AI: Mesin Menulis, Manusia Terdiam

Saya menatap layar dan jari saya berhenti di atas keyboard. Dalam hitungan detik, ChatGPT sudah menyodorkan paragraf pembuka yang cemerlang. Rapi. Logis. Informatif. Tapi hampa. Bukan karena salah, tapi karena saya merasa tak lagi menulis—saya hanya menyalin pikiran mesin.

Di situlah saya sadar: bahaya AI bukan pada kesalahannya, tapi pada keberhasilannya menggantikan kita berpikir.

Hari ini, jutaan manusia tak lagi merangkai kalimat dengan hati. Kita lebih sering mengetik: “Tolong buatkan,” “Tolong ringkas,” “Tolong pikirkan.” Kita masih membaca, tapi tak lagi merenung. Kita tahu banyak, tapi lupa bertanya. Dan ketika manusia berhenti bertanya, maka sejarah tak lagi ditulis oleh manusia—melainkan oleh sistem yang kita ciptakan sendiri.

Yuval Noah Harari menyebut bahwa AI telah beralih dari sekadar alat menjadi pelaku sejarah. Ia menulis, menciptakan puisi, memproduksi opini, dan menentukan narasi. Jika selama ribuan tahun manusia adalah penulis dunia, kini pena mulai berpindah tangan.

Bahasa adalah medium kesadaran. Siapa yang menguasai bahasa, dialah yang mengendalikan pikiran. Dan hari ini, AI telah menjadi penjaga gerbang bahasa itu.

Marshall McLuhan pernah berkata, “Media bukan hanya menyampaikan pesan, ia adalah pesan itu sendiri.” Ketika AI menjadi medium utama pencarian makna, maka cara kita memahami dunia berubah—bukan oleh kehendak Tuhan, bukan oleh naluri manusia, tapi oleh algoritma.

Studi dari MIT Media Lab (2025) membuktikan bahwa ketika orang menulis dengan bantuan ChatGPT, aktivitas otaknya turun drastis, terutama di bagian memori dan kreativitas. Esai yang mereka hasilkan juga dinilai paling lemah. Fenomena ini disebut cognitive offloading: menyerahkan beban berpikir pada mesin hingga akal kita melemah secara perlahan.

Riset Stanford (2024) menyatakan bahwa AI yang dipakai sebagai teman curhat justru memperkuat rasa kesepian dan ilusi. Saat mesin dijadikan pengganti percakapan, kita kehilangan bukan hanya lawan bicara, tapi juga makna hubungan manusia itu sendiri.

AI Itu Netral? Tidak Juga.

Banyak yang percaya bahwa AI netral. Tapi itu ilusi. AI dirancang oleh manusia, dikendalikan oleh kepentingan bisnis, dan dilatih dari data yang penuh bias.

Lebih dari 30% referensi akademik yang dihasilkan AI terbukti palsu atau tidak bisa dilacak—sebuah fenomena yang disebut hallucinated citations. AI bisa bicara meyakinkan, tapi belum tentu benar.

Martin Heidegger pernah menulis bahwa teknologi berbahaya bukan karena merusak, tapi karena ia mengurung cara berpikir kita dalam sistem yang tak lagi kita pertanyakan.

Hari ini, kita mengejar efisiensi. Tapi yang hilang dari hidup kita adalah keheningan yang penuh makna. Menulis adalah proses lambat. Penuh keraguan. Kadang membingungkan, kadang menyakitkan. Tapi di situlah manusia menjadi utuh.

Ketika AI menyingkat semuanya, kita mungkin lebih cepat. Tapi apa arti kecepatan tanpa kedalaman? Kita menjadi masyarakat yang fasih, tapi tak reflektif. Pandai menjawab, tapi enggan bertanya.

AI bisa membantu kita berpikir, tapi ia tak bisa menggantikan kesadaran. Ia bisa menulis, tapi tak bisa menggugah. Ia bisa merumuskan, tapi tak bisa mempertanyakan makna penderitaan, cinta, atau kematian. Karena itu hanya bisa dilakukan oleh manusia.

Kita boleh memakai AI. Tapi jangan serahkan kemanusiaan kita padanya. Kita boleh mendengar jawabannya. Tapi kita tetap harus berpikir sendiri.

Jangan Biarkan Mesin Menulis Takdir Kita. Jika kita menyerahkan seluruh proses berpikir pada mesin, lalu apa yang tersisa dari kemanusiaan kita?

AI bukan musuh. Tapi ia bisa menjadi penakluk yang paling halus. Ia tidak menyerang, tidak mengancam. Ia hanya menawarkan kenyamanan. Dan manusia, seperti sejarahnya, sering menyerahkan kemerdekaannya demi rasa nyaman.

Hari ini kita punya pilihan: menjadi subjek yang berpikir, atau menjadi objek dari sistem yang kita anggap pintar. Dan esok, saat anak-anak kita menulis esai, semoga masih ada kalimat yang benar-benar lahir dari perenungan—bukan hanya dari hasil prompt.

Penjual cilok yang menyamar jadi dosen | Penghayat keresahan | Masih percaya nalar, tapi tahu betul hidup tak selalu masuk akal.