Iran dan Israel: Perang yang Tak Pernah Usai

Dunia, seperti biasa, terkejut. Seolah-olah sejarah tak pernah mengajarkan bahwa di kawasan Timur Tengah, kejutan hanyalah kelanjutan dari yang lama, mengulang kembali darah dan dendam yang tak pernah selesai. Beberapa waktu lalu, ada serangan tiba-tiba dan sengaja dari udara Israel menghantam fasilitas strategis Iran di Natanz dan pos komando Korps Garda Revolusi Iran—IRGC. Serangan yang tak lagi bersayap proksi, tak lagi lewat jalur-jalur rahasia di Yaman, Suriah, atau Lebanon.

Untuk pertama kalinya, dua musuh lama ini membuka tirai dan saling hantam di panggung utama.

Iran, sebagaimana bisa diduga, tak tinggal diam. Ratusan drone dan rudal ditembakkan ke jantung negeri Israel. Ini bukan lagi kabar tentang ledakan kecil di pinggiran Damaskus atau pengiriman senjata ke milisi Hizbullah. Ini pertempuran langsung, terang-terangan. Dunia tercengang, terengah-engah, mungkin bertanya: sampai di mana ini akan berujung?

Tentu, di balik semua dentuman ledakan itu, ada yang lebih menyakitkan. Kengerian anak-anak yang bersembunyi di tempat perlindungan. Tangis yang tak sempat disiarkan televisi. Para ibu yang menanti kabar di rumah sakit lapangan. Seperti dikatakan Yuval Noah Harari, “Kekerasan hanya tampak rasional di mata para dewa politik, yang tak mengenal rasa sakit manusia biasa.” Konflik ini, betapapun dikemas dengan dalih “keamanan nasional” atau “pertahanan eksistensial”, adalah tragedi orang-orang kecil yang tak masuk hitungan meja perundingan.

Israel berdalih: ini soal kelangsungan hidup. Iran, negeri para mullah yang sejak Revolusi 1979 menempatkan penghancuran Israel sebagai bagian dari doktrin resminya, dianggap ancaman abadi. Program nuklir Iran selalu dituduh sebagai siasat untuk menciptakan senjata pemusnah massal. Kecurigaan ini mengakar, tak bergeming meski berkali-kali Teheran membantah.

Sebaliknya, bagi Iran, Israel adalah “setan kecil”, penjajah tanah suci, sekutu utama Amerika Serikat yang mereka benci setengah mati. Setiap langkah Israel di kawasan dipandang sebagai ancaman terhadap dunia Islam. Maka semua serangan dibungkus dalam semangat jihad, pembebasan, perjuangan melawan zionisme.

Dua narasi ini tak bisa bertemu. Bahkan setelah puluhan tahun, dialog hanyalah topeng. Seperti kata Edward Said, “Orang-orang di Timur Tengah tak bicara satu sama lain; mereka bicara lewat senapan.”

Apa yang membedakan konflik ini dari masa lalu adalah keterbukaannya. Dulu, perang ini mengalir melalui saluran perang proksi—kelompok Syiah di Irak, milisi di Lebanon, pasukan di Suriah. Kini tidak lagi. Dua negara itu—negara yang memegang kekuatan militer sejati—langsung beradu. Keterbukaan ini membuat risiko meluasnya konflik menjadi nyata. Amerika Serikat sudah menyatakan dukungan penuh untuk Israel. Rusia dan China, dua kekuatan dunia yang tak ingin Barat terlalu leluasa di Timur Tengah, condong ke Iran.

Ini bukan sekadar pertempuran dua negara. Ini bisa menjadi simpul baru dalam Perang Dingin baru, ketika blok-blok besar dunia kembali berhadap-hadapan.

Mengapa Timur Tengah, wilayah yang melahirkan tiga agama besar dunia, justru menjadi ladang kekerasan paling subur di planet ini? Mengapa iman, yang semestinya menumbuhkan kasih sayang, melahirkan kebencian yang panjang?

Beberapa pengamat menyebut akar sejarah: luka lama sejak perang Arab-Israel 1948, sejak pengusiran Palestina, sejak kemenangan Israel dalam Perang Enam Hari. Yang lain melihat doktrin keagamaan: semangat syahid di Iran, keyakinan kaum zionis bahwa Tanah Israel adalah warisan abadi. Ada pula yang menunjuk ekonomi—perebutan minyak, perdagangan senjata, kekuasaan regional.

Tetapi seperti dicatat Bernard Lewis, masalah utamanya barangkali adalah “rasa malu peradaban.” Dunia Islam, tulisnya, merasa terpukul melihat kejatuhan kejayaan masa silam: Baghdad, Damaskus, Kairo, semua pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan. Kini yang datang dari Barat hanyalah kekuatan militer, teknologi, dan dominasi. Dalam rasa minder itulah lahir gerakan-gerakan keras, ideologi perlawanan, dan mimpi-mimpi balas dendam.

Israel pun hidup dalam trauma lain: Shoah, Holocaust. Negeri kecil ini dibangun oleh kaum Yahudi yang berhasil lolos dari kebinasaan massal di Eropa. Mentalitas pengepungan, paranoia kolektif, membentuk setiap keputusan politik dan militernya. Bagi banyak warga Israel, ancaman Iran bukan ilusi. Ia bisa jadi hantu sejarah yang menyeruak dari kamp-kamp konsentrasi Auschwitz.

Walhasil, dari dua trauma itu—rasa malu peradaban dan ingatan Holocaust—bertemu di medan perang. Dua bangsa yang sama-sama takut dihancurkan justru saling menghancurkan.

Eric Hobsbawm pernah menulis: “Abad ke-20 adalah abad kekerasan.” Tetapi rupanya, abad ke-21 masih mewarisi luka yang sama. Bedanya, kini rudal bisa melintasi ribuan kilometer, drone bisa terbang sendiri tanpa awak, dan senjata nuklir—si hantu tak terlihat—menunggu di latar belakang.

Apakah masih ada harapan? Para diplomat mungkin berkata: “Selalu ada jalan damai.” Tetapi jalan itu makin sempit dan terjal. Di Israel, pemerintah sayap kanan menguat. Di Iran, kelompok militer seperti IRGC kian berkuasa. Moderasi, seperti biasa, tenggelam di antara teriakan keras para fanatik.

Yang menarik, rakyat kedua negeri ini sering berpikir lain. Banyak anak muda Iran, menurut survei yang dilakukan di Teheran dan Isfahan, sebenarnya muak pada perang, pada embargo, pada keterasingan dari dunia. Di Israel pun muncul suara-suara jenuh—kebosanan terhadap ketakutan abadi, terhadap sirene peringatan, terhadap ancaman kematian.

Namun suara-suara ini parau, tenggelam di balik raungan jet tempur. Dunia tetap berputar dalam kejamnya realisme politik.

Konflik ini mungkin akan reda, untuk sementara. Para jenderal mungkin akan menandatangani gencatan senjata tak resmi. Tetapi seperti bara dalam abu, dendam ini akan tetap menyala. Selama kedua bangsa ini tak menghapus trauma sejarah mereka—atau setidaknya mau berbicara tentangnya tanpa senjata—perang ini akan lahir kembali. Dalam bentuk baru. Dalam medan baru. Dalam generasi baru.

Mungkin inilah yang membuat Timur Tengah berbeda dari kawasan lain: di sini sejarah bukan masa lalu, melainkan hantu yang hidup. Ia duduk di kursi rapat kabinet. Ia hadir di pidato-pidato pemimpin. Ia berjalan di pasar-pasar yang lengang setelah serangan.

Dan dunia? Dunia menonton. Dunia mengecam. Dunia mengirim utusan. Tapi dunia juga menunggu, seperti penonton pertunjukan yang tahu lakon ini belum selesai.

Lalu, siapa yang menang dalam semua ini? Tak ada. Atau mungkin, dalam perang, yang menang hanyalah kematian.

 

-Ezra