Dalam lanskap sejarah Islam, klaim kebenaran teologis seringkali menyeret narasi sejarah menjadi alat propaganda. Sunni, sebagai kelompok mayoritas yang mengeklaim sebagai pewaris sah ajaran Nabi Muhammad, ia menampilkan sejarahnya sebagai satu-satunya jalur suci, lurus, dan gemilang. Dalam naskah-naskah populer dan wacana keagamaan arus utama, sejarah Sunni begitu mendominasi digambarkan sebagai benteng cahaya melawan kegelapan, pahlawan melawan pengkhianat, dan kemurnian melawan penyimpangan.
Nama-nama seperti Shalahuddin al-Ayyubi, Alp Arslan, Imaduddin Zengi, hingga Muhammad al-Fatih kerap ditampilkan dalam kemasan heroik, monumental, dan tanpa cacat. Shalahuddin dielu-elukan sebagai pembebas Yerusalem, padahal sejarah mencatat bahwa dia naik ke tampuk kekuasaan dengan berdarah menggulingkan khalifah Fathimiyah di Mesir, sebuah rezim Syiah yang telah mapan selama lebih dari dua abad. Dalam catatan Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fi al-Tārikh, disebutkan bahwa setelah penggulingan itu, para pendukung Fathimiyah diburu dan dieksekusi. Ia tidak hanya menghapus nama khalifah Fathimiyah dari khutbah dan sistem pemerintahan, tetapi juga menutup pusat-pusat dakwah Syiah, membakar kitab-kitab mereka, serta menangkap ulama dan tokoh yang dianggap berseberangan. Bahkan sebagian kaum Sufi yang independen—terutama yang dianggap terlalu dekat dengan spiritualitas Syiah atau pemikiran filsafat—juga ikut diberangus. Ibn Khallikan dalam Wafayat al-Aʿyan menyinggung penindasan terhadap kelompok zahid yang tidak mau tunduk kepada definisi resmi Sunni ortodoks. Atas nama “pembenahan akidah”, praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan ortodoksi Sunni dimatikan secara koersif.
Lebih dari itu, figur seperti Timur Lenk (Tamerlane), memang dikenal sebagai pelindung ulama, terutama dari kalangan ulama fiqh dan ahli hadis. Namun dalam praktik politiknya, ia memerintah dengan tangan besi dan kekerasan brutal, terutama terhadap kota-kota yang dianggap menolak tunduk atau menjadi ancaman strategis.
Dalam kampanyenya ke Delhi pada tahun 1398, Timur melakukan penyerbuan yang disertai pembantaian massal. Menurut catatan Sharafuddin ʿAli Yazdi, Timur memerintahkan pembunuhan lebih dari 100.000 tawanan perang India—baik Hindu maupun Muslim— karena khawatir mereka akan memberontak. Setelah memasuki Delhi, kota itu dijarah habis-habisan selama beberapa hari yang menyebabkan kehancuran besar-besaran terhadap infrastruktur dan populasi kota, yang kala itu merupakan salah satu pusat metropolitan terbesar di dunia Islam-India.
Tak kalah mengerikan adalah serangannya ke Baghdad pada tahun 1401. Kota yang pernah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan di bawah Abbasiyah itu dikepung, direbut, dan dihancurkan. Menurut laporan Ibn Arabshah, penulis kontemporer dari Damaskus, puluhan ribu penduduk dibantai tanpa pandang bulu. Ia menggambarkan bagaimana kepala-kepala manusia ditumpuk membentuk menara-menara, sebagai simbol dominasi dan kemenangan.
Dinasti Saljuk juga menyimpan rekam jejak kekerasan politik dan sektarian yang brutal. Di bawah panji akidah Asy’ariyah, Saljuk tidak segan menggunakan kekuatan militer dan intelijen untuk menumpas segala bentuk oposisi, terutama dari kalangan Syiah dan kelompok filsuf rasionalis. Salah satu contoh paling mencolok adalah penumpasan terhadap gerakan Bathiniyah, yang dianggap sebagai ancaman ideologis dan politik. Tak hanya para militan, tetapi juga para tokoh intelektual yang dicurigai berpaham Syiah atau terlalu condong ke pemikiran rasional—seperti para filsuf yang mengikuti jejak Ibn Sīna—kerap menjadi sasaran persekusi. Dalam banyak kasus, zawiyah dan madrasah non-ortodoks ditutup atau dibakar, dan ulama-ulama yang tak sejalan dengan garis Sunni-Saljuk diberhentikan, dipenjara, bahkan dibunuh. Politik penindasan ini dijalankan dengan rapi melalui kerja sama antara kekuasaan militer dan ulama resmi istana, yang memperalat otoritas agama untuk melegitimasi tindakan brutal atas nama penegakan Ahlussunnah wa al-Jamaʿah.
Sementara dalam kasus Muhammad al-Fatih (Mahmud II), yang dipuja sebagai “penakluk Konstantinopel” (1453), perlu diketahui, setelah kemenangan gemilang itu, ribuan warga Konstantinopel dijadikan budak, gereja dijarah, dan kekayaan kota ditransfer ke elite militer Utsmani. Dalam kronik Bizantium dan sumber Latin, disebutkan bahwa selama tiga hari pertama setelah penaklukan, kota itu berubah menjadi neraka di bumi.
Berbeda sekali dengan sejarah Syiah yang nyaris tak pernah diberi ruang yang adil dalam narasi arus utama. Ia kerap ditampilkan semata-mata sebagai rangkaian pemberontakan, bid’ah, atau sejarah sektarian yang berdarah. Tragedi Karbala, misalnya, lebih sering dipelintir menjadi aksi politik yang gegabah, alih-alih diakui sebagai bukti keberanian moral Husain bin Ali dalam menentang tirani kekuasaan. Ketika Dinasti Buwaihiyah atau Shafawiyyah yang notabene Syiah naik ke tampuk kekuasaan, narasi kekejaman mereka diulang-ulang—seolah hanya mereka satu-satunya yang pernah menumpahkan darah atas nama agama. Perlakuan serupa juga dialami oleh Muʿtazilah: era Khalifah al-Maʾmun dan kebijakan miḥnah selalu dijadikan monumen abadi untuk mencela teologi rasional, sementara kekerasan berdarah dalam kubu sendiri nyaris tak pernah dikritik dengan standar yang sama.
Tentu saja, sisi gelap sejarah Sunni tidak berhenti di sini. Apa yang telah disampaikan hanyalah sekelumit kecil dari lembaran panjang sejarah yang sering disembunyikan di balik narasi kejayaan. Jika dipaparkan seluruhnya, kisah-kisah kelam ini bisa memenuhi berjilid-jilid buku. Bagi yang ingin menelusuri lebih dalam, rujukan dapat ditemukan dalam karya-karya sejarawan besar Sunni tulen seperti al-Mas‘udi Muruj al-Dzahab, Ibn al-Atsir al-Kamil fi al-Tarikh, Ibn Qutaybah al-Imamah wa al-Siyasah, dan al-Thabari Tarikh al-Umam wa al-Muluk —mereka menulis dengan lebih jujur, terbuka, dan tanpa beban.
Saya tidak bermaksud membela Syiah, apalagi menutup-nutupi kekelaman sejarah mereka. Dinasti Shafawiyyah juga memaksakan konversi agama, memberangus ulama Sunni, dan melakukan kekejaman yang tidak kalah sedikit. Namun yang saya ingin katakan adalah bahwa “kebersihan” sejarah Sunni adalah mitos yang dibentuk oleh kekuasaan dan dominasi narasi. Sebuah narasi yang tidak netral, melainkan dikonstruksi oleh mereka yang berkuasa, dan karenanya, lebih sering memonopoli kebenaran. Kejujuran intelektual mengharuskan kita untuk berdamai dengan sejarah, bukan menutupinya. Mengakui bahwa kekuasaan Sunni pun memiliki sisi gelap bukan berarti membatalkan kebenaran ajarannya, melainkan menunjukkan kedewasaan dalam membaca sejarah sebagai manusia berakal.
Ketika kita menjadikan sejarah sebagai ladang mitos dan bukan sebagai medan kritik, maka kita tidak sedang meneladani Nabi, tapi sedang menyembah bayangan kekuasaan. Dan dalam masyarakat yang beradab, keberanian intelektual untuk mengakui sisi gelap sejarah adalah tanda awal dari pencerahan.
#Pakta_Warsawa