Haji: Dari Kepompong Spiritual Menuju Perlawanan Sosial

Ribuan jamaah mengenakan ihram putih melaksanakan thawaf mengelilingi Ka’bah di Masjidil Haram, Mekkah. Ibadah haji adalah puncak perjalanan spiritual dalam Islam. Ia bukan sekadar ziarah fisik, tetapi sebuah pencelupan jiwa ke dalam fitrah manusia yang paling jernih. Di hadapan Ka’bah, segala atribut duniawi ditanggalkan: status sosial, jabatan, bahkan nama. Yang tersisa hanyalah satu: seorang hamba yang berdiri telanjang di hadapan Tuhannya.

Namun hari ini, makna itu terasa mulai kabur. Banyak yang menjalani haji seperti ajang prestise. Ia disambut dengan gelar “Pak Haji”, tetapi revolusi dalam jiwanya tak tampak. Foto dan oleh-oleh dibawa pulang, tapi kesadaran dan pembaruan batin justru tertinggal. Padahal, haji seharusnya menjadi kepompong spiritual—ruang sunyi tempat jiwa berpuasa dari dunia, agar kelak lahir kembali sebagai manusia baru.

Ali Syariati dalam bukunya Haji menegaskan bahwa ibadah ini bukan sekadar ritual, tapi perjalanan ideologis. Di sinilah seseorang diajak menyaksikan kembali sejarah para nabi, terutama Ibrahim dan Muhammad, dalam satu panggung besar yang disebut Tanah Haram. Dari langkah kaki hingga bacaan-bacaan, semua menyimbolkan pemutusan total dari berhala—baik yang tampak maupun yang tak kasatmata.

Musuh umat hari ini, kata Syariati, seringkali menyelinap diam-diam dalam struktur kehidupan modern. Ia tidak datang dengan wajah perang, tetapi menjelma dalam bentuk sistem ekonomi yang timpang, budaya konsumtif, politik yang membius, bahkan pendidikan yang memisahkan akal dari spiritualitas. Kita hidup di zaman di mana politeisme tidak lagi menyembah patung, melainkan ide-ide yang mendewakan dunia.

Rasulullah bersabda:

“Dua perkara yang tiada tandingannya dalam kebaikan: tauhid dan memberi manfaat bagi manusia. Dan dua hal yang tiada tandingannya dalam keburukan: syirik dan mencelakakan manusia.” (HR. Thabrani, hadis Hasan)

Tauhid, dalam makna paling murni, adalah keberpihakan mutlak kepada kebenaran. Ia tidak membiarkan manusia tunduk kepada selain Allah—baik itu uang, jabatan, negara, maupun ego. Maka, haji adalah proses dekonstruksi dari segala ketundukan palsu, sekaligus rekonstruksi ulang spiritualitas yang utuh dan merdeka.

Rangkaian manasik pun menjadi perjalanan simbolik sekaligus praksis perubahan. Di Arafah, manusia diminta untuk diam dalam renungan. Di Muzdalifah, ia bermalam bersama alam, memungut kerikil yang bukan hanya batu, tetapi niat. Dan di Mina, ia melempar jumrah: membidik setan yang kini berbentuk media yang memanipulasi, sistem yang memiskinkan, atau bahkan cinta dunia yang membutakan. Haji adalah latihan ideologis sekaligus deklarasi perlawanan.

Namun ujian sesungguhnya bukanlah di tanah suci, melainkan setelah pulang. Seberapa besar haji mengubah relasi kita dengan dunia? Apakah kita masih tunduk pada kemewahan? Ataukah kini lebih berani bersikap adil, meski kepada diri sendiri?

Jutaan orang berhaji setiap tahun. Tapi pertanyaannya bukan sekadar: “berapa banyak yang pergi?”, melainkan:

“berapa banyak yang pulang sebagai manusia baru—yang menyala dan menyulut perubahan?”

Jika engkau telah menyentuh Ka’bah, genggamlah pula tanggung jawab sejarah. Jika engkau telah melempar jumrah, lempar pula berhala dalam dirimu. Dan jika engkau telah menyelesaikan thawaf, orbitkan hidupmu di sekitar Tuhan—bukan dunia.

Dunia hari ini terlalu kacau untuk kita hanya menjadi penonton. Ia perlu dilawan, habis-habisan.

Dengan tauhid. Dengan keberanian. Dengan perubahan nyata.

Beranikah kita benar-benar menjadi manusia baru?

 

-hilmimuu