Disrupsi Informasi dan Tugas Sunyi: Menjadi Manusia Autentik

*) Catatan Samara 8 Juli 2025

Pernahkah kita merasa letih, meski tubuh tak berjalan? Mata lelah, padahal tak membaca buku; dada sesak, padahal tak menangis? Cukup menggulir layar dalam diam, lalu datanglah gelombang kata, gambar, suara, dan komentar seolah dunia tak pernah kehabisan sesuatu untuk dikatakan.

Kita hidup di zaman yang tak lagi menunggu tanya, melainkan dibanjiri jawaban. Era disrupsi informasi, kata para pakar, adalah masa ketika pengetahuan tak dicari, melainkan dipaksa masuk; ketika sunyi tak lagi bertamu, sebab setiap ruang dijejali bunyi. Tapi di balik semua itu, siapakah yang menentukan apa yang masuk ke ruang kesadaran kita?

Kita hidup dalam deras. Derasnya data. Derasnya opini. Derasnya kabar. Dan dalam deras itu, kita kerap kehilangan orientasi: mana yang penting dan mana yang sekadar viral? Media sosial, dengan segala wajah memesonanya, hadir bukan sekadar sebagai alat ekspresi, tetapi sebagai ekosistem yang membentuk cara berpikir dan merasa. Namun, mungkinkah ia juga menjadi ruang kehilangan?

Pada tahun 2024, Indonesia mencatat lebih dari 191 juta jiwa 73,7% dari populasi telah menjadi penghuni ruang maya. Dari jumlah itu, 167 juta adalah pengguna aktif. Rata-rata, tiga jam lebih dihabiskan setiap hari di dalam ekosistem yang tak mengenal batas waktu dan ruang. Platform seperti YouTube, Instagram, Facebook, WhatsApp, hingga TikTok telah menjadi ruang publik baru sekaligus arena eksistensial.

Mayoritas dari para pengguna ini berusia 18–34 tahun, dengan perempuan sedikit lebih dominan. Kegiatan mereka pun tampak sederhana: berbagi cerita, bercakap, menonton, mendengar, berbelanja. Tapi di balik itu, ada proses yang lebih dalam: penciptaan identitas, negosiasi makna, bahkan perjuangan untuk diakui.

Namun justru di sanalah kita menjumpai sunyi paling dalam. Sunyi yang tersembunyi dalam kebisingan. Algoritma bekerja diam-diam, membentuk kurasi dunia yang kita lihat, memengaruhi apa yang kita pikirkan, bahkan bagaimana kita merasa. Kita menjadi gema dari sesuatu yang viral, bukan lagi suara dari diri yang personal.

Jean Baudrillard menyebut situasi ini sebagai hiperrealitas: ketika representasi menjadi lebih nyata dari kenyataan itu sendiri. Dalam dunia yang dikurasi ini, kita bukan hanya menjadi pengguna, tapi juga produk: diri yang disesuaikan, versi yang bisa dijual.

Erving Goffman, dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959), menyebut manusia sebagai aktor sosial di berbagai panggung. Tetapi hari ini, panggung itu tak pernah padam. Kamera menyala terus-menerus, bukan hanya dari luar, tapi dari dalam keinginan untuk tampil. Kita hidup dalam logika performa.

Lebih dari itu, media sosial tak hanya memperluas ruang publik; ia juga mengacaukan batas antara yang privat dan publik. Informasi tak lagi datang dari kantor berita resmi, melainkan akun anonim, thread panjang, dan potongan video yang dipoles untuk viralitas. Agenda setting, sebagaimana dijelaskan McCombs dan Shaw (1972), kini dikendalikan oleh interaksi algoritmik, bukan semata oleh editorial. Kebenaran sering kali dikalahkan oleh kecepatan. Di manakah tempat berpijak untuk mereka yang ingin tetap jernih?

Jawabannya mungkin terletak pada autentisitas yang bukan berarti menjadi unik demi perhatian, tetapi menjadi setia pada nilai-nilai yang personal dan tak bisa digeneralisasi. Søren Kierkegaard menyebut autentisitas sebagai keberanian menghadapi kenyataan terdalam: bahwa kita terbatas, akan mati, dan bertanggung jawab atas hidup kita sendiri.

Namun menjadi autentik bukan perkara mudah. Apalagi ketika kerja, pengakuan sosial, dan relasi personal kini semakin bergantung pada performa digital. Bagi sebagian orang, media sosial bukan pilihan, tetapi kebutuhan. Bagi pekerja informal, influencer, hingga aktivis, dunia digital adalah panggung hidup. Karena itu, autentisitas bukanlah mundur dari teknologi, tetapi membangun relasi kritis dengannya. Luciano Floridi (2014) menyebut kita hidup dalam infosfer jaringan digital yang merembes ke semua aspek kehidupan. Dalam dunia ini, tugas manusia bukan memutus sambungan, tetapi menyaring: memilih, memilah, dan mengolah.

Artinya, menjadi manusia autentik bukan soal menolak dunia digital, tapi menata ulang relasi dengannya. Misalnya, menunda membagikan sebelum membaca tuntas. Bertanya sebelum ikut menyalahkan. Berdiam sebelum menyimpulkan. Atau bahkan, memilih diam saat semua orang berlomba bersuara. Dan mungkin, menjadi manusia hari ini bukan tentang seberapa banyak kita didengar, tetapi seberapa dalam kita bisa mendengar. Bukan seberapa banyak kita tampil, tapi seberapa sadar kita terhadap yang tersembunyi.

Jika hari ini, di tengah ribuan notifikasi dan gemuruh konten, kamu memilih untuk membaca perlahan, meragukan hal-hal yang terlalu cepat dipercaya, dan bertanya sungguh-sungguh: “Apakah ini benar? Apakah ini penting? Apakah ini aku?” Maka kamu sedang menapaki jalan pulang. jalan sadar. jalan kembali menjadi manusia yang autentik.