Hari ini, jalan layang Pasupati tidak sekadar lintasan beton. Ia menjelma mimbar. Puluhan sopir bus pariwisata memarkirkan kendaraannya bukan untuk menunggu penumpang, tapi untuk menyuarakan kesedihan. Mereka bukan orator, bukan juru bicara partai. Tapi hari ini, mereka bersuara. “Kami bukan menolak kebijakan, kami hanya minta didengar,” kata salah satu sopir dari PO bus dalam aksi 21 Juli 2025, yang memacetkan arteri utama Kota Bandung (Kompas.com, 21 Juli 2025).
Sejak Gubernur Jawa Barat menetapkan Surat Edaran No. 45/PK.03.03/KESRA tertanggal 6 Mei 2025 yang dikenal sebagai program Gapura Panca Waluya hampir semua wajah pendidikan disulap menjadi agenda pembentukan karakter: larangan study tour, larangan acara wisuda dan perpisahan, larangan semua bentuk “seremonial yang membebani orang tua” (SE Gubernur Jawa Barat No. 45/PK.03.03/KESRA, 6 Mei 2025). Sebagai gantinya, sekolah didorong melakukan kegiatan yang lebih substansial: pelatihan hidup, pengelolaan sampah, pertanian organik, hingga pembinaan pelajar bermasalah bersama TNI–Polri.
Kebijakan ini memang terasa luhur: ingin mengembalikan pendidikan ke akarnya mendidik karakter, bukan mengejar euforia sesaat. Seperti disampaikan Gubernur Jabar, “Kita tidak ingin anak-anak kita jadi generasi pamer, generasi konsumtif. Pendidikan bukan tentang piknik, tapi pembentukan watak” (RadarJabar.com, 8 Mei 2025).
Namun di luar niat baik itu, gema kebijakan ini ternyata menggetarkan sisi lain. Seperti domino yang runtuh pelan, larangan study tour ini diperkirakan telah menghilangkan perputaran ekonomi sebesar Rp 2,28 triliun di sektor wisata pendidikan, dengan efek berganda ke sektor transportasi, kuliner, UMKM, dan penginapan (RadarJabar.com, 10 Mei 2025). Pajak daerah dari sektor pariwisata pun terpangkas hingga Rp 136,8 miliar. Ribuan pekerja informal kehilangan penghasilan, termasuk sopir, kernet, juru masak, penjaga toilet, hingga pedagang gelang warna-warni di pinggir jalan tempat wisata.
PO Bus di Bandung mencatat penurunan pendapatan hingga 60%, dari semula Rp 80 juta/bulan per unit menjadi tak sampai Rp 30 juta (Kompasiana, Mei 2025). Seorang pemilik biro perjalanan di Lembang bahkan mengaku telah menjual dua unit busnya karena tak sanggup lagi membayar cicilan.
Menariknya, di saat provinsi mengunci rapat kebijakan, Kota Bandung justru menawarkan model kebijakan alternatif. Wali Kota Bandung mengizinkan kembali kegiatan study tour, asalkan tidak bersifat akademik, tidak membebani orang tua, serta dilakukan dengan pengawasan sekolah dan transparansi biaya (Detik.com, 12 Juli 2025). Pendekatan ini menjadi semacam katup sosial: tidak frontal menolak provinsi, tapi juga tak membiarkan sektor ekonomi dan psikologis pelajar runtuh diam-diam.
Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai pedagogi dialogis pendidikan yang bukan sekadar menabur perintah, tapi mendengar. Sementara Ivan Illich pernah mengingatkan, ketika pendidikan terlalu birokratis, terlalu dipaksa sesuai cetak biru moral tertentu, ia justru melumpuhkan kreativitas dan rasa ingin tahu anak-anak (Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, 1970; Ivan Illich, Deschooling Society, 1971).
Gapura Panca Waluya, dalam semangatnya, ingin membentuk anak-anak yang kuat batin. Tapi karakter tidak tumbuh di ruang kosong. Ia tumbuh dari pengalaman, dari gagal memesan tiket bus, dari melihat monyet liar di pinggir jalan, dari tersesat di museum yang sepi. Karakter bukan hanya dibentuk lewat larangan, tapi lewat dialektika antara keinginan dan pembelajaran.
Demo sopir bus hanyalah gema awal dari suara-suara yang terlupakan: suara para pekerja jalanan, para ibu yang menjual lontong untuk bekal study tour, dan anak-anak yang rindu belajar bukan hanya dari buku, tapi dari dunia nyata.
Jika pendidikan adalah jalan, maka sudah saatnya kebijakan melangkah turun, menyatu dengan keramaian, dan belajar dari kisah mereka yang berdiri di trotoar perubahan.