Krisis Kontrak Sosial di Indonesia: Membaca Thomas Hobbes di Tengah Ketegangan Demokrasi

Pendahuluan

Dalam wacana filsafat politik modern, konsep kontrak sosial merupakan pilar utama untuk memahami relasi antara rakyat dan negara. Filsuf Inggris, Thomas Hobbes (1588–1679), melalui magnum opus-nya Leviathan (1651), menegaskan bahwa keberadaan negara lahir dari kesepakatan manusia untuk menghindari kondisi alamiah yang penuh ketidakpastian, kekerasan, dan konflik. Dalam keadaan tanpa otoritas, kata Hobbes, manusia hidup dalam status naturalis—suatu kondisi yang diliputi rasa takut, perebutan kepentingan, dan ketiadaan jaminan atas keselamatan. Hobbes menyebut keadaan itu sebagai bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.

Untuk mengatasi situasi tersebut, manusia kemudian membuat sebuah perjanjian sosial (social contract), yaitu menyerahkan sebagian kebebasannya kepada sebuah otoritas tunggal yang disebut Leviathan. Negara, sebagai Leviathan, memperoleh legitimasi absolut untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban. Dengan demikian, kontrak sosial bukan sekadar konsep filosofis, melainkan fondasi normatif atas eksistensi negara modern.

Namun, teori Hobbes tidak berhenti pada pembentukan negara. Ia menekankan bahwa legitimasi negara selalu bersyarat: otoritas hanya sah selama ia melindungi rakyat. Ketika negara gagal memberikan perlindungan, keamanan, dan keadilan, maka kontrak sosial tersebut runtuh.

Indonesia sebagai negara demokrasi pasca-Reformasi 1998, kini menghadapi gejala yang dapat disebut sebagai krisis kontrak sosial. Rakyat telah menunaikan kewajibannya: membayar pajak, mematuhi hukum, mengikuti pemilu, dan menerima batasan atas kebebasan mereka. Namun, di sisi lain, negara kerap gagal menunaikan bagian dari kontrak itu: melindungi rakyat, menjamin kesejahteraan, dan menegakkan keadilan sosial.

Kerangka Teori: Kontrak Sosial Hobbesian

Untuk memahami relevansi Hobbes dalam konteks Indonesia, kita perlu kembali pada tiga prinsip utama kontrak sosial dalam Leviathan:

  1. Kondisi Alamiah (State of Nature)
  • Hobbes menggambarkan kondisi alamiah sebagai kehidupan tanpa otoritas politik yang kuat, di mana manusia berkompetisi demi kepentingan diri sendiri.
  • Dalam kondisi itu, hukum rimba berlaku: manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
  1. Kontrak Sosial (Social Contract)
  • Untuk keluar dari keadaan chaos, manusia secara kolektif sepakat menyerahkan hak-hak tertentu kepada negara.
  • Kontrak ini bukanlah dokumen tertulis, melainkan kesepakatan imajiner yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan negara.
  1. Leviathan sebagai Penjamin Keamanan
  • Negara adalah otoritas tunggal yang berhak memaksa demi menjaga ketertiban.
  • Namun, negara hanya sah sejauh ia menjamin rasa aman. Bila negara gagal, kontrak sosial kehilangan makna, dan legitimasi negara runtuh.

Dengan kerangka ini, kita bisa menilai kondisi politik Indonesia: apakah Leviathan Indonesia masih bekerja untuk rakyat, atau justru melupakan kontraknya?

 

Krisis Kontrak Sosial di Indonesia

Sejak Reformasi 1998, Indonesia sering disebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Pemilu rutin digelar, lembaga perwakilan rakyat dibentuk, dan partisipasi politik dijamin secara konstitusional. Namun, di balik prosedural demokrasi, kontrak sosial antara rakyat dan negara semakin menunjukkan gejala rapuh.

  1. Delegitimasi Lembaga Politik

Kepercayaan publik terhadap DPR dan partai politik terus menurun. Lembaga yang seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat kerap berfungsi sebagai perpanjangan tangan oligarki ekonomi. Produk hukum kontroversial seperti UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, dan berbagai kebijakan yang minim konsultasi publik mempertegas kesan bahwa proses legislasi lebih berpihak pada kepentingan elite.

Dalam perspektif Hobbes, hal ini adalah bentuk pelanggaran kontrak sosial: rakyat menyerahkan mandat representasi, tetapi wakil rakyat justru mengabaikan kepentingan publik.

  1. Represi Aparat terhadap Rakyat

Fenomena represi terhadap demonstrasi mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil semakin memperjelas pergeseran Leviathan dari pelindung menjadi predator. Aparat kepolisian yang mestinya menjaga ketertiban dan keamanan publik, justru menggunakan kekerasan berlebihan terhadap rakyat yang menuntut haknya.

Dalam kacamata Hobbes, negara diciptakan agar rakyat terbebas dari rasa takut. Namun, di Indonesia, rakyat justru merasa takut kepada negara itu sendiri.

  1. Erosi Keadilan Sosial

Konstitusi Indonesia jelas menegaskan keadilan sosial sebagai tujuan negara. Namun realitasnya, kesenjangan ekonomi semakin melebar, akses terhadap pendidikan dan kesehatan masih timpang, dan kebijakan pembangunan cenderung mengorbankan kelompok rentan.

Kontrak sosial yang mestinya menghadirkan kesejahteraan bersama berubah menjadi kontrak timpang: rakyat diminta berkorban, sementara hasil pembangunan dinikmati segelintir elite.

  1. Meningkatnya Resistensi dan Distrust Publik

Demonstrasi besar-besaran yang melibatkan mahasiswa, serikat buruh, hingga masyarakat sipil, adalah indikasi resistensi terhadap negara yang dianggap melanggar kontrak sosial. Ketidakpercayaan publik juga tercermin dalam survei yang menunjukkan rendahnya trust terhadap DPR, partai politik, bahkan aparat.

 

Gejala Krisis Kontrak Sosial

Krisis kontrak sosial di Indonesia dapat dikenali melalui empat gejala utama:

  1. Legitimasi politik yang menurun drastis, terlihat dari apatisme pemilih, rendahnya kepercayaan publik, dan meningkatnya politik uang.
  2. Krisis representasi, di mana rakyat tidak merasa terwakili oleh wakil-wakilnya.
  3. Polarisasi sosial, yang semakin melemahkan solidaritas dan menimbulkan konflik horizontal.
  4. Dominasi oligarki, yang memanfaatkan kelemahan institusi demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan.

Jika gejala-gejala ini terus dibiarkan, kontrak sosial di Indonesia akan runtuh sepenuhnya. Leviathan tidak lagi dipandang sebagai pelindung, tetapi sebagai ancaman.

Jalan Keluar: Rekonstruksi Kontrak Sosial Indonesia

Untuk mengatasi krisis kontrak sosial, diperlukan langkah rekonstruktif yang menyentuh dimensi struktural, kelembagaan, dan budaya politik.

  1. Reformasi Representasi Politik
  • Proses legislasi harus berbasis partisipasi publik yang nyata, bukan sekadar formalitas.
  • Transparansi politik dan akuntabilitas partai menjadi syarat mutlak. Reformasi pendanaan partai politik harus dilakukan untuk mengurangi dominasi oligarki.
  • Sistem rekrutmen politik harus lebih terbuka agar muncul wakil rakyat yang benar-benar representatif.
  1. Reformasi Aparat dan Supremasi HAM
  • Aparat harus dididik ulang dengan paradigma human security, bukan sekadar keamanan negara.
  • Lembaga pengawas independen seperti Komnas HAM harus diberi kewenangan lebih besar.
  • Setiap tindakan represif harus dikenai sanksi hukum tegas, agar rakyat kembali percaya bahwa Leviathan berdiri di pihak mereka.
  1. Reorientasi Kebijakan Publik ke Arah Keadilan Sosial
  • Negara harus kembali pada amanat konstitusi: melindungi seluruh bangsa dan menciptakan keadilan sosial.
  • Kebijakan pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi harus memastikan distribusi yang adil.
  • Perlindungan terhadap kelompok rentan (petani, buruh, masyarakat adat) harus menjadi prioritas.
  1. Memperluas Partisipasi Rakyat
  • Demokrasi partisipatif harus diperkuat, tidak berhenti pada pemilu lima tahunan.
  • Forum-forum deliberatif (musyawarah publik, hearing terbuka) perlu diperluas agar rakyat merasa terlibat dalam pengambilan keputusan.
  • Pendidikan politik kritis harus diperluas agar rakyat memahami hak dan kewajibannya dalam kontrak sosial.

 

Penutup

Hobbes menulis lebih dari tiga abad lalu bahwa tanpa negara, hidup manusia akan “solitary, poor, nasty, brutish, and short.” Tetapi Indonesia kini menghadapi paradoks: meskipun negara ada, rakyat masih merasa hidup dalam ketakutan, kesenjangan, dan ketidakadilan. Itu artinya kontrak sosial kita sedang mengalami krisis serius.

Leviathan Indonesia telah melupakan janjinya. Ia lebih sering hadir sebagai pemukul daripada pelindung, sebagai penjaga oligarki daripada penjaga rakyat. Jika kontrak sosial ini terus dilanggar, legitimasi negara akan runtuh, dan rakyat berhak menyusun ulang kontrak sosial baru.

Dengan demikian, penyelamatan demokrasi Indonesia menuntut rekonstruksi kontrak sosial: mengembalikan negara pada jati dirinya sebagai pelayan publik. Tanpa itu, Leviathan hanya akan menjadi monster yang menakutkan, bukan pelindung yang menenangkan.

Seorang ASN Progresif yang tidak mau hidup Cuma begitu-begitu saja. Penulis Adalah pemerhati isu politik, hukum, serta dinamika sosial di Indonesia. Dengan latar belakang minat yang kuat pada filsafat politik dan kajian kritis, ia kerap menyoroti relasi antara negara, masyarakat, dan kekuasaan, khususnya dalam konteks demokrasi yang sedang mengalami tantangan serius. Bagi Husni, menulis bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan juga bentuk perlawanan simbolik terhadap praktik kekuasaan yang tidak adil