Disclaimer: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis yang bersifat analisis sosial-politik. Segala istilah yang digunakan, termasuk metafora atau ungkapan satiris, tidak ditujukan kepada individu, kelompok, atau lembaga tertentu secara spesifik. Artikel ini murni bertujuan untuk mendorong diskusi publik mengenai kemandirian gerakan mahasiswa dalam konteks demokrasi dan dinamika politik Indonesia.
Gerakan mahasiswa pernah menjadi motor perubahan bangsa. Dari ruang-ruang diskusi, jalanan, hingga gelanggang sejarah, mahasiswa selalu tampil sebagai garda terdepan dalam menegakkan idealisme. Seperti yang diucapkan oleh bapa republik Indonesia “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Maka dari itu kita seharusnya berdiri independen dalam menentukan arah organisasi, bersikap kritis terhadap eskalasi politik baik di daerah maupun nasional, serta bebas menyalurkan kreativitas untuk menyusun visi, misi, dan strategi pergerakan. Dengan begitu, mahasiswa bisa hadir sebagai pelaku sejarah yang ikut andil dalam perjuangan bangsa.
Namun, realitas hari ini sungguh jauh berbeda. Kemandirian itu seakan hilang dalam tubuh, napas, dan langkah gerakan mahasiswa. Idealisme yang dulu kokoh, kini pudar digantikan oleh sikap pragmatis. Yel-yel penyemangat api perjuangan “Dzikir, Pikir, Amal Soleh”, “Yakin Usaha Sampai”, “Hidup mahasiswa, hidup rakyat!” yang seharusnya membakar semangat perjuangan, kini terdengar hambar bak ibarat suara kentut yang tak berbau, tak terasa, dan tak berjejak. Gerakan yang lahir dari cita-cita luhur justru terjebak dalam rutinitas acara, orasi formalitas, hingga basa-basi meminta izin kepada para elite yang dulu seharusnya mereka lawan.
Lebih menyedihkan lagi, intervensi politik semakin nyata. Mahasiswa tak lagi tegak berdiri di atas kaki sendiri. Banyak yang justru terjebak dalam tarik-menarik kepentingan oligarki, menjadi kepanjangan tangan para “pelacur parlemen” yang menukar idealisme dengan kepentingan sesaat. Kreativitas yang seharusnya lahir dari kemandirian berubah menjadi sekadar seni menjilat, seni mengolah kata untuk menyenangkan para elite yang haus kuasa dan harta.
Pertanyaannya, ke mana arah gerakan mahasiswa hari ini? Apakah mereka akan terus larut dalam jebakan pragmatisme, atau kembali menemukan jalan perjuangan sejati?
Jawabannya ada pada keberanian untuk kembali pada kemandirian sejati. Rasakan kembali lapar, pahami penderitaan rakyat, dan sadari bahwa mahasiswa pun lahir dari rahim kemiskinan. Seperti quote dari Tan Malaka terbentur-terbentur-terbentur dan terbentuklah wujud. Stop saling sikut hanya demi kedekatan dengan elit politik yang memperkaya diri lewat APBN dan APBD. Marilah kita sadar bahwa Indonesia tidak butuh gerakan yang tunduk pada oligarki, melainkan membutuhkan kreativitas mahasiswa yang lahir dari kejujuran, keberanian, dan kepedulian.
Gerakan mahasiswa bukan sekadar event atau orasi kosong. Ia harus kembali menjadi ruang pencarian makna, ruang kerja-kerja nyata, dan ruang sejarah yang mengantarkan bangsa ini pada perubahan. Jika tidak, mahasiswa hanya akan menjadi catatan kaki dalam sejarah-sekadar penonton dalam panggung kekuasaan yang dikuasai oligarki.