Saat asyik membaca koran Pikiran Rakyat bertajuk “Komnas HAM: Bangun Ruang Dialog Antarumat”, yang mengulas soal pengusiran dan pembubaran paksa retret remaja Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, tiba-tiba seorang kawan datang dan berkomentar,
“Sudah nggak nulis lagi tentang konflik atas nama agama, ya?”
Kujawab singkat, “Masih!”
“Kirain udah nggak berani nulis, soalnya sensitif. Jabar masih juara kekerasan atas nama agama, kan?”
Hening sejenak. Justru pikiranku melayang pada buku Agama & Konflik Sosial: Studi Pengalaman Indonesia karya Prof. Afif Muhammad, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Buku jadoel itu kembali mengingatkanku konflik bernuansa agama tak pernah benar-benar selesai, hanya berpindah bentuk, geser dikit dan kadang muncul dalam wajah yang lebih halus, tapi tetap melukai kemanusiaan dan hati nurani.
Dinamika Kekerasan
Tindakan kekerasan bukan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan. Maraknya aksi terorisme, radikalisme, fundamentalisme ini disebabkan ketidakberdayaan agama menghadapi tantangan industri dan globalisasi sekaligus tercerabutnya unsur keibuan (cinta, kasih sayang, tolong menolong) pada agama diakibatkan dari ganasnya arus modernitas.
Biasanya para penganut radikal ini memiliki watak hitam-putih, non-kompromi, dan cenderung menolak kebenaran dari pihak lain; sesudah cita-cita untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara mengalami kegagalan; mengalami kekecewaan, kegagalan dan frustasi akibat perkembangan sosio-politik yang membuat mereka termarginalkan; kesenjangan ekonomi, hukum; ketidaksiapan sebagian anggota masyarakat untuk mengikuti perubahan zaman (globalisasi dan industrialisasi) semakin cepat terjadi; bacaan buku-buku karya Maududi, Quthb, M. Albahi, Al-Ghazali. Ini semua dapat membangkitkan perasaan benci, permusuhan terhadap Barat dengan segala produknya (kapitalis).
Pada dasarnya yang melahirkan kekerasan adalah rantai-rantai peradaban. Alih-alih melahirkan perdamaian dan memeratakan keadilan, industrialisasi dan globalisasi justru menciptakan kekerasan dan penindasan. Persaingan akan mendorong pihak yang lemah untuk mempertahankan diri, dan jika keadilan tetap tidak dapat diwujudkan dengan cara damai, maka kekerasan pun akan muncul. Walhasil yang sebenarnya menciptakan kekerasan adalah ketidakadilan itu sendiri yang mewujud dalam bentuk lain.
Johan Galtung, membedakan antara kekerasan yang bersifat personal (pemukulan, perampokan, peperangan) dan struktural (ketidakadilan, ketidakmerataan, atau struktur vertikal dan asimetris). Meskipun, tak dapat dinafikan kekerasan personal merupakan reaksi atas kekerasan struktural.
Padahal Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, toleran dan tidak menyukai kekerasan. Karakter ini melekat pada bangsa Indonesia karena sejak dulu kala mereka adalah bangsa yang majemuk, baik dalam suku, bahasa, maupun kebudayaan. Menurut Wertheim dengan karakternya itu bangsa Indonesia berkembang menjadi bangsa yang, memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap nilai-nilai dari luar tanpa harus meninggalkan nilai-nilai asli mereka.
Toleransi bangsa Indonesia akan tampak sangat jelas jika seseorang melihat beragamnya agama yang ada di negeri ini. Semua agama besar yang hidup di Indonesia memiliki akar sejarah yang kuat, dan masing-masing telah memberikan sumbangan yang tak ternilai harganya dalam membentuk karakter budaya bangsa.
Memang dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia telah mengalami berbagai konflik, baik yang berkaitan dengan perbedaan etnis maupun ideologi. Dalam skala tertentu, konflik-konflik tersebut dapat mengganggu stabilitas nasional dan pada giliranya menjadi penghambat program-program pembangunan. Di sini pemerintah dituntut untuk mengambil peran aktif dalam menangani keragaman-keragaman tersebut agar tidak melahirkan konflik yang merusak tatanan masyarakat dan mengancam persatuan bangsa.
Sebagai konsekuensi dari penerimaan terhadap agama-agama yang beragam, bangsa Indonesia harus menghadapi perselisihan. Karenanya mereka dituntut untuk terus menerus mencari upaya dalam menciptakan kerukunan dan harmoni yang menjadi syarat persatuan bangsa. Corak-corak pemahaman dan pengamalan ajaran keagamaan yang dipandang sebagai sumber konflik.
Jejak Konflik
Kerusuhan yang muncul sesudah tahun 1965 yang menjadi bukti bagi menegangnya hubungan antar umat beragama, diantaranya; perusakan gereja-gereja di Makassar (1967), Slipi, Jakarta (1969), Pulau Banyak, Aceh (1969), Peristiwa Flores (1969), Peristiwa Donggo, Sumbawa Timur (1969), Rumah Sakit Bukit Tinggi (1970), Gedung Katolik Tarakanita, Jakarta (1975). Perusakan itu terjadi sesudah kaum Muslimin mengajukan berbagai protes, tapi kurang mendapat tanggapan yang memuaskan. Di mata M. Natsir, perasaan tidak berdaya (feel of powerless) akhirnya terakumulasi dan meledak dalam bentuk perusakan-perusakan.
Kekerasan dari 1966 sampai 1985 adalah periode sejarah Indonesia yang diisi dengan konflik antarumat beragama dalam bentuk perusakan sarana peribadatan dan fasilitas-fasilitas sosial, di samping itu kerusuhan etnis dan ketegangan ideologis. Konflik-konflik yang terjadi pada periode ini adalah konflik yang paling eksplosif dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia, dan rezim Orde baru berhasil meredamnya dengan memberlakukan Undang-undang Keormasan yang menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial dan politik di Indonesia. Sayangnya, ini diikuti dengan kebijakan yang memberi tekanan kuat pada stabilitas, sehingga membungkam demokrasi.
Pada penghujung abad ke-20, peristiwa serupa seakan bangkit kembali yang terjadi di Timor Timur, Situbondo, Kalimantan, dan Tasikmalaya. Ini tidak didahului oleh aktivitas-aktivitas penyebaran agama tertentu di kalangan pemeluk agama lain. Juga bukan dilatarbelakangi oleh pendirian tempat ibadah di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas Muslim, tetapi dipicu oleh peristiwa-peristiwa yang sebenarnya kurang ada sangkut-pautnya dengan agama.
Kalau pun ada, lazimnya merupakan kasus kecil, yang seakan-akan dijadikan alasan bagi pelampiasan ketidakpuasan, seperti yang terjadi di Rengasdengklok. Sungguh tidak adanya faktor agama yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa itu, tapi ditengarai berasal dari kesenjangan sosial.
Tingginya angka kekerasan di Bumi Pertiwi ini, seakan-akan membuktikan teori bahwa heterogenitas agama dalam suatu negara merupakan faktor disintegratif yang dapat mengancam persatuan bangsa, sedangkan homogenitasnya merupakan jaminan bagi terciptanya persatuan.
Ingat, semua agama mengajarkan akan perdamaian, persaudaraan dan keselamatan, tetapi pada kenyataanya seringkali para pemeluk agamanya memperlihatkan pengalaman yang bertentangan. Di sini, agama yang semula mengajarkan perdamaian, seakan berubah menjadi salah satu faktor penyebab konflik dan permusuhan.
Membangun Dialog
Dari sebuah studi kasus keberagamaan dan keragaman Indonesia kontemporer. Kita mampu melihat akar-akar konflik secara jernih dan Afif Muhammad telah menawarkan solusi untuk Indonesia. Caranya, supaya Nusantara ini tetap menyandang “meeting place of world religions” para pemeluk agama memikul tanggung jawab bersama dalam merealisasikan ajaran agama dalam kehidupan sosial. Dalam hubungan ini dialog-dialog antar agama, semestinya dikembangkan menjadi dialog antar kebudayaan.
Dewasa ini dialog antara umat beragama masih mengalami banyak hambatan. Para pemeluk agama-agama masih saling memandang dalam sorot mata bermusuhan. Agama yang secara kuantitatif merasa dirinya minoritas, menganggap yang mayoritas sebagai ancaman. Sebaliknya, yang mayoritas merasa dirinya, secara teknis, sebagai minoritas, dan karena itu merasa mendapat ancaman proselitas.
Dalam kasus seperti ini, perlu dipertanyakan, apakah fenomena kekerasan yang ditimbulkannya itu merupakan pertentangan agama ataukah pertentangan dalam bidang lain. Berdampingan dengan konflik antara pengikut agama-agama, muncul pula konflik yang bersumber dari kesenjangan dan kecemburuan sosial. Karena itu, pada akhirnya, konflik yang muncul sebagai konflik agama, harus diatasi dengan penanganan masalah-masalah sosial ekonomi. (Afif Muhammad :5, 13-16, 32-35, 41-42, 46-48, 51).
Absennya, penguasa dalam memupus pelaku tindakan kekerasan ini menjadi bukti pemimpin untuk tetap melanggengkan kekerasan secara struktural. Ini diyakini oleh Johan Galtung, aktivis perdamaian asal Norwegia. Kendati perlu dibedakan antara kekerasan yang bersifat personal (pemukulan, perampokan, peperangan) dan struktural (ketidakadilan, ketidakmerataan, atau struktur vertikal dan asimetris). Namun, ujung-ujungnya tak dapat dinafikan kekerasan personal merupakan reaksi atas kekerasan struktural. (Johan Galtung, 1980:68)
Bila kekerasan dilakukan pemegang kebijakan, maka akan terjerumus pada spiral kekerasan. Ini yang diramalkan oleh Dom Helder Camara, seorang aktivis anti kekerasan dari Brazilia, mewartakan “Ketika kekerasan susul-menyusul silih berganti, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan”
Dalam liputan bertajuk “Intoleransi Terjadi Lagi, Bagaimana Masa Depan Kerukunan Beragama di Jabar?” Intoleransi untuk kesekian kalinya terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Daerah ini punya pekerjaan rumah besar terkait toleransi.
Kasus ini terjadi setelah rumah milik Maria Veronica Nina (70) di Desa Tangkil digunakan untuk retret dan ibadah keagamaan diikuti 36 anak dan pendampingnya, Jumat (27/6/2025) siang.
Rupanya aktivitas ini memicu reaksi sejumlah warga yang melapor kepada Kepala Desa Tangkil, meminta klarifikasi kepada pemilik rumah. Namun, karena klarifikasi tidak mendapat respons, warga dari Desa Tangkil dan Desa Cidahu bertindak sendiri. Mereka mendatangi rumah tersebut, merusak sejumlah fasilitas, dan melakukan intimidasi terhadap peserta retret. Peristiwa ini menambah daftar panjang kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Jawa Barat.
Menurut laporan Setara Institute yang dirilis pada 11 Juni 2024, sepanjang 2023 terdapat 47 kasus pelanggaran KBB di Jawa Barat, tertinggi secara nasional dari total 217 peristiwa serupa di seluruh Indonesia. Bentuk pelanggaran yang terjadi antara lain penolakan pendirian rumah ibadah, pembubaran kegiatan ibadah, perusakan fasilitas, hingga tindakan intoleransi terhadap kelompok keagamaan tertentu.
Untuk kasus serupa sebelumnya tercatat di berbagai wilayah di Jawa Barat. Pada April 2023, misalnya, Pemerintah Kabupaten Purwakarta menyegel sebuah gereja karena alasan perizinan. Di Kota Cirebon, pada November 2024, warga menolak pendirian gereja di Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk. Pada Maret 2025, penggunaan Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik oleh umat Paroki Odilia Bandung diprotes oleh sekelompok massa.
Memupuk Toleransi
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menegaskan bahwa faktor paling krusial dalam membangun ekosistem toleransi adalah kepemimpinan politik. “Kalau tidak ada kepemimpinan, tidak akan ada apa-apa dalam menjaga toleransi,” ujarnya.
Saat badai intoleransi terjadi di Kabupaten Sukabumi, daerah tetangga Kota Sukabumi justru mencatatkan hal sebaliknya. Kota Sukabumi mencatat prestasi positif dalam membangun kehidupan keagamaan yang harmonis. Kota ini kembali masuk dalam 10 besar daerah paling toleran di Indonesia versi Setara Institute tahun 2025, dengan skor 5,968, naik dua peringkat dari posisi ke-8 pada 2023 menjadi posisi ke-6 secara nasional.
Penilaian ini didasarkan pada empat variabel utama: regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi sosio-keagamaan. Kota Sukabumi dinilai berhasil menjaga keseimbangan antara kebijakan pemerintah dan praktik sosial yang mendukung nilai-nilai toleransi. (Kompas, 03 Juli 2025)
Peristiwa pembubaran retret remaja Kristen di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, menjadi pengingat betapa pentingnya mengelola perbedaan secara bijak dalam masyarakat majemuk. Dalam kehidupan berbangsa yang plural, perbedaan seharusnya tidak dijadikan sumber konflik, melainkan dipahami sebagai kekayaan yang perlu dirawat dengan sikap saling menghormati.
Prinsip mengelola perbedaan dan merawat kerukunan harus menjadi pegangan bersama agar potensi gesekan tidak berkembang menjadi perpecahan yang merusak harmoni sosial. Kasus ini menegaskan bahwa tanpa komitmen terhadap nilai-nilai toleransi dan keadilan, persatuan hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna.
Segala bentuk tindakan intoleransi tidak lahir dari ruang hampa, melainkan tumbuh subur dari ketidaktahuan, prasangka, bahkan pembiaran. Oleh karena itu, membangun ruang dialog antarumat beragama, memperkuat pemahaman lintas iman, dan menumbuhkan empati sosial sejak dini adalah tugas kita bersama.
Mengelola perbedaan bukan berarti menyeragamkan segalanya, tetapi mengakui keberagaman sebagai realitas yang tidak bisa diingkari. Membangun Indonesia yang damai dan adil hanya mungkin terwujud apabila kita semua berkomitmen untuk menjadikan toleransi sebagai nilai hidup bersama.
Dengan demikian, segala tindakan kekerasan, dalam bentuk apa pun, bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan persoalan. Terlebih bila dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama Islam. Ini tidak hanya memperburuk situasi, justru berpotensi memperkuat stigma negatif, muslim identik dengan kekerasan. Citra yang sangat keliru dan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. []