Memang tak mudah bicara tentang manusia. Sebab, sejak ia mengenal bahasa, manusia tak berhenti menyusun definisi tentang dirinya sendiri—sekaligus, menyangsikan semuanya. Dari Plato yang menggambarkan manusia sebagai hewan berkaki dua tanpa bulu, Aristoteles yang bilang hewan yang berpikir, sampai Heidegger yang menyebut manusia sebagai “Da-sein,” ada kegelisahan yang sama: kita sedang mencari siapa kita—atau lebih tepatnya, bagaimana seharusnya kita menjadi.
Tiga kata yang, mungkin sederhana tapi mampu dimaknai begitu intim: cipta, rasa, dan karsa, seperti serpihan dari tubuh manusia yang tercerai namun mendambakan kembali utuh. Cipta merupakan daya pikir, rasa adalah kesadaran emosi, dan karsa sendiri menjadi kehendak. Tapi tidak satu pun dari ketiganya berdiri sendiri. Ketiganya saling menopang, saling tarik-menarik, kadang beriringan, tak jarang juga berbenturan.
Pertanyaannya: apakah kita mengaktivasi ketiganya secara otentik?
Sartre, orang yang keras kepala itu pernah bilang bahwa “manusia dikutuk untuk bebas.” Kata-kata yang mungkin sering terdistorsi bagi sebagian mahasiswa yang puber intelektual. Bagi Sartre, tak ada Tuhan, tak ada kodrat, tak ada alasan-alasan metafisik untuk menjelaskan keberadaan kita. Karena itu, kitalah—dan hanya kitalah—yang bertanggung jawab menciptakan makna dalam hidup kita. Pada saat ini, karsa, kehendak, bukan lagi sekadar keinginan, tapi panggilan eksistensial untuk memilih dan menanggung akibat dari pilihan itu.
Namun kehendak yang otentik bukan sembarang dorongan. Di dunia hari ini, kehendak sering dikaburkan oleh hasrat yang direkayasa. Media sosial, preferensi iklan, politik identitas—semuanya berlomba menanamkan rasa lapar yang sebenarnya bukan milik kita. Apa yang kita ingin beli, dukung, benci, cintai—semuanya bisa “dikonstruksi.” Kehendak kita dijajah, bahkan sebelum kita sempat mengartikulasikannya.
Apakah itu berarti kita sebagai manusia tak punya kesejatian? Tidak selalu. Tapi untuk itu, kita harus menyelami rasa. Emosi bukan sekadar getaran hati, tapi juga semacam kompas etik. Ketika Levinas bicara tentang tanggung jawab terhadap yang “Liyan,” dia tak memulai dari nalar, tapi dari kepekaan. Wajah orang lain—yang rapuh, yang bisu, yang memanggil kita dalam diam—membangkitkan rasa bersalah. Bukan rasa bersalah karena melanggar hukum, tapi karena kita tahu, pada titik terdalam, bahwa kita adalah bagian dari dunia yang sama, dan karenanya, kita tak bisa pura-pura tak melihat.
Sayangnya, “rasa” itu hari ini langka. Kita hidup di era algoritma, di mana rasa dikerangkeng oleh like, hingga viralitas. Empati jadi konsumsi publik. Marah jadi gaya hidup. Orang mencaci dengan mulut penuh moral, tapi kosong atas keberanian untuk mendengar. Kita memilih kelompok, bukan karena cinta pada kebenaran, tapi karena takut ditinggal sendirian.
Pada titik ini cipta tak bisa diam. Ia harus mencurigai segala yang disuguhkan. Ia harus kritis, bahkan terhadap rasa dan karsa sendiri. Tapi akal budi yang sejati bukan yang hanya bisa membantah. Ia harus mengandung kerendahan hati untuk mengakui: saya bisa salah. Karena cipta yang otentik bukan tentang menjadi pintar, tapi tentang merawat keterbukaan. Tentang mempersoalkan asumsi, menggugat kepastian, dan menggali makna, meskipun tak ada jawaban yang memuaskan.
Heidegger pernah bilang, manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar akan kematian—dan karenanya, bisa hidup secara otentik. Dengan menyadari kefanaan, kita diajak untuk hidup dengan penuh kesadaran. Tapi lihatlah sekeliling kita: hidup justru dipenuhi pengalihan. Kita ingin sibuk, terus terhibur, terus terkoneksi. Seakan-akan, diam adalah dosa, dan kesendirian adalah penyakit.
Maka manusia otentik bukanlah mereka yang sempurna, melainkan mereka yang berani. Berani mendengar rasa yang terdalam. Berani menolak kehendak yang bukan miliknya. Berani menggunakan cipta untuk mengoyak tirai kebohongan—bahkan jika itu adalah keyakinannya sendiri.
Lalu bagaimana menjadi manusia yang baik? Pertanyaan ini lebih sulit dari yang dibayangkan. Kebaikan hari ini telah dipreteli. Ia dijadikan jargon politik, strategi pemasaran, bahkan hiasan diri. Kita bicara tentang “humanity” sambil menekan tombol untuk menjatuhkan bom. Kita mendeklarasikan “solidaritas” sambil memblokir tetangga yang berbeda pendapat. Kita mengaku peduli, tapi enggan beranjak dari kenyamanan diri sendiri.
Namun kebaikan yang sejati tak selalu bersuara lantang. Kadang ia hadir dalam diam yang mengandung tanggung jawab. Ia bukan performa, melainkan keputusan yang diambil dalam sunyi. Sebuah “perhatian murni” (pure attention). Untuk menjadi baik, kita harus sungguh-sungguh hadir dalam penderitaan orang lain. Tanpa pamrih. Tanpa agenda. Tanpa kepentingan.
Tapi ini tak mungkin tanpa kesatuan cipta, rasa, dan karsa. Cipta membimbing kita membedakan baik dan buruk. Rasa menyalakan empati. Karsa membuat kita bergerak. Ketiganya seperti tiga benang yang menjalin jubah keberadaan manusia. Tanpa salah satunya, kita telanjang secara eksistensial.
Di sinilah tantangannya. Tulisan ini sekalipun bukan sekadar membuat orang tahu, tapi membantu untuk menjadi. Menjadi manusia. Untuk menumbuhkan cipta diperlukan dialog. Yang menajamkan rasa bukan hanya puisi, tapi juga pengalaman berbagi. Yang mengasah karsa bukan sekadar latihan disiplin, tapi pemberian ruang untuk memilih—dan menanggung akibatnya.
Dalam masyarakat seperti sekarang, hal seperti itu mungkin terdengar utopis. Tapi justru karenanya ia penting. Kita telah terlalu lama mendewakan efisiensi. Tapi hidup yang otentik tak bisa dipercepat. Ia membutuhkan permenungan. Butuh keberanian untuk menunda, untuk bertanya, untuk tidak langsung yakin.
Barangkali itulah sebabnya manusia disebut makhluk yang “belum selesai.” Dalam bahasa eksistensialis, manusia bukan sesuatu yang “ada,” melainkan sesuatu yang “menuju.” Kita bukan esensi yang tinggal dipoles, melainkan proyek yang selalu dalam pengerjaan. Dan dalam proses itu, cipta, rasa, dan karsa adalah alat dan medan tempur sekaligus.
Hanya saja tiga piranti ini bisa tumpul. Ketika cipta dikerdilkan oleh propaganda. Ketika rasa dibekukan oleh trauma kolektif. Ketika karsa dibungkam oleh ketakutan. Maka pekerjaan kita, sebagai individu dan masyarakat, adalah menjaga agar ketiganya tetap hidup. Agar kita tak hanya menjadi konsumen sejarah, tapi juga pencipta masa depan.
Walhasil, mungkin manusia tak akan pernah benar-benar “jadi.” Tapi justru dalam ketidakselesaian itulah kita diundang untuk merumuskan kembali makna menjadi manusia. Bukan dalam abstraksi, tapi dalam hidup yang dijalani dengan utuh.
Cipta yang tak takut berpikir ulang.
Rasa yang tak malu untuk merasakan duka.
Karsa yang tak tunduk pada kenyamanan.
Mungkin itulah langkah pertama untuk menjadi manusia yang baik. Bukan karena kita sempurna. Tapi karena kita, setidaknya, mencoba.