Ulasan dari Artikel Barbara Foley
(DOI: 10.1177/1095796019867944)
Seorang perempuan kulit hitam di pabrik General Motors (selanjutnya ditulis GM) tahun 1980-an. Yang setiap harinya ia menghadapi dua jalan: ‘jalan rasisme’ yang menghalangnya naik jabatan, dan ‘jalan seksisme’ yang memotong upahnya lebih rendah dari rekan lelaki. Kimberlé Crenshaw menyebut persimpangan ini “interseksionalitas”—titik tabrakan dua bentuk penindasan yang melukai tubuhnya. Tapi bagi Barbara Foley, metafora jalan itu justru menyembunyikan tanah tempat jalan-jalan itu dibangun: lahan gersang kapitalisme yang hidup dari keringat buruh.
Foley tak menyangkal penderitaan di persimpangan itu. Ya, perempuan GM itu terjepit antara ‘ras’ dan ‘gender’. Tapi ketika pengacaranya berjuang di pengadilan, yang bisa dituntut hanya diskriminasi ‘ras’ atau ‘gender’—bukan keduanya, apalagi kelasnya sebagai pekerja. Hukum kapitalis, kata Foley, hanya mengakui penindasan yang terfragmentasi. Sementara itu, bos-bos GM meraup keuntungan dari upah murahnya—fakta yang dianggap _”given”_ , tak perlu diusut.
Di sinilah Foley mengajak kita berdiskusi, bahwa “Penindasan itu nyata,” katanya, “tapi ia bukan akar penyakit—hanya gejala demam.” Demamnya bernama eksploitasi: sistem di mana pemilik pabrik mengeruk surplus value dari jam kerja buruh. Rasisme dan seksisme? Itu hanyalah pisau bedah sejarah yang membelah-belah kelas pekerja. Perbudakan kulit hitam di abad 18 bukan karena “kebencian rasial”, tapi kebutuhan modal akan tenaga kerja gratis. Pembagian kerja berdasarkan gender, seperti diteliti Engels, lahir dari hasrat menguasai reproduksi tenaga kerja murah.
“Interseksionalitas mengajak kita memetakan luka di permukaan kulit,” kritik Foley, “tapi lupa bahwa pendarahan itu berasal dari organ dalam: jantung kapitalisme yang menggigit.” Risikonya fatal: “kelas” dianggap sekadar “identitas” keempat setelah ras, gender, dan seksualitas—padahal ia adalah mesin penghasil ketimpangan itu sendiri. Ketika seorang buruh perempuan kulit hitam merasakan polisi menekan lehernya, ia mungkin mengutuk rasisme. Tapi tanpa memahami bahwa kepolisian itu alat negara pelindung kepemilikan pribadi, perlawanan hanya akan berputar di permukaan.
Lalu mengapa konsep interseksionalitas justru mekar di era 2000-an? Foley melihatnya sebagai bayang-bayang kekalahan gerakan buruh. Runtuhnya Uni Soviet, gempuran neoliberalisme, dan fragmentasi pekerja jadi buruh “gig”, telah meminggirkan perlawanan berbasis kelas. Di tengah vakum itu, interseksionalitas muncul sebagai pelipur—mengganti revolusi dengan reformasi, mengganti perjuangan anti-kapitalis dengan koalisi identitas.
Tapi Foley tak menawarkan keputusasaan. Di ujung kritiknya, ia menyuluh alternatif: Marxis revolusioner yang antirasialis dan antiseksis. Bagi dia, hanya dengan menghancurkan sistem yang mengeksploitasi tenaga kerja, penindasan berbasis identitas bisa dicabut sampai akar. “Kita butuh lebih banyak kebencian pada kelas kapitalis,” tegasnya, “bukan karena prasangka, tapi karena kesadaran bahwa selama tanah tempat jalan-jalan penindasan dibangun masih subur, persimpangan luka itu akan terus melahirkan korban baru.”
Esensinya tunggal: Mengubah tanahnya—bukan sekadar memberi tanda peringatan di persimpangan.