Artikel ini merupakan tanggapan atas tulisan Husni Abdul Aziz dengan judul “Otokritik Rakyat Bagian I: Demokrasi Rasa Infotainment (Dari Fans Club ke Fraksi)” yang dimuat pada tanggal 05 September 2025.
Dari tulisan Husni tersebut, setidaknya ada tiga poin utama yang disampaikan dan perlu saya tanggapi. Pertama, bahwa tindakan rakyat dalam menentukan pilihan politiknya (dalam pemilu) didasarkan pada logika fans–yang saya duga merujuk kepada penggemar sepak bola terutama MU–bukan pada program atau visi politik. Kedua, penyebab dari pilihan politik yang menggunakan logika fans tersebut adalah dengan bermunculannya kandidat-kandidat artis dalam pemilu yang menampilkan wajah atau citra politik yang mengandalkan popularitas. Terakhir, rendahnya partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijakan. Di mana hal tersebut berkait kelindan dengan posisi politik rakyat sebagai pemilih yang hanya diperlukan suaranya saja dalam pemilu. Husni dalam hal ini dengan meminjam logika Crouch menyebutnya: Demokrasi Yang Dipermainkan.
Pendapat Husni yang pertama dan kedua karena keduanya saling bertaut, bagi saya alih-alih memunculkan problem dari perilaku para pemilih yang dianggap tidak rasional, argumentasi tersebut justru tidak menunjukan letak kesalahan fondasionalnya terhadap sebuah gejala dari perilaku pemilih. Bahkan dengan bersandar pada munculnya artis yang mengandalkan popularitas sebagai penyebab dan dengan menyebutnya sebagai hal yang utama dan merupakan modal politik yang signifikan, secara faktual sulit untuk dibenarkan.
Berdasar pada data kandidat dari artis yang mengikuti kontestasi elektoral pada pemilu 2009 hingga 2024 dalam meraih kursi parlemen yang dikemukakan menunjukan penurunan kemenangan sehingga tidak bisa dimaknai bahwa popularitas menjadi kunci keberhasilan politik elektoral para kandidat yang berasal dari kalangan artis. Mengapa demikian?
Proposisionalnya adalah bahwa dengan menurunya jumlah kandidat dari artis yang terpilih di setiap pemilu ke pemilu ekuivalen dengan menurunnya suara pemilih terhadap kandidat yang berlatar belakang artis tersebut sehingga menunjukan pula bahwa ketertarikan pemilih terhadap kandidat artis berkurang. Artinya, ada faktor lain yang mendorong bahwa para pemilih tidak selalu berpegang pada popularitas dalam menentukan pilihannya atau dengan kata lain bahwa popularitas tidak selalu menjadi modal signifikan dalam meraih kemenangan di pemilu.
Pendapat Husni yang ketiga tentang rendahnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan, sangat saya sepakati. Hal ini dilihat dari pengesahan Undang-undang yang kontroversial dan banyaknya penolakan masyarakat yang tidak pernah didengar dan direspon secara langsung seperti UU KPK, UU Minerba, UU MK, KUHP hingga UU TNI dan masih banyak lagi. Namun sayangnya, teatrikal demokrasi dari para elite politik dan para pemodal yang menguasai arena parlemen sebagaimana diungkapkan oleh Husni tidak disertai dengan penjelasan mengenai mekanisme dan bagaimana elite politik serta pemilik modal beroperasi di dalamnya khususnya apa yang mendasarinya. Sehingga argumentasi tersebut berisiko pada tuduhan semata tanpa dalil yang kuat.
Oligarki dan Elektoral Politik di Indonesia
Demokrasi dibajak oleh Oligark! Ungkapan-ungkapan demikian lantang dan sering kita dengar terutama pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga sekarang. Pembajakan demokrasi yang dilakukan oleh para oligark menunjukan regresi demokrasi yang menjauhkan dari cita-cita reformasi. Freedom House, The Economist Democracy Index, dan V-Dem pernah menunjukan indeks demokrasi di Indonesia selama lima tahun periode pertama Jokowi, di mana lembaga internasional tersebut memperlihatkan bahwa terdapat penurunan kualitas lembaga demokrasi dan perlindungan terhadap kebebasan sipil.
Skala sepuluh poin dari The Economist Intelligence Unit memberi penilaian di atas tujuh dan merosot menjadi 6,39 pada periode 2017-2018. Penurunan secara signifikan terjadi pada tahun 2019 dengan skor 6,48 mengingat adanya tragedi kerusuhan dengan kekerasan atas hasil Pilpres 2019, pelemahan lembaga antirasuah KPK hingga represifitas terhadap protes yang dilakukan kelompok-kelompok pro-demorkasi (Thomas Power dan Eve Warburton, 2021).
Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia dalam hal ini bersamaan dengan menguatnya oligarki politik yang dilandasi oleh semangat dominasi elite politik-bisnis. Praktik dari oligarki politik ini berkembang sebagaimana diungkap oleh Yuki Fukuoka dalam esainya yang berjudul Oligarchy and Democracy in Post-Suharto Indonesia, yakni tentang kehadiran oligarki yang menekankan dominasi elite bisnis dengan memperoleh aset ekonomi dari negara, namun selain itu para oligark juga membuat jejaring pratonase untuk keberhasilan bisnisnya. Selama rezim Suharto, kepentingan bisnis diatur secara sentralistik oleh elite politik-birokratis (yang juga ditopang oleh militer), setelah reformasi dengan dibukanya keran demokrasi liberal yang memungkinkan terjadinya perluasan politik elektoral yang lebih terbuka sehingga menghendaki suatu demokrasi yang berkecenderungan pada klientelisme yang kuat.
Masih menurut Yuki Fukuoka, terpilihnya para pemimpin politik baik di bidang eksekutif maupun legislatif meski dilakukan secara demokratis, mereka akan menggunakan sumber daya jabatan tersebut untuk membangun relasi patron-klien secara nasional (Yuki Fukuoka, 2013). Sehingga elektoral politik kita didesain untuk membuat celah untuk dimasuki oleh para pemodal atau yang terafiliasi dengan pemodal yang terus memperkuat jejaring atau koneksivitasnya melalui aliansi politik-bisnis dan perlahan mengikis keterwakilan kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Hingga hari ini, terutama pasca penyelenggaraan pemilu tahun 2024, berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan bahwa dari 580 anggota DPR periode 2024-2029, setidaknya terdapat sekitar 60 persen atau 354 orang anggota DPR RI yang terindikasi memiliki afiliasi bisnis (KBR, 2024). Mengacu data tersebut, terpilihnya Anggota DPR RI khusunya para wakil rakyat yang terindikasi terafilisasi bisnis tidak terlepas dari proses penyelenggaraan pemilu tahun 2024.
Berdasarkan riset dari Burhanuddin Muhtadi, menyatakan bahwa terdapat tren pewajaran (toleransi) terhadap praktik politik uang yang kerap terjadi setiap penyelenggaraan pemilu. Menurutnya, politik uang di Indonesia mengalami peningkatan sejak akhir 2019. Dari dara yang dihimpun olehnya, besaran masyarakat yang mentoleransi politik uang dalam periode akhir Februari 2024 hingga Juli 2024 berada di kisaran 54,5 persen atau mengalami kenaikan sebesar 12,8 persen sejak 2006 (Tempo, 2024).
Jika budaya politik uang di Indonesia melekat sedemikian rupa maka pada saat yang bersamaan para calon atau kandidat eksekutif dan legislatif juga harus merogoh modal yang tidak sedikit. Oleh karena itu, orang-orang yang hendak bergelanggang di arena elektoral bisa dipastikan merupakan para pemodal atau yang terafiliasi dengannya. Konsekuensinya adalah para pemimpin dan wakil-wakil diparlemen akan dikuasai hanya oleh para elite politik bisnis atau orang-orang yang terafilisasi dengan para oligark. Dengan demikian, jika pemerintahan telah dikuasai oleh elite politik-bisnis dan keterpilihan mereka diasumsikan sebagai hasil dari transaksi temporal berbasis uang antara dirinya dan pemilih maka kebijakan atau keputusan politik yang akan muncul kemudian tidak lagi memprioritaskan kepentingan rakyat.
Pendidikan Politik yang lemah
Apabila praktik politik uang sudah menggerogoti nalar masyarakat kita sebagai subjek politik, maka pendidikan politik terhadap rakyat sudah harus digerakkan secara massif. Dalam pendidikan politik, rakyat diberi ruang untuk memperluas pengetahuan tentang pentingnya menjadi subjek politik yang sadar sebab sebagaimana dijelaskan Martin Suryajaya bahwa dalam demokrasi, pengetahuan-diri-rakyat adalah sumber, ukuran dan modus penampakan kebenaran bersama (Suryajaya, 2025).
Herry-Priyono dalam bukunya berjudul, Kebebasan, Keadilan, dan Kekuasaan: Filsafat Politik and What It Is All About, dengan mengutip pendapat dari Robert Dahl menjelaskan tentang urgensi pendidikan kewargaan (civic education) yang selalu aktual karena kualitas pilihan warga dalam proses politik elektoral merupakan prasyarat antropologis jatuh-bangunnya demokrasi. Dalam demokrasi, pemilihan umum (elektoral) merupakan metode pergantian kekuasaan. Pihak-pihak yang berwenang untuk memilih ditentukan dalam proses tersebut. Oleh karenanya, ketidaktepatan dalam memilih memiliki konsekuensi terhadap keberlangsungan kehidupan bersama. Sebab, melalui hasil elektoral tersebut, demokrasi tidak hanya akan menciptakan kekuasaan konsisten terhadap kesetaraan, kebebasan sipil, hak asasi manusia hingga supremasi hukum. Bisa jadi, ketidaktepatan dalam memilih justru dapat memunculkan kekuasaan yang menindas.
Bercermin pada pengalaman Orde Baru, rezim Suharto melakukan deideologisasi terhadap rakyat dengan konsep massa mengambang (Wilson, 2023). Pada periode ini, konseptualisasi massa mengambang dilakukan melalui mekanisme pendisiplinan tubuh. Di mana pendisiplinan tubuh dilaksanakan dengan membentuk kepatuhan kepada satu pihak dan penciptaan diskursus kekuasaan di lain pihak terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Ruth Indiah Rahayu, 2018).
Akibatnya, terjadi praktik depolitisasi bagi rakyat sehingga rakyat sebagai subjek politik tidak memiliki kesadaran politik dan juga tidak secara bebas mampu untuk mengekspresikan keinginan politiknya. Di samping itu, sebagai pemilih atau pemberi suara, rakyat diposisikan sebagai konsumen–yang dalam istilah Marx disebut sebagai fetisisme komoditas–sehingga para pemilih tidak ditawari dengan program politik melainkan disuguhi politik transaksional, brand, logo atau citra para kandidat sebagaimana dikutip dari artikel Ruth Indiah Rahayu dengan judul, Dari Massa Mengambang Ke Konsumen Fetisis.
Alternatif dari problem tersebut yaitu hadirnya ruang pendidikan politik bagi masyarakat. Pendidikan politik berguna untuk mencerdaskan rakyat dan memberikan kesadaran akan kepentingannya dalam tata kelola kehidupan secara bersama-sama.
Dalam pendidikan politik, partai politik memiliki fungsinya sebagai fasilitator dalam mewadahi ruang tersebut dan tidak hanya sekedar alat memobilisasi suara saja. Ini adalah tantangan bagi partai politik arus utama. Artinya partai politik harus segera melakukan reformasi terhadap dirinya sendiri. Selain berusaha mencerdaskan konstituennya juga pada waktu yang sama menciptakan kader-kader yang kompeten dan memiliki keberpihakan pada kepentingan rakyat untuk dipersiapkan sebagai kandidat di pemerintahan nantinya (harapan yang teramat mengawang dalam konteks hari ini, pesimis).
Jika partai politik arus utama tidak bertindak demikian maka membangun politik alternatif melalui partai politik progresif (partai gerakan/movement party) adalah jalan selanjutnya dan ini tentu saja tidak mudah. Terakhir, mengandalkan aksi massa sebagai alat perjuangan revolusioner merebut kekuasaan politik. Karena strategi ini berdampak pada pembangunan militansi dan kekuatan yang lebih ideologis (walaupun hari ini kurang realistis), (Wilson, 2023).
Simpulan
Dalam konteksi hari ini, politik uang dalam arena kontestasi politik memiliki peran signifikan dibandingkan dengan popularitas para kandidat (meskipun popularitas kerap dijadikan taktik dalam meraup suara pemilih tapi hal tersebut tidak selalu menjadi hal utama). Selanjutnya adalah partronase politik yang berjejaring (sampai tingkat grassroot) baik yang dibangun melalui mesin partai sebagai instrumen politik yang sah ataupun relasi individu (Aspinall & Berenschot, 2019).
Suara adalah manifestasi pengetahuan-diri yang digunakan dalam pengambilan keputusan politik. Suara bukan hanya yang terejawantahkan dalam suara elektoral/vote. Tuntutan masyarakat sipil demi perbaikan demokrasi atau suara para buruh yang adalah ekspresi dari kepentingannya juga adalah suara meski bukan vote (Suryajaya, 2025).
Untuk itu, pengetahuan-diri menjadi bagian yang amat penting supaya penyaluranya melalui elektoral politik kepada para kandidat setelah terpilih sesuai dengan kehendaknya. Sehingga tidak ada lagi irrelevansi kehendak antara yang presentasi dengan yang menjadi representasi dalam pengambilan keputusan politik. Maka, ruang pendidikan politik menjadi sangat penting.
Bahan Bacaan
Herry-Priyono (2022). Kebebasan, Keadilan, dan Kekuasaan: Filsafat Politik and What It Is All About. Buku Kompas.
Edward Aspinall dan Ward Berenschot. (2019). Democracy For Sale: Pemilihan Umum, Klientilisme dan Negara di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Ed. Thomas Power dan Eve Warburton. (2021). Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi? ISEAS.
Martin Suryajaya. (2025). Apa Rakyat Bisa Salah? Masalah Epistemik Demokrasi dan Solusinya. Gang Kabel.
Wilson. (2023). Gerakan Rakyat, Politik Identitas dan Hukum Kolonial. Komunitas Bambu.
Ruth Indiah Rahayu. (2018). Dari Massa Mengambang Ke Konsumen Fetisis. Indoprogress. https://indoprogress.com/2018/10/dari-massa-mengambang-ke-konsumen-fetisis/
Yuki Fukuoka. (2013). Oligarchy and Democracy in Post-Suharto Indonesia. Political Studies Review: Vol. 11, doi: 10.1111/j.1478-9302.2012.00286.x
Alfitria Nefi P. (2024). https://www.tempo.co/politik/burhanuddin-muhtadi-jelaskan-korelasi-peningkatan-politik-uang-dengan-keserentakan-pemilu-1183267
Ardhi Ridwansyah. (2024). https://kbr.id/articles/ragam/60-persen-anggota-dpr-memiliki-afiliasi-bisnis-gerindra-terbanyak