“Uneasy lies the head that wears a crown.”
(Resah terletak di kepala yang mengenakan mahkota)
– Shakespeare, Henry IV, Part 2
Kisah Si Anak Kamboja dan Janji Bonus Wall Street
Pada suatu senja di New York, di antara deru kereta bawah tanah dan gemuruh kota yang tak pernah tidur, ada seorang anak laki-laki kurus berkacamata tebal bernama Khe Hy. Ia bukan anak konglomerat. Ia bukan pula pewaris perusahaan properti. Ia hanyalah putra dari imigran Kamboja generasi pertama—yang menanam harapan di tanah asing dengan satu bekal: cita-cita besar.
Sejak kecil, Khe telah menulis satu rumus sederhana di dalam hatinya:
Uang = Status, dan Status = Penerimaan.
Ia percaya, jika punya cukup uang, ia akan dihormati. Dan jika dihormati, ia takkan lagi merasa menjadi “orang luar” di negeri orang.
Maka, ketika teman-teman seusianya sibuk bermain bola di taman, Khe menghafal rumus ekonomi dan grafik saham. Ketika anak lain berandai jadi bintang film, Khe memantapkan hati: Hanya ada empat pekerjaan yang pantas diperjuangkan. Hanya empat yang bisa membawaku keluar dari bayang-bayang. Yakni: pengacara, dokter, insinyur, dan bankir. Dan dari keempatnya, Khe memilih: bankir. Dunia uang. Dunia yang katanya gemerlap dan penuh pesta kemenangan.
Ketika ia diterima di Yale, dunia seolah mulai membuka pintu. Dan benar saja, saat masa perekrutan datang, para bankir dari Wall Street seperti dewa-dewa turun dari langit—menjemput para lulusan muda dengan mobil hitam mewah, jamuan makan di restoran paling mahal di New Haven, dan gelas-gelas berisi whisky seharga 50 dolar sekali teguk.
Seorang associate muda bahkan menepuk pundaknya dan berbisik, “Tahun depan, kamu bisa dapat bonus sebesar mobil BMW. Dan makan malam klien? Ah, itu seperti opera — mahal dan penuh kekuasaan.”
Di depan Khe, jalan hidup terlihat begitu rapi:
Magang → Analis → Associate → Vice President → Direktur.
Ia bisa membayangkan namanya suatu hari tercetak di pintu kantor besar:
“Khe Hy, Managing Director”
Hatinya membuncah. Dunia yang dulu menatapnya dengan heran kini terasa ingin memeluknya dengan penuh bangga.
Tapi, seperti banyak kisah dalam hikayat-hikayat penuh makna yang sering diceritakan oleh para guru sufi, jalan yang terlihat gemilang di awal, tak selalu berujung pada kebahagiaan sejati.
Dan kisah Khe, baru saja dimulai…
Apa Arti Semua Ini ?
Di tengah denting gelas kristal dan gemuruh bursa saham, seorang pria muda keturunan imigran Kamboja menatap jendela apartemennya di New York. Usianya belum genap 31 tahun. Namanya Khe Hy, lahir pada 1980. Ia telah mencapai puncak gunung kekayaan: menjadi Managing Director termuda di BlackRock, perusahaan pengelola aset terbesar di dunia. Bonusnya menggunung. Status sosialnya mengilat. Tapi di malam itu, ia mendengar bisikan batin yang lebih sunyi dari ticker Wall Street: “Apa arti semua ini?”
Tragedi Seorang Hamlet Korporat
Kisah Khe Hy nyaris seperti lakon Shakespeare. Sang pangeran tidak memegang pedang, tapi spreadsheet dan saham. Ia bukan anak kerajaan, tetapi anak imigran yang bertekad menaklukkan dunia. Ia menapaki jalan promosi demi promosi, membeli apartemen di usia 28, dan meraup gaji tujuh digit sebelum 30. Dunia bertepuk tangan. Tapi dalam batinnya, sebuah monolog lain sedang berlangsung:
“Success is like an addiction… first time you get high you hallucinate. But if you smoke every day, you need 10 bong rips in the morning just to feel normal.”
— Khe Hy, Business Insider
Di usia 33, tubuhnya mulai merespons penderitaan diam-diam itu: rambutnya rontok akibat alopecia stres. Jam kerja 74 jam seminggu tak hanya menguras tenaga, tapi mengosongkan jiwanya. Khe merasa seperti tokoh Murakami, tersesat di labirin kota asing—dalam hal ini, New York yang penuh janji namun miskin makna.
Zaman Now: Antara Emas Digital dan Kekosongan Eksistensial
Di luar panggung Khe Hy, dunia sedang berubah. Kita hidup dalam masa di mana Generasi X, Y, dan Z terpukau oleh budaya cepat dan cemerlang. Budaya flexing mendefinisikan status. Ilmu kalah pamor dengan influencer. Banyak yang lebih ingin jadi trader instan ketimbang arsitek atau guru yang sabar membangun. Lebih tertarik menjadi selebgram dengan sejuta followers ketimbang belajar memahami Aristoteles atau logika dasar.
“Anak zaman now lebih ingin viral daripada mendalam, lebih mengejar subscriber daripada substansi.”
Disiplin, yang dulu dianggap bagian dari kehormatan, kini dipandang sebagai “beban.” Kita hidup dalam ekosistem algoritma yang memberi pahala pada kecepatan, bukan kebijaksanaan. Dan ketika seseorang mencoba berhenti dari sirkus ini, ia seperti berdiri di panggung kosong, memanggil penonton yang sudah bosan dengan tragedi jiwa.
Khe Hy dan Jalan Pulang ke Dalam Diri
Pada tahun 2015, Khe Hy mengundurkan diri dari BlackRock. Bukan karena tidak mampu bersaing, tapi karena sadar bahwa ia sedang kehilangan dirinya. Ia mulai membangun RadReads—sebuah newsletter yang awalnya dikirim hanya ke 36 teman saat liburan. Namun hari ini, RadReads menjadi komunitas dengan lebih dari 40.000 subscriber, membahas tentang pekerjaan, waktu, nilai hidup, dan makna sejati kesuksesan (First Class Founders).
“Saya ingin anak saya melihat bahwa ayahnya hadir. Bahwa hidup tidak hanya soal gaji dan status.”
— Khe Hy, Business Insider Africa
Kekayaan Bukan Dosa, Tapi Bukan Segalanya
Esai ini bukan tentang menyalahkan uang. Uang penting. Namun ketika kekayaan menjadi tujuan, bukan sarana, maka seperti kata Shakespeare, kita menjadi poor in soul though rich in coin (hati miskin walau kaya dalam uang).
Sebagaimana analisis Business Insider, Khe mengkritik budaya kerja yang memuja status, tetapi mengabaikan otonomi nilai. Ia melawan siklus prestasi-burnout yang telah menjebak generasi ambisius. Ia memilih jalan sulit: mengembalikan hidup pada maknanya, bukan kemilau semunya.
Untukmu yang Sedang Mengejar
Apakah kekayaan adalah segalanya?
Tanyakan pada Khe Hy yang pernah mencicipi segala yang diimpikan banyak orang, lalu menangis dalam sepi di apartemennya yang mahal. Tanyakan pada generasi yang bangun pagi hanya untuk mengecek likes, bukan membaca puisi. Tanyakan pada hatimu sendiri—di malam yang sunyi, ketika suara dunia reda—apa yang benar-benar kamu cari?
“Cintailah semua, percayalah pada sedikit, jangan salahi siapapun.”
– All’s Well That Ends Well, William Shakespeare
Mungkin, seperti Khe, kita perlu berani mundur, agar bisa benar-benar melangkah maju—menuju hidup yang lebih utuh, lebih jujur, dan lebih bermakna.
Jakarta, 25 Juli 2025