Konflik Iran-Israel: Apakah Pan-Islamisme Kontemporer Yang non-sektarian untuk solidaritas Palestina dimungkinkan?

Beberapa minggu ke belakang publik dunia tengah dihebohkan oleh serangkaian serangan demi serangan yang dilancarkan baik di pihak Iran maupun Israel. Republik Islam Iran yang membombardir ibukota Israel, yakni Tel Aviv bukan tanpa alasan— alasan utama karena Iran ingin merespon balasan atas serangan Israel ke Palestina yang terus gencar dilancarkan tanpa pandang bulu sejak Oktober 2023, baik unsur militer maupun sipil Palestina turut dari serangan biadab militer zionis Israel. Ditambah rangkaian serangan juga dilancarkan ke beberapa obyek vital di wilayah Iran dan Yaman.

Tentu, hal ini sangat mempengaruhi peta geopolitik global, Iran yang merasa empati dengan sekian banyak penderitaan yang dirasakan rakyat Palestina, juga respon terhadap kedaulatan dalam negerinya sendiri yang juga mengalami serangan. Para elit negara semi-teokratis itu merespon serangan demi serangan juga dengan kesiapan matang dibidang alutsista militernya. Beberapa diantaranya ialah rudal balistik jarak jauh yang telah meluluh-lantahkan ibukota Israel, sekaligus membuat masyarakat Israel ketar-ketir kerepotan.

Tentu, empati yang dihadirkan Iran hari ini berangkat dari rasa solidaritas atas penindasan yang terjadi di kawasan Timur Tengah, eskalasi genosida yang terjadi setiap hari membuat perasaan mereka geram, sekalipun bukan dalam rangka membangun solidaritas internal mazhab dalam tradisi Islam, tapi dalam rangka sesama umat Islam dan selama masih dalam perasaan tertindas, mengharuskan Iran juga turut bertanggung jawab memberikan bantuan.

Mengingat sejarah panjang perang sektarian antara Sunni-Syiah merupakan masalah klasik dalam peradaban Islam, sudah tentu fakta historis tersebut menemukan titik kulminasinya untuk merekonstruksi ulang hubungan sosial antar komunitas besar Islam itu—momentum gejolak politik global yang melibatkan Iran vis a vis Israel, tentu menjadi fakta historis baru, menutup lembaran trauma klasik yang terjadi berabad-abad silam atas dua komunitas besar Islam ini.

Tentu, dalam konteks humanisme geopolitik global ini, masyarakat di kawasan dunia Islam terutama sudah tidak lagi relevan memainkan sentimen perbedaan akidah baik Sunni maupun Syiah, dua komunitas besar itu hari ini disatukan oleh rasa kesatuan dan perlawanan atas penindasan yang dilakukan Israel di Palestina—umat Islam umumnya hari ini di hadapkan pada musuh yang benar-benar nyata.

Ketika Republik Islam Iran yang dianggap bersebrangan akidah dengan mayoritas masyarakat Palestina, apakah Pan-Islamisme Kontemporer yang bersifat non-sektarian dimungkinkan terjadi?
Setidaknya alasan utama yang dianggap deterministik ialah perasaan dan respon Iran atas penindasan. Orkestrasi penindasan yang selama ini terjadi dan juga serangan dalam negeri yang diterima Iran dianggap sudah kelewat batas, dan mungkin saja dalam pikiran pemimpin besar Iran Ayatullah Ali Khamenei menganggap perlu adanya pihak yang sepadan untuk menandingi penindasan dan invasi Israel di Palestina.

Dalam konteks humanisme, apalagi humanisme atas dasar penindasan, sudah sepatutnya respon balasan yang diberikan bukan lagi berbicara faksi atau sektarianisme, diskursus kemanusiaan mampu menembus dimensi apapun. Jika menimbang kondisi baru-baru ini bisa saja dimungkinkan perjalanan historis baru terkait Pan-Islamisme; meminjam istilah Jamaluddin al Afghani, namun watak Pan-Islamisme yang universal, yang non-sektarian, tidak lagi berbicara faksi atau komunitas tertentu, sudah sepatutnya Sunni maupun Syiah bersatu vis a vis rezim Zionis Israel yang sudah lebih dari tujuh dekade terakhir menginvasi wilayah Palestina—demi solidaritas atas penindasan di Palestina, dan untuk mengurangi eskalasi geopolitik global negara-negara kawasan dunia Islam, baik Sunni maupun Syiah yang cukup mempunyai logistik alutsista yang mumpuni turut mendukung serangan ke Israel.

Dunia Barat, dan sekutu Israel sudah tentu menganggap ini sebagai kejahatan perang, namun di sisi lain juga terdapat respon atas ketertindasan dan korban perang yang selama ini diorkestrasikan secara biadab—Pan-Islamisme bukan barang baru di kawasan dunia Islam, diperlukan rekonstruksi agar mampu menyentuh akar-akar kemanusiaan, tanpa perlu mazhab dan ideologi apa yang dianut mereka yang ditindas. Sudah sepatutnya narasi Pan-Islamisme non sektarian ini diaktualisasikan—dengan begitu dukungan atas rasa aman untuk rakyat Palestina bisa jadi jaminan.

—Sandrianisme