Dunia hari ini sedang berdiri pada semacam simpang jalan peradaban, sebuah crossroads yang lebih mirip arena catur multidimensi ketimbang forum internasional yang tertib dan bersahaja. Di satu sisi, kita melihat gemuruh senjata di Eropa Timur, dentuman ego di Asia Timur dan riuh rendah konflik sektarian di kawasan Timur Tengah yang tak kunjung reda. Semua tampak seperti babak baru dari drama politik global yang naskahnya ditulis oleh tangan-tangan kekuasaan tapi juga disutradarai oleh kekacauan. Sistem internasional yang dulunya percaya pada norma, konsensus, dan multilateralisme kini mulai goyah—bukan hanya karena perubahan aktor, tapi juga karena perubahan selera dalam memilih “genre” tata dunia: dari drama kolektif jadi thriller individualistik.
Konflik Rusia-Ukraina seperti pertikaian dua negara yang memperebutkan batas wilayah juga simbol dari dunia yang kembali menggali kuburan Perang Dingin dan menemukan bahwa ternyata kerangka lama itu masih bisa digunakan —asal dipoles dengan propaganda modern. Laut China Selatan, yang dulu hanya peta biru di kelas geografi, kini jadi ladang klaim, kapal perang dan kapal dagang, semua berlomba-lomba membuktikan bahwa laut bisa lebih gaduh dari daratan. Timur Tengah, sebagaimana gaya lamanya, tetap memegang rekor sebagai panggung pertunjukan abadi —di mana peran sebagai korban, penyerang dan penengah bisa saling tukar dalam satu minggu tanpa kehilangan identitas perannya.
Namun juga panggung global tak akan lengkap tanpa menyebut satu nama yang entah mengapa selalu berhasil mencuri sorotan: Donald J. Trump. tak hanya mantan Presiden AS, tapi juga mantan pengacau sistem internasional yang berhasil menyulap kebijakan luar negeri menjadi drama telenovela dengan episode yang tak pernah kehabisan konflik. Ketika pemimpin dunia lain membaca laporan intelijen dan dokumen diplomatik, Trump lebih memilih membaca hasil polling, rating TV dan komentar netizen. Maka jangan heran bila banyak kebijakan luar negeri Amerika di masanya terdengar seperti keputusan yang diambil setelah menonton Fox & Friends, bukan setelah diskusi Dewan Keamanan.
Trump memperlakukan diplomasi seperti seni jual beli yang kadang lebih keras dari pasar loak. Ia melihat NATO sebagai beban, bukan mitra. Ia memandang WHO seperti anak nakal yang harus dihukum, bukan lembaga multilateral yang bisa dibina. Ia menarik diri dari perjanjian iklim Paris, seolah mengatakan: “Bumi boleh panas, yang penting citra saya dingin.” Dan tentu saja, ia berpaling dari multilateralisme dengan gaya khas: bukan dengan debat argumentatif, tapi dengan gestur teatrikal dan gaya retoris setara pidato kampanye.
Pendekatan Trump bukanlah strategi besar yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian. Ia semacam kalkulus politik—rumus kekuasaan berbasis untung rugi jangka pendek. Ia menimbang hubungan luar negeri bukan dengan nilai bersama, melainkan seberapa banyak suara domestik yang bisa diraup dari setiap langkah luar negeri. Yerusalem dijadikan ibu kota Israel bukan hanya untuk menegaskan posisi geopolitik, tapi juga untuk menyenangkan konstituen evangelis di negara bagian kunci. Sanksi ekonomi terhadap China pun bukan semata-mata strategi perdagangan, tapi juga cara mendongkrak popularitas di tengah kegelisahan ekonomi.
Melalui kalkulus inilah dunia terlihat kehilangan pola. Karena ketika pemimpin dunia terkuat mulai beroperasi dengan logika yang lebih cocok untuk permainan catur kilat ketimbang permainan jangka panjang, negara lain pun mulai ragu: apakah kita masih bermain dalam sistem, atau sedang ikut arisan kekuasaan yang bisa bubar sewaktu-waktu? Negara-negara Eropa mulai memperkuat otonomi strategis, ASEAN kerap terjebak dalam dilema antara Amerika dan China, sementara negara-negara di Afrika dan Amerika Latin justru melihat peluang dalam celah ketidakpastian global.
Trump, dalam ketidakterdugaannya justru membuka tabir rapuhnya sistem internasional yang terlalu lama disandarkan pada etika lama. Ketika ia membuat kebijakan lewat cuitan, banyak yang tertawa. Tapi ketika cuitannya berdampak pada pasar, perang dan perdamaian, dunia pun mulai berhenti menertawai dan mulai menghitung ulang semua kalkulasi. Maka jadilah periode ini era ketika kebijakan luar negeri bisa dipengaruhi algoritma media sosial, dan keputusan keamanan bisa dibentuk oleh kalkulasi elektoral.
Bayang-bayang kembalinya ia ke panggung —Jika itu terjadi, maka proyeksi arah politik global bukanlah kembali ke keteraturan, tapi ke zona eksperimentasi ekstrem—di mana setiap perjanjian bisa dinegosiasi ulang, setiap musuh bisa dijadikan mitra, dan setiap mitra bisa dicampakkan dengan retorika spontan. Dunia, dengan segala kedewasaannya, bisa saja kembali jadi arena remaja impulsif—asal drama dan panggungnya tetap ramai.
Apa yang kita hadapi semacam disrupsi struktural juga disrupsi psikologis dalam tata kelola global. Kepercayaan internasional menjadi barang langka, janji diplomatik hanya berlaku sampai pidato selesai dan aliansi menjadi lebih cair dari konsensus akademik. Bahkan PBB, yang dulu jadi simbol penyatuan, kini lebih mirip lembaga mediasi keluarga besar yang kehilangan otoritas di tengah keributan warisan kekuasaan.
Lalu, apakah ini semua hanya terjadi di luar negeri, dan Indonesia bisa duduk manis sambil menyeruput kopi dan menonton dari jauh? Sayangnya tidak semudah itu, Foucault. Indonesia, sebagai negara dengan posisi strategis di Indo-Pasifik, ikut terdampak oleh turbulensi ini. Posisi netral bukan berarti aman, dan sikap tidak memihak tak selalu diterjemahkan sebagai cerdas, tapi kadang dibaca sebagai ragu-ragu. Ketika Laut China Selatan memanas dan AS–China terus bersitegang, Indonesia harus menari di atas batas: cukup dekat untuk berdialog, cukup jauh untuk tidak ditarik.
Skema kalkulus ala Trump ini, negara-negara berkembang seperti Indonesia bukan subjek utama, tapi efek samping. Maka penting bagi kita membangun narasi dan strategi tersendiri agar tidak menjadi korban dari ketidakteraturan global yang diproduksi oleh elit politik yang lebih senang viral daripada rasional. Strategi kebijakan luar negeri Indonesia ke depan harus lebih adaptif dan kreatif, jangan sampai kita hanya jadi penonton di panggung global yang terus berganti genre—dari tragedi ke komedi, hingga absurditas post-truth yang sulit dimengerti.
Indonesia kerap menjadi sasaran rayuan dagang dalam rivalitas Amerika Serikat dan China. bujukan aliansi, hingga tekanan kebijakan. Dalam satu pekan bisa saja ada kapal riset China mampir di perairan Natuna, lalu dalam minggu berikutnya muncul undangan dari Washington untuk memperkuat kerja sama Indo-Pasifik yang katanya damai tapi penuh nuansa kompetisi. Seperti juru masak dalam kompetisi masakan internasional, Indonesia harus bisa menyeimbangkan garam dari satu blok dengan gula dari blok yang lain—jangan sampai kebijakan luar negeri kita terasa hambar atau justru terlalu manis hingga bikin darah tinggi.
Era Trump menandai perubahan pendekatan Amerika terhadap kawasan Asia Tenggara. Bukan lagi pendekatan lembut dengan bunga diplomasi, tapi dengan kalkulasi untung-rugi ekonomi dan narasi “America First” yang mengiris multilateralisme. Indonesia yang dulu dianggap sekutu strategis dalam kerangka ASEAN dan hubungan bilateral, kini lebih sering harus menerjemahkan makna diam Amerika dalam forum internasional—apakah ini strategi diam, atau hanya lupa hadir? Ketika Trump menarik AS dari perjanjian Paris dan memotong dana untuk WHO, Indonesia harus memutar otak: bagaimana tetap menjaga kerja sama global dalam isu lingkungan dan kesehatan, tanpa harus terjebak dalam pertengkaran dua raksasa dunia yang seolah-olah sedang rebutan mainan geopolitik.
Yang lebih menarik lagi, ketika pendekatan transaksional Trump menyebar bak virus ke berbagai belahan dunia, Indonesia juga mulai merasakan gejalanya. Bantuan internasional dikaitkan dengan loyalitas diplomatik, kerja sama militer disyaratkan pada penyesuaian sikap politik. Dalam bahasa gaul diplomasi, ini seperti disuruh ngopi bareng, tapi harus pakai mug bermerek mereka. Di sini lah letak dilemanya: kalkulus politik luar negeri tak lagi berbasis norma, tapi berbasis algoritma kekuasaan —negara seperti Indonesia mestinya cerdik agar tidak ikut terseret ke dalam pusaran arah yang dikendalikan algoritma luar.
Lebih jauh posisi Indonesia sebagai pemimpin de facto di ASEAN pun diuji. Ketika negara-negara tetangga mulai menunjukkan kecenderungan memihak, entah kepada kekuatan lama atau kekuatan baru, Indonesia dituntut tetap tegak berdiri dengan kepala dingin dan kalkulasi jernih. Namun, seiring masuknya investasi infrastruktur dari China lewat jalur Belt and Road Initiative, dan meningkatnya kerja sama pertahanan dengan AS dan mitra barat lainnya, Lalu bagaimana pemerintah merespons? Di permukaan, diplomasi Indonesia terlihat santun dan konsisten. Kita menekankan prinsip non-intervensi, penghormatan terhadap hukum internasional, dan komitmen terhadap perdamaian. Namun di balik itu, jelas ada upaya keras untuk memperkuat pertahanan nasional, diversifikasi mitra strategis dan mempertebal cadangan diplomasi. Pemerintah sadar bahwa di dunia yang penuh pergesekan ini, bersikap netral bukan berarti berdiam tapi (khusnudzonnya) berarti punya kemampuan untuk bermanuver tanpa tergelincir. Karena jika kita tidak pintar menavigasi, bisa saja kita jadi korban dari ketegangan besar yang tidak kita ciptakan, tapi kita telan dampaknya.
Contoh konkret, konflik Laut China Selatan yang kian memanas berpengaruh langsung pada keamanan maritim Indonesia. Pemerintah memperkuat patroli, menggandeng mitra internasional untuk latihan militer dan menyusun dokumen strategis keamanan kawasan yang lebih realistis. Di ranah ekonomi, Indonesia mulai mempererat kerja sama dengan Uni Eropa dan Jepang untuk mengurangi ketergantungan pada satu blok tertentu. Sementara di bidang teknologi dan keamanan siber—yang kini juga menjadi arena konflik geopolitik baru —Indonesia (khusnudzonnya lagi) mesti membangun kerangka hukum dan kerja sama internasional agar tidak dijadikan ladang percobaan perangkat lunak dari pihak mana pun.
Atas semua ini, satu hal menjadi jelas: dunia yang bergerak dalam kerangka kekacauan terencana, Indonesia tidak bisa hanya bertahan, tapi harus belajar menari. Menari di antara kutub kekuasaan, menari di atas badai konflik, dan menari di panggung dunia dengan penuh martabat tanpa kehilangan pijakan. Sebab meskipun suara kita tidak selalu paling nyaring, langkah kita harus paling bijak dalam menghadapi dunia yang kadang lebih mirip sandiwara daripada sistem yang benar-benar mapan.
Sedikit hipotesis tulisan ini berangkat dari premis bahwa dunia saat ini sedang mengalami remuk redam yang terorganisir, ketegangan yang dimainkan oleh para aktor global dengan komposer bernama kepentingan. Bahwa perubahan dinamika geopolitik global bukan semata hasil gesekan geografis, tapi lebih sebagai produk dari pertarungan kalkulatif antara ambisi nasional, konflik regional dan tentu saja, gaya transaksional yang penuh sensasi dari seorang Trump yang lebih suka menegosiasikan perdamaian di Twitter ketimbang dalam sidang Dewan Keamanan. yang bukan lagi sekadar peta politik, melainkan peta tekanan, di mana setiap konflik adalah koordinat dan setiap keputusan adalah kalkulus yang berdampak luas —serius tapi absurd, terukur tapi kadang seperti tebak-tebakan negara mana yang kena giliran.
Efek domino dari drama ini tentu tak bisa dihindari oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Posisi kita bak pemain tengah di lapangan sepak bola global yang bolanya dilempar dari kiri ke kanan, dari Washington ke Beijing. Sebagai negara nonblok yang mengaku bebas aktif (walaupun kadang lebih aktif di forum regional ketimbang forum internasional), Indonesia harus pandai mengatur langkah, agar tidak terseret dalam dilema geopolitik yang bisa bikin kaki keseleo. Kita bukan hanya diapit oleh kekuatan ekonomi dan militer, tapi juga dihadapkan pada narasi ideologis yang memaksa untuk memihak tanpa berkata pihak. Strategi Indonesia? Tentu saja: senyum diplomasi, konsolidasi pertahanan, dan diversifikasi mitra dagang dengan gaya seperti sedang menjaga hubungan baik dengan dua mantan yang masih saling cemburu. Terlebih di kawasan Indo-Pasifik dan Laut China Selatan, dinamika geopolitik menjadi ujian konkret. Ketika AS menawarkan kerja sama Indo-Pacific Strategy dan China datang membawa Belt and Road Initiative dengan iming-iming infrastruktur, Indonesia tampaknya harus jadi juru damai sambil tetap memperkuat kapal patroli. Memperkuat forum multilateral seperti ASEAN (yang kadang terlalu sopan hingga lupa bersuara), dan memastikan bahwa kedaulatan laut bukan hanya wacana, tapi juga punya kapal dan awak yang nyata.
-Cakal Bakal