Beberapa waktu terakhir, wacana tentang peran organisasi keagamaan dalam dunia ekonomi semakin mengemuka. Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, mulai menempuh jalur baru dengan ikut terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk tambang, atas nama kemandirian ekonomi umat. Di satu sisi, langkah ini bisa dibaca sebagai upaya NU untuk mengambil bagian dalam pembangunan nasional dan memperjuangkan keadilan ekonomi. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan penting: apakah keterlibatan ini sejalan dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam hal cara manusia memperlakukan alam?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa menengok pemikiran Sayyed Hossein Nasr, seorang filsuf Islam kontemporer yang sangat peduli pada persoalan krisis lingkungan dan spiritualitas manusia modern. Dalam bukunya Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, Nasr menjelaskan bahwa masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini bukan hanya soal teknologi atau kebijakan yang salah arah. Menurutnya, krisis ini adalah cerminan dari krisis spiritual—di mana manusia modern telah memutus hubungannya dengan alam sebagai ciptaan Tuhan. Alam tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang suci dan memiliki makna ilahiah, melainkan hanya sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi
Bagi Nasr, alam adalah ayat-ayat Tuhan—tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, manusia semestinya memelihara alam dengan penuh rasa tanggung jawab spiritual. Ketika NU memutuskan untuk terlibat dalam tambang tanpa mendasarkan langkahnya pada pandangan spiritual semacam ini, maka ada risiko besar bahwa NU justru ikut terjebak dalam cara berpikir modern yang hanya melihat alam dari sisi ekonomi. Dalam ajaran Islam sendiri, manusia bukan penguasa bumi, tapi khalifah—penjaga dan pemelihara bumi yang bertugas menjaga keseimbangannya.
Dalam buku lainnya, Religion and the Order of Nature, Nasr mengkritik keras cara pandang modern yang memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai spiritual. Ia menyebut bahwa sains modern telah kehilangan dimensi kebijaksanaan (hikmah) karena terlalu berfokus pada aspek-aspek teknis dan material. Kalau NU mengelola tambang dengan pendekatan seperti ini, tanpa menyertakan nilai-nilai kosmologis Islam, maka secara tidak sadar NU sedang melanggengkan cara berpikir yang selama ini justru dikritiknya sendiri—yaitu eksploitasi alam yang lepas dari rasa hormat kepada kesakralannya.
Padahal, NU punya modal besar dari warisan keilmuan Islam klasik yang sangat kaya dengan pandangan dunia spiritual dan ekologis. Jika NU benar-benar ingin ikut mengelola sumber daya alam, langkah itu seharusnya tidak hanya dibingkai sebagai strategi ekonomi. Lebih dari itu, harus ada refleksi mendalam tentang nilai-nilai apa yang dibawa dalam proses tersebut. Bagi Nasr, jalan keluar dari krisis spiritual dan ekologis adalah dengan menghidupkan kembali pandangan sakral terhadap alam—yakni melihat alam bukan sekadar “alat”, tapi sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dijaga.
Karena itu, kritik terhadap NU bukan berarti menolak kehadiran umat Islam dalam ranah pembangunan atau ekonomi. Justru sebaliknya, kritik ini ingin menegaskan bahwa sebagai organisasi keagamaan, NU punya tanggung jawab moral untuk memberi teladan: bahwa Islam bukan hanya peduli pada keadilan sosial, tapi juga pada keadilan ekologis. Kalau NU ikut bermain di sektor tambang tapi tanpa membawa nilai-nilai spiritual Islam, maka yang terjadi bukanlah transformasi, melainkan pengulangan pola eksploitatif yang sama seperti yang dilakukan oleh para pelaku industri lainnya. Dan inilah yang sejak lama dikritik oleh Nasr—bahwa manusia modern telah kehilangan kesadaran metafisiknya, dan akibatnya, relasinya dengan alam menjadi rusak.
Pemikiran Nasr mengingatkan kita bahwa menyelamatkan lingkungan bukan hanya soal teknologi ramah lingkungan atau regulasi yang baik. Lebih dalam dari itu, yang kita butuhkan adalah perubahan cara pandang—bahwa bumi dan seluruh isinya adalah amanah dari Tuhan. Dan kalau NU ingin terlibat dalam pengelolaan tambang, seharusnya keterlibatan itu dilakukan dengan penuh kesadaran akan amanah spiritual tersebut. Hanya dengan cara itulah peran NU bisa benar-benar membawa perubahan yang bermakna, bukan sekadar ikut arus dalam logika ekonomi modern yang sering kali mengabaikan sisi kemanusiaan dan keilahian dari alam semesta.