Politik, Martir, dan Memori Islam
Peristiwa wafatnya al-Husain bin Ali di padang Karbala bukan sekadar luka sejarah, tapi juga sebuah simpul tragis dalam perjalanan Islam yang memperlihatkan benturan antara kekuasaan politik dan nilai-nilai kenabian. Di sanalah benturan antara kekuasaan Umayyah yang semakin otoriter dan keluarga Nabi menemukan klimaksnya—sebuah momen yang kelak dikenang dengan air mata, marah, dan kesadaran moral yang membara.
Semua bermula ketika Husain menerima surat-surat dukungan dari penduduk Kufah. Mereka menyatakan kesetiaan dan kesiapan mengangkat Husain sebagai pemimpin untuk menantang legitimasi Yazid bin Muawiyah, khalifah yang naik tahta melalui jalur warisan politik ayahnya, Muawiyah bin Abi Sufyan. Dalam spirit amar ma’ruf dan memperbaiki umat, Husain memutuskan untuk hijrah menuju Kufah bersama keluarga dan sahabat-sahabat terdekatnya.
Namun rencana itu segera sampai ke telinga Yazid. Dalam manuver cepat, ia mencopot gubernur Kufah yang dianggap lunak, dan menggantinya dengan Ubaidillah bin Ziyad, seorang aparat bengis yang terkenal licik. Kepadanya diberikan instruksi jelas: cegah Husain sampai titik darah penghabisan. Maka dikerahkanlah pasukan besar yang dipimpin oleh Umar bin Saad bin Abi Waqqas, untuk menghadang rombongan kecil Husain yang tak lebih dari 70-an orang.
Puncaknya terjadi di Karbala, pada tanggal 10 Muharram 61 H. Rombongan Husain dikepung, diisolasi dari air, lalu dibantai tanpa belas kasih. Tubuh cucu Nabi itu tergeletak berlumur darah, kepalanya dipenggal, sementara perempuan dan anak-anak keluarganya ditawan dan dibawa ke istana kekuasaan. Tragedi ini menciptakan luka yang tak pernah betul-betul sembuh dalam jiwa umat Islam, terutama kalangan pecinta Ahlul Bait.
Dari titik inilah muncul transformasi sosial dan budaya yang signifikan. Perasaan marah, trauma kolektif, dan duka mendalam terhadap kekejaman yang menimpa Ahlu Bait melahirkan resistensi kultural yang mengakar.
Setelah tragedi Karbala, para pengikut Ahlul Bait—kelak disebut Syiah—mengalami letupan emosional yang sangat besar. Duka dan amarah tak hanya diarahkan pada penguasa Umayyah, tapi juga menimbulkan ketegangan di tubuh mereka sendiri. Salah satu yang jadi persoalan besar adalah soal siapa imam yang menggantikan posisi Husain. Sebagian besar Syiah sepakat bahwa Ali Zainal Abidin, putra Husain yang selamat dari Karbala, adalah imam yang sah. Namun, di sisi lain, muncul sosok karismatik bernama Mukhtar ats-Tsaqafi, seorang loyalis garis keras Husain yang tidak puas dengan hanya meratapi tragedi—ia ingin membalas dendam. Dengan mengklaim dukungan dari Muhammad bin Ali al-Hanafiyah, putra Ali dari istri lain, Mukhtar mendeklarasikan diri sebagai pemimpin perjuangan dan menggerakkan revolusi atas nama Ahlul Bait.
Dari gerakan ini lahirlah pecahan Syiah bernama Kaisaniyah, sebuah kelompok yang
percaya bahwa kepemimpinan bukan semata ditentukan oleh darah keturunan, tapi oleh visi perlawanan. Mukhtar lalu memimpin pasukan yang memburu satu per satu orang yang terlibat dalam pembantaian Karbala—ʿUmar bin Sa’d, Syimr, dan para algojo lainnya dibunuh tanpa ampun. Al-Mas’udi mencatat dalam Muruj adz-Dzahab: “Tidak ada seorang pun dari musuh-musuh Husain yang terlibat, kecuali diburu dan dibunuh oleh Mukhtar.” Dari sini, bisa kita lihat bahwa luka Karbala tak hanya melahirkan tangisan, tapi juga percikan-percikan revolusi yang membentuk arah baru sejarah Islam, di mana darah dan makna dipertarungkan bersamaan.