Egaliter? Romantisme atas Khawarij dan Kesalahan Membaca Kekerasan

Dalam upaya membedah sejarah Islam, memang sering muncul godaan intelektual untuk menggali serpihan serakan yang tersembunyi dan terlupakan. Karena, diakui atau tidak, yang sering diperbincangkan arus utama biasanya adalah narasi para “pemenang”. Kadang dari sana ditemukan emas dalam reruntuhan yang terkubur; tak jarang pula yang ditemukan hanyalah besi yang sudah berkarat. Tulisan “Egalitarianisme Radikal dalam Islam” dari Mama Obeng menjadi contoh bagaimana sejarah kekerasan bisa dikemas sebagai utopia politik, dan seperti apa gerakan ekstrimis Khawarij dapat direka ulang menjadi pahlawan keadilan sosial dalam narasi ulang atau—lebih tepatnya membaca serampangan sebuah sejarah. Ini bukan sekadar kesalahan historis, melainkan penyimpangan epistemologis yang serius.

Penulisnya mengklaim Khawarij adalah pelopor “teokrasi tanpa kasta”, bahwa mereka menafsirkan tauhid sebagai prinsip egalitarian politik. Mungkin pernyataan ini sebagian ada yang mengiyakan saat membaca logika tulisannya, namun tak ayal lagi pernyataan ini adalah jebakan rekonstruksi sejarah yang keliru secara teologis. Tauhid bagi Khawarij bukanlah pembebasan manusia dari belenggu sosial, melainkan “penafian” terhadap otoritas manusia dalam menafsirkan wahyu. Penegasian terhadap yang “liyan”. Mereka menolak tahkim bukan karena semangat demokrasi, akan tetapi karena mereka memonopoli kebenaran Tuhan.

Harus dipahami, bahwa pemikiran seperti ini justru yang dikritik oleh Abu al-Hasan al-Ash‘ari dalam Maqalat al-Islamiyyin, yang menyebut bahwa Khawarij meyakini: siapa pun yang berdosa besar telah keluar dari Islam. Bukankah polemik dosa besar ini yang akhirnya menjadi problem utama perpecahan umat Islam? Syahdan, keimanan bukanlah ruang perbedaan, akan tetapi menjadi pembatas yang memisahkan hidup dan mati. Inilah akar kekerasan mereka: tafsir literal atas wahyu yang tak memberi ruang untuk konteks, pemaknaan, bahkan spirit yang bengkok secara epistemologis.

Artikel dari Mama Obeng juga jatuh pada kesalahan hermeneutik: menyematkan cita-cita kontemporer ke dalam laku ekstrem masa lalu. “Egalitarianisme” walaupun digadang-gadang menjadi ajaran universal Islam, betapapun ajaran Islam sangat mencerminkan ajaran suci yang egaliter, namun sebagai sebuah konsep, ia adalah konsep modern yang lahir dari sejarah panjang sekularisme, revolusi Perancis, hingga liberalisme Eropa. Menisbatkan cita-cita ini kepada Khawarij adalah “anakronisme” fatal.

Sebagaimana pernah disampaikan Wael B. Hallaq, proyek membaca keadilan modern dalam kerangka hukum Islam klasik seringkali “gagal” karena memakai parameter yang tidak kompatibel secara epistemik. Dengan kata lain, bahasa yang sering saya sampaikan di kelas, “seringkali kita terjebak memotret masa lalu, dengan kaca mata hari ini—begitupun sebaliknya”. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi, bagi saya Khawarij tidak mengusung gagasan “kedaulatan rakyat” atau “keadilan distributif” dalam arti Rawlsian yang mungkin dibayangkan Mama Obeng. Mereka hanya berkeinginan Tuhan menjadi satu-satunya sumber hukum karena mereka menolak pluralisme tafsir—dan justru itulah yang membuat mereka radikal.

Mama Obeng juga memuji Khawarij karena katanya mereka “konsisten” terhadap prinsip yang dipegang. Pernyataan ini sangat problematis, karena betapapun, bagi saya “konsistensi” bukanlah parameter moral tertinggi. Nyatanya seorang tiran bisa konsisten, seorang pembunuh bisa gigih, seorang dogmatis bisa teguh. Sejarah tidak mengampuni dosa kekerasan hanya karena dilakukan atas nama prinsip. Dalam filsafat etika, Immanuel Kant memang memuji konsistensi sebagai ekspresi “good will”, tapi ia juga menggarisbawahi bahwa “moralitas lahir dari universalitas tindakan”, bukan dari kefanatikan buta. Walhasil, saat Khawarij menghalalkan darah Muslim lain demi menjaga “konsistensi teologis”, mereka jatuh pada kekeliruan kategoris: menjadikan agama alat eliminasi, bukan ruang etis.

Tulisan tersebut juga membagi sejarah awal Islam ke dalam dua kubu: “elit Quraisy” di satu sisi yang dicapnya feodal— (analisis atas hal ini mungkin di lain waktu akan dituangkan dalam tulisan yang lain; karena sudah ada buku babon yang membahasnya “Hegemoni Quraisy” yang ditulis Khalil Abdul Karim), dan Khawarij yang radikal-egaliter. Ini, bila tidak berlebihan adalah dikotomi palsu. Realitasnya, para al-Khulafa’ ar-Rasyidun (termasuk juga Imam Ali bin Abi Thalib) mengelola kekuasaan melalui musyawarah mufakat walaupun berdarah-darah, ijtihad rasional, dan kompromi-kompromi kemanusiaan. Bahkan Imam Ali sendiri mengutuk Khawarij karena mereka memasukkan tafsir ke dalam palu pemukul: siapa pun yang tidak sesuai, dikafirkan.

Imam Ali berkata kepada mereka: “Kalimatun haqq yuraadu bihaa al-baathil.” Kalimat yang benar, tapi niatnya salah. Pertanyaan baliknya, apakah spirit “egalitarianisme” versi khawarij yang dipahami Mama Obeng dalam memotret khawarij dilakukan dengan niat yang baik? Ini penting agar tidak terjadi distorsi yang kebablasan. Bahwa kebenaran teks bisa dipakai sebagai senjata ideologis itu tak dapat dipungkiri, dan bahwa klaim keadilan bisa berubah menjadi alat pemusnahan juga menjadi persoalan lain.

Artikel itu juga dengan percaya diri mengutip Ibn Hazm: “Sesungguhnya kelompok yang paling adil setelah Islam adalah Khawarij.” Tapi pembacaan ini baru setengah, belum mampu menyibak konteks satir yang terdapat di dalam keterangan Ibn Hazm itu sendiri, yang bahkan dalam banyak karyanya justru menyebut Khawarij sebagai ahli bid‘ah paling ekstrem. Dalam al-Fashl al-Milal wa al-Nihal, Ibn Hazm menyebut mereka sebagai “kaum yang mendahulukan akal rusak atas nash” dan mengedepankan pengkafiran di atas dialog. Sebuah contoh fatal dari proof-texting: memilih kutipan untuk mendukung narasi, meskipun bertentangan dengan kerangka besar karya itu sendiri.

Bahaya terbesar dari artikel Mama Obeng sebenarnya bukan pada romantisme sejarah semata, atau menguak sejarah yang membuat pembacanya tercengang karena seperti sesuatu yang jarang “dipikirkan” ulang. Tapi sangat salah atas upaya “legitimasi kekerasan” melalui ideologi yang dianggapnya sebagai tuntutan terhadap cita-cita “keadilan radikal”. Ketika Mama Obeng membenarkan kelompok yang menebas sesama Muslim karena dianggap tidak murni, ia telah mengubah “etika” menjadi “senjata”. Khaled Abou El Fadl pernah menyatakan bahwa gerakan ekstrem memang selalu menyusup dari lorong-lorong pseudo-kesalehan, menyamar sebagai keadilan, lalu menggantinya dengan pemusnahan.

Mama Obeng, saya tanpa embel-embel berpretensi untuk menganggap anda Pro-Khawarij, dan saya sangat yakin haqqul yaqin anda adalah Ahlussunnah tenanan. Khawarij bukan solusi, tapi cermin distorsi. Khawarij bukan egaliter dalam makna keadilan sosial, tapi terjebak pada eksklusivisme dalam perebutan makna tafsir. Mereka bukan anti-feodal dalam kerangka progresif revolusioner, namun anti-manusia dalam kerangka ilahiah yang membunuh perbedaan. Maka menyibak sejarah Khawarij sebagai mimpi yang gagal dan membacanya dengan perspektif alternatif seperti yang sudah disampaikan dapat terjebak dalam pengkhianatan seluruh cita-cita stabilitas dan ekspansi yang telah dilakukan dalam upaya penyebaran Islam. Tentu saja saya akui, sejarah arus utama tidak bebas kritik karena identik dengan “tiran”, “perang”, hingga “kesukuan”. Namun, segala kebijakan dalam perjalanan panjang sejarah menyelamatkan eksistensi Islam sampai saat ini. Setidaknya arus besar sejarah mencerminkan bentuk Islam yang rahmatan lil’aalamiin—(walaupun ini bisa debatable).

Ironis Mama Obeng terjebak dengan mengutip ayat: “Barangsiapa tidak memutuskan dengan hukum Allah, mereka itulah orang kafir,” untuk mendukung kelompok yang mengangkat ayat itu dengan pedang dan darah. Sejarah tidak boleh dibaca ulang, lebih lagi ditulis ulang dengan tinta ideologi hari ini. Apalagi saat tinta itu mengaburkan darah yang telah tumpah karena fanatisme bertopeng ketakwaan.