penerbit: Al-Markaz al-Arabi, Beirut
Tahun Terbit: 2015
Tautan: https://www.researchgate.net/profile/Driss-Makboul
Pengantar
Karya dari Idris Maqbul ini merupakan upaya intelektual yang cukup ambisius untuk melacak jejak rasionalisme—melalui upaya pengumpulan data, perbandingan, dan inferensi—Muktazilah dalam korpus nahwu paling fundamental, al-Kitab karya Sibawaih. Ia menelusuri benang merah yang menghubungkan postulat, premis, dan kesimpulan yang digunakan oleh Sibawaih, bagi Maqbul kerangka epistemik nahwu klasik tidak dapat dipisahkan dari tradisi teologi rasionalis Muktazilah.
Seperti dikemukakan linguis Prancis Georges Mounin, bahwa secara historis, persoalan bahasa selalu terkoneksi dengan persoalan keyakinan (akidah) di semua peradaban yang mengenal kitab suci. Maqbul menegaskan bahwa konektivitas kedua hal ini “tidak selalu tampak secara eksternal dan jelas, melainkan sering menyembunyikan diri dan bersembunyi di balik berbagai sebab, terselubung oleh bangunan teoretis yang justru menjadikannya sebagai latar belakang dan premis yang tak terujar” (hlm. 13). Proyek penelitian ini adalah sebuah “ekskavasi” terhadap korpus nahwu yang pertama kali dalam sejarah linguistik Arab, sebuah karya yang bertujuan untuk menyibak apa yang disebut Ahmad al-Alawi sebagai al-Muqadimaat al-Sirriyah (premis-premis rahasia) yang membentuk pengetahuan nahwu.
Ia meyakini bahwa teks Kitab Sibawaih yang berjudul (al-Kitab)—dengan segala kandungan rekayasa epistemiknya yang sangat presisi dan sistematis, yang tidak terungkap secara kasat mata— mencerminkan sebuah model kognitif yang rasional dan ideologis. Dalam karya ini, bagi Maqbul model semacam ini hanya dimungkinkan lahir dari tradisi rasional Muktazilah ketika itu. (hlm. 16)
Karya ini membahas bagaimana keterhubungan Sibawaih—apakah ia seorang Muktazilah, Sunni, atau lainnya—dan melalui penelusuran historis, karya ini berupaya membuktikan bahwa Sibawaih memang seorang Muktazilah. Keyakinan ini ditegaskan melalui pendekatan filosofis yang tercermin dalam kitab Sibawaih yang agung, “al-Kitab”.
Melalui Lebih dari 300 halaman, Maqbul berupaya membuktikan dua teori utamanya yang menunjukkan bahwa nahwu Sibawaih merupakan proyek teologi Muktazilah. Pertama, bahwa tidak ada teori bahasa apa pun yang bebas dari latar belakang filosofis yang membingkai. Kedua, bahwa nahwu Sibawaih adalah produk asli pemikiran Islam yang otonom, sebuah kontribusi signifikan yang membantah tesis orientalis yang menyatakan bahwa intelektual Arab tidak menghasilkan teori filosofis orisinal dan hanya meniru warisan Yunani.
Untuk membuktikan tesisnya dan sekaligus membantah klaim orientalis, Maqbul menyusun satu bab khusus tentang al-Uṣuliyyah al-Naḥwiyyah, yang mengurai tiga epistemologi yang ia identifikasi dalam studi asal-usul nahwu.
Epistemologi al-Mafsulah
Klaim ini berpendapat bahwa Nahwu Arab “berhutang budi pada filsafat Yunani” baik dalam formulasi kaidah maupun konstruksi struktur bahasanya, yang konon disusun mengikuti proposi (maqulat) filsafat Yunani (hlm. 23). Pelopor klaim ini adalah orientalis Amerika (diasumsikan merujuk kepada peneliti seperti Carter atau Versteegh), dan bahkan beberapa cendekiawan Arab menerim cara pandang ini secara antusias, dengan berargumentasi terkait periode penerjemahan bagi kelahiran Nahwu Arab.
Maqbul membantah pandangan ini, bahwa (1) gelombang penerjemahan besar-besaran teks Yunan terjadi setelah era Sibawaih wafat, sehingga mustahil baginya untuk mengadopsi “Kategori-10 Aristotelian” (maquulat asyrah). Bahkan (2) penganut teori ini tidak pernah mampu menyebutkan satu pun ahli tata bahasa Yunani tertentu yang diduga menjadi sumber inspirasi Sibawaih. Dan tentunya ada (3) perbedaan substansial dari Kategori Aristetelian—e.g., substansi, kualitas, kuantitas—dari segi kuantitas, atribut dan substansinya yang sangat berbeda dengan kategori nahwu Arab e.g., ism, fi’il, harf, dan konsep ‘amil.
Klaim kedua dari para penganut Epistemologi al-Mafsulah ialah upaya untuk mengembalikan dan menghubungkan kembali Nahwu Arab pada Logika Yunani, padahal kemunculan logika Yunani dalam Nahwu Arab tidak terjadi sebelum abad ke-4 Hijriah, yaitu dua abad setelah wafat Sibawaih. Bahkan jika pun ada, dengan asumsi pengaruh logika Yunani masuk kemudian, pada nahwu setelah Sibawaih, Maqbul menegaskan pendiriannya pada upaya resistensinya yang bertekad untuk menunjukkan perbedaan signifikan antara dua disiplin ilmu tersebut—gramatika Yunani dan Nahwu Arab. Mungkin kitab Al-Idhah fi ‘Ilal al-Nahw karya al-Zajjaji adalah bukti kuat atas perbedaan antar kedua tradisi tersebut.
Klaim Ketiga ialah menisbatkan nahwu Arab pada astrologi Babilonia. Pandangan eksentrik dan aneh ini diajukan oleh Ahmad al-Alawi, ia melihat bahwa nahwu Arab mengukur sistem entitas linguistiknya dipahami sebagai cerminan sistem kosmik (al-ka’inat al-lughawiyyah). Bahasa dipandang paralel dengan alam, karena meyakini bahwa kebijaksanaan ilahiah yang termanifestasi (mutajalliyah) pada alam-raya sama halnya dengan yang termanifestasi pada bahasa (mutajalliyah fi al-Lughah).
Klaim ini lemah secara metodologis, mengingat jarak yang terlalu jauh membandingkan dua domain yang berbeda, dengan terminologi yang tak bisa disatukan—nahwu dan astrologi. Namun demikian, Maqbul membuka ruang untuk kajian filosofis tentang analogi (qiyas) antara konsep seperti ‘amal (operator gramatikal) dalam nahwu dan konsep dalam disiplin lain seperti astrologi, bukan sebagai pengaruh tetapi sebagai keserupaan struktural dalam cara berpikir (hlm. 32).
Epistemologi al-Mawusulah
Klaim ini berpendapat bahwa Nahwu Arab tumbuh dengan memanfaatkan dan beririsan dengan disiplin ilmu keislaman lain, secara mekanisme ia mengambil dari sebagian perangkat metodologisnya, tapi juga secara khusus ia mengambil kerangka filosofisnya dari ilmu kalam.
Dari disiplin ilmu lain, yang paling menonjol adalah fikih dan usul fikih. Hubungan antara usul fikih dan ilmu kalam beririsan sangat kuat, mengingat banyak ulama Muktazilah—termasuk yang memengaruhi Sibawaih—adalah ulama terkemuka (ru’us) yang berperan sebagai ahli kalam sekaligus perumus awal usul fikih. Bahkan sebagian pendapat menegaskan bahwa mereka telah lebih dulu membicarakan fondasi usul fikih, jauh sebelum al-Syafi‘i menyusunnya. Klaim bahwa mereka mungkin bahkan mendahului al-Syafi’i—yang secara tradisional dianggap sebagai “bapak” Ushul Fikih—adalah argumen yang cukup kuat untuk mendukung tesis otonomi intelektual Islam..
Al-‘Askari misalnya, dalam al-Awa’il menuturkan bahwa Wasil ibn ‘Aṭa adalah orang yang pertama kali merumuskan bahwa ada empat aspek untuk menelusuri apa yang disebut sebagai “kebenaran”: al-Quran (kitabun naaṭiq), riwayat yang disepakati (khabar mujma’ ‘alaih), Argumentasi Rasional (hujjah ‘aql), dan Konsensus (ijma‘). Wasil ibn ‘Ata juga yang pertama kali mengajarkan metode uji validitas riwayat (sahih atau fasadnya), serta yang pertama kali mengklasifikasikan antara riwayat yang khaṣṣ dan riwayat yangʿamm. Dari sini jelas pengaruh fikih terhadap Sibawaih, tampak dalam berbagai contoh yang tersebar di al-Kitab.
Bahkan para ahli nahwu kemudian menulis “usul al-naḥwi” dengan meniru pola usul fikih, misalnya al-Inshaf karya Ibn al-Anbari, al-Iqtiraah karya al-Suyuti, dan al-Khasha’is karya Ibn Jinni. Artinya Sibawaih terlahir sebagai produk dari lingkungan intelektual semacam ini sehingga hal ini pula untuk menjauhkan klaim nahwu Arab sebagai tiruan dari gramatika Yunani, dan menegaskan diri sebagai produk asli pemikiran Islam yang interdisiplin.
Sementara, pengaruh ilmu hadis terhadap nahwu Sibawaih lebih bersifat personal dan metodologis. Karena ia memulai studinya memang dari majelis para ulama ahli hadis, tapi kemudian meninggalkannya karena satu peristiwa menimpanya—konon, kekalahan dalam debat linguistik yang membuatnya malu kepada gurunya, Khalil. Meski begitu, sikapnya bukan penolakan terhadap hadis, melainkan jarak dan sikap dengan komunitas ulama ahli hadis. Karena ia tetap begitu menghormati ilmu naqli. Walau pengaruh hadis tidak hadir dalam bentuk kutipan hadis (syawahid haditsiyah) di al-Kitab-nya, ia menerapkannya dalam penggunaan pola transmisi—seperti syarat ‘adalah al-rawi (integritas periwayat) atau bebasnya perawi dari cacat moral (khawarim al-muru’ah)—yang dipinjam dari ilmu hadis untuk menilai kredibilitas sumber bahasa (syawahid). Ini sudah menjadi konvensi di kalangan ahli nahwu modern sebetulnya, dan bahkan Ibn Jinni mengabadikannya dalam al-Khaṣa’is lewat bab khusus berjudul “Bab fi shidqi an-naqlah wa tsiqati ar-ruwah wa al-hamlah.”
Epistemologi al-Maʾsulah
Inilah tesis Maqbul, dimana ia memosisikan perbedaan antara epistemologi al-Ma’sulah dan al-mawusulah. Hal ini bisa direduksi melalui oposisi antara “al-wasl” dan “al-asl”. Yang pertama (al-wasl) itu hanya sekadar mensyaratkan korelat (ta’atsur) dan tidak membutuhkan forma; sementara al-asl mensyaratkan forma (al-bina). Maqbul ingin menegaskan bahwa meskipun nahwu Arab bersinggungan dengan berbagai disiplin ilmu, tapi nahwu tetap dibangun di atas postulat (musallamat), premis (muqaddimat) dan konklusi (nata’ij) ilmu kalam. Bahasa, dalam kerangka ini, diperlakukan sebagai wadah yang sekaligus memikul teologi dan filsafat.
Karenanya, bagian terbesar dalam buku ini didedikasikan untuk merinci, menjelaskan, sekaligus meneguhkan keterikatan nahwu Arab dengan kalam Muʿtazilah, baik melalui proposisi, premis, maupun terminologi. Maqbul mengupas dengan terperinci yang cukup menarik sekaligus provokatif, bagaimana konsep fundamental nahwu—seperti metafisika eksistensi bahasa, konsep ‘āmil (operator gramatikal yang “memengaruhi” kata lain), ontologi ism (kata benda), dan ṣifah (atribut)—beririsan dan dibentuk oleh debat-debat teologis Muktazilah tentang kehendak Tuhan, kasualitas dan atribut divine
Penutup
Karya Idris Maqbul ini adalah sebuah terobosan yang berani. Dengan argumen yang didukung oleh penelitian mendalam, ia tidak hanya berhasil membangun kasus yang kuat tentang afiliasi teologis Sibawaih tetapi juga, yang lebih penting, menempatkan nahwu sebagai salah satu pencapaian puncak pemikiran rasional Islam yang otonom.
Buku ini memaksa pembaca untuk mempertanyakan kembali narasi yang meminggirkan kontribusi filosofis tradisi Arab-Islam dan melihat nahwu bukan sekadar alat tata bahasa, tetapi sebagai sebuah sistem metafisika yang kompleks. Jika tesis Maqbul benar, ia tidak hanya menulis ulang biografi intelektual Sibawaih, tetapi juga sejarah filsafat bahasa Islam itu sendiri. Buku ini sangat direkomendasikan bagi para peminat filsafat bahasa, sejarah intelektual Islam, dan tentu saja, ilmu nahwu.