Ketika Trump bilang “Make America Great Again”, yang lain pun ikut: “Make China Rich Again”, “Make Russia Strong Again”, “Make Everyone Afraid Again.” Dan dunia pun terjebak dalam lingkaran slogan, bukan solusi.
Wacana ini mencoba mengupas atau sedikit merobek orkestrasi strategi konfrontasi serta diplomasi agresi oleh kekuatan global seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan sejumlah entitas Timur Tengah yang gemar beroperasi dengan taktik penuh spekulasi. Diskursus ini juga menyentil ironi politik domestik yang dibumbui agenda populistik Presiden Trump—seorang maestro retorika dan kalkulasi elektoral—yang menjadikan kebijakan luar negeri tak hanya instrumen diplomasi, melainkan panggung kontestasi, panggung afirmasi, dan terkadang juga panggung ilusi legitimasi.
Dunia hari ini seperti panggung sandiwara yang skenarionya ditulis oleh para aktor berhaluan ambisi dan berwatak dominasi. Ketegangan geopolitik menjelma jadi rutinitas agitasi, provokasi, bahkan invasi yang dibalut kata-kata legitimasi. Dari Eropa Timur yang terus bergetar oleh drama Ukraina–Rusia, hingga Laut China Selatan yang semakin sesak oleh kapal, peta dan klaim tanpa klarifikasi—semuanya menari dalam konflik yang penuh intensifikasi. Belum lagi Timur Tengah, kawasan yang dari dulu seolah langganan gejolak dan sudah kebal terhadap resolusi.
Lebih dari sekadar peta konflik yang makin berlapis-lapis, dunia juga sedang mengalami shifting luar biasa dalam tatanan kekuasaan: Tiongkok bangkit seolah berupaya sebagai pabrik global juga sebagai aktor strategis dengan mimpi supremasi. Rusia, sang beruang utara, kembali menunjukkan taring nostalgia dan semangat restorasi. Sementara Amerika Serikat, walau masih sering tampil dengan gaya sheriff dunia, mulai kehilangan aura superioritasnya—terkadang lebih sibuk mengurusi drama internal dan ego kepemimpinan yang penuh kalkulasi dan personalisasi. Ya, multipolarisasi sedang tumbuh subur dan dominasi tunggal makin sukar bertahan dari arus fragmentasi.
Kondisi ini bukan hanya menciptakan dinamika, tapi juga dilema. Di satu sisi, ada peluang untuk distribusi kekuatan yang lebih demokratis; di sisi lain ada risiko intensifikasi konflik karena absennya satu arah kendali dan dominasi. Semua saling pasang strategi, adu narasi dan ironisnya, saling tuduh mencari justifikasi.
Jagat pergaulan internasional yang makin penuh dengan kalkulasi, Amerika Serikat masih tampil bak bintang utama—meski kadang skripnya ditulis dengan gaya drama, kadang pula seperti reality show yang penuh manuver dan retorika. Sebagai aktor global dengan sejarah panjang imperialisme, kapitalisme dan diplomasi berbasis idealisme AS kini justru kerap tampil dengan pendekatan yang lebih personal, pragmatis dan sesekali impulsional. Khususnya dalam era Trump, multilateralisme yang dulu diagungkan justru didepak dengan logika unilateralisme, seakan dunia ini hanya terdiri dari satu meja, satu pemimpin, dan satu suara: suara “America First” yang kadang nyaring, kadang nyeleneh, tapi selalu penuh improvisasi.
Multilateralisme—yang sejatinya meniscayakan kerja sama, kolektivitas, dan tanggung jawab global—diubah jadi arena tawar-menawar bilateral yang sangat transaksional. Aliansi? Harus bayar. Perjanjian? Harus untung. NATO? Kurang dana, katanya. WHO? Ditinggal pas lagi pandemi. Paris Agreement? Dicabut, katanya mengganggu ekonomi. Bahkan Palestina pun sempat “dihibahkan” ke Israel dalam Deal of the Century yang lebih mirip lelucon sejarah daripada solusi diplomasi. Dunia dibuat terperangah oleh pendekatan yang menyingkirkan konsensus dan mengedepankan kepentingan domestik tanpa klarifikasi.
Kekuatan ekonomi dan militer yang masih berada di puncak klasifikasi, AS menjalankan proyeksi kepentingannya secara masif melalui tekanan, embargo hingga pameran kekuatan—baik dalam bentuk armada maupun mata uang. Di Laut China Selatan, kapal perang AS mondar-mandir demi memastikan siapa bos laut internasional. Di Timur Tengah, AS memainkan sanksi terhadap Iran, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan melemparkan bom retorika di banyak forum tanpa diplomasi yang cukup estetis. Di Venezuela, mereka tak segan mendukung oposisi, semua atas nama demokrasi yang sudah lama dijadikan alibi.
Namun yang menarik bukan hanya apa yang dilakukan, tapi bagaimana dan mengapa dilakukan. Di bawah Trump, kebijakan luar negeri tak lagi berbasis kalkulasi sistemik, tapi cenderung berorientasi elektoral dan narsistik. Politik global dijalankan dengan gaya korporasi, di mana negara dilihat seperti brand dan diplomasi dianggap seperti dagangan. Bila cocok, lanjut. Bila rugi, mundur. Semua serba instan, serba simplifikasi, dan kadang terlalu bergantung pada gestur ‘trending’ Twitterisasi.
Dunia politik internasional yang seharusnya didekati dengan ketelitian seperti bedah laboratorium dan ketegasan seperti hakim konstitusi, Trump justru datang dengan kalkulator dagang, pidato penuh hiperbola dan logika yang kadang lebih cocok buat panggung stand-up daripada simposium diplomasi. Pendekatannya pada hubungan internasional berbasis teori realisme klasik atau liberalisme normatif menjadi sesuatu yang bisa disebut: pragmatisme instan dengan bumbu personal dan insting dagang yang tak kenal basa-basi institusional. Bahasa kerennya: transaksionalisasi diplomasi, alias “aku dapet apa kalau aku bantu?”—logika negosiasi yang lebih cocok dipakai di lelang properti ketimbang forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Trump melihat dunia bukan sebagai komunitas bangsa, melainkan sebagai pasar bebas ide dan konflik, tempat ia bisa menjual “America First” dalam kemasan nasionalisme tanpa moderasi. Ia menimbang relasi antarnegara layaknya hubungan antara penjual dan pembeli, di mana loyalitas diukur dengan transfer dana dan diplomasi diproses lewat spreadsheet keuntungan politik. Itulah mengapa, ketika NATO dianggap “nggak balik modal”, ia mulai merengek seperti CEO yang minta diskon, bukan negarawan yang bicara solidaritas pertahanan. Ketika WHO dianggap terlalu “pro-China”, ia mundur sambil melempar kritik seperti pelanggan kecewa di kolom ulasan.
Kalkulasi Trump bukanlah kalkulasi yang lepas dari realitas domestik, melainkan sangat bergantung pada tepuk tangan basis pemilihnya. Ia bukan hanya bermain di pentas dunia, tapi terus mengarahkan lampu sorot ke panggung internal, memastikan setiap manuver globalnya berdampak pada kenaikan survei dan rating popularitas. Kebijakan luar negeri pun menjadi semacam iklan kampanye —kadang keras, kadang konyol tapi selalu penuh strategi dan motivasi elektoral. Isu seperti pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel bukan cuma tentang Israel tapi juga tentang Florida—tempat pemilih evangelis dan pro-Israel tinggal dalam jumlah yang bukan main.
Alih-alih menjembatani nilai-nilai universal (T) justru menjadikan kebijakan luar negeri sebagai refleksi dari narasi domestik yang hiper-nasionalis penuh glorifikasi dan sesekali misinformasi. Diplomasi diubah menjadi arena branding, negosiasi seolah jadi talkshow, dan perjanjian internasional jadi bahan tweet pagi-pagi sebelum kopi. Dunia pun dipaksa mengikuti logika politik yang lebih mirip kalkulus elektabilitas ketimbang strategi kestabilan global. Semua disusun dalam rumus sederhana: bila menguntungkan saya, lanjutkan; bila menyulitkan saya, tinggalkan; bila membingungkan saya, salahkan.
Kerangka seperti inilah, kalkulus Trump menjelma seolah metode hingga pada titik tertinggi tumbuh menjadi paradigma. Ia menunjukkan bahwa hubungan internasional di era pasca-kebenaran bisa dibentuk oleh figur dengan keberanian retorika, kalkulasi ego, dan pemahaman dunia yang dilihat dari jendela Gedung Putih sambil menonton berita dari kanal favoritnya. Dunia menjadi teka-teki, dan Trump hadir bukan untuk memecahkan tapi untuk mengacak —dengan gaya dengan percaya diri, dan tentu saja, dengan kepentingan pribadi yang disulap jadi doktrin kebijakan publik yang penuh dramatisasi.
-Cakal Bakal