Logika Fans, Oligarki, dan Lemahnya Pendidikan Politik: Membaca Krisis Demokrasi Indonesia

Tulisan “Kepungan Oligarki Politik dan Lemahnya Pendidikan Politik, Itu Masalahnya!” yang ditulis oleh Fajrin Sidek hadir sebagai respons atas artikel saya sebelumnya, “Otokritik Rakyat Bagian I: Demokrasi Rasa Infotainment (Dari Fans Club ke Fraksi)”. Saya menyambut baik tanggapan tersebut karena memperlihatkan bahwa problem demokrasi Indonesia memang perlu dibaca dari berbagai dimensi: fenomenologis, struktural, maupun normatif. Terimakasih.

Dalam tulisan tanggapan itu, ada tiga poin utama yang dikemukakan:

  1. Popularitas artis tidak lagi signifikan karena tren keterpilihan kandidat artis dalam pemilu terus menurun;
  2. Oligarki politik-bisnis lebih menentukan hasil elektoral ketimbang citra kandidat;
  3. Rendahnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan adalah bukti lemahnya pendidikan politik.

Karena tulisan saya merupakan masih di bagian 1, sehingga sebetulnya seluruh krtitik yang di sampaaikan Fajrin masih terasa dini, karena tulisan untuk bagian kedua dan bagian ketiga terakhir belum di ulas secara utuh, namun tidak papa, bagi saya ketiga poin kritisi Fajrin diatas memperkaya diskursus, tetapi saya ingin menambahkan beberapa catatan agar problem demokrasi  Indonesia bisa dibaca lebih utuh.

Artisisasi Politik: Lebih dari Sekadar Artis

Tulisan tanggapan mengoreksi argumen saya soal peran artis. Memang benar, data menunjukkan keterpilihan artis di parlemen semakin menurun sejak 2009. Tetapi masalah bukan pada artis sebagai individu, melainkan pada artisisasi politik—yakni cara berpolitik yang menyerupai industri hiburan.

Politisi, baik artis maupun bukan, kini sama-sama mengandalkan branding, fanbase, dan performa panggung ketimbang visi substantif. Politik dijalankan layaknya infotainment. Inilah yang saya sebut sebagai logika fans club: rakyat diposisikan sebagai penggemar, bukan warga politik.

Artinya, meskipun artis makin jarang menang, gaya politik ala selebritas justru makin menguat. Demokrasi pun berubah menjadi spektrum tontonan (spectacle politics), di mana rakyat lebih banyak disuguhi drama ketimbang deliberasi.

Oligarki dan Fans Club: Dua Sisi dari Koin yang Sama

Tulisan tanggapan dengan tepat menguraikan bagaimana oligarki politik-bisnis menancapkan dominasinya melalui patronase, politik uang, dan afiliasi ekonomi. Namun menurut saya, oligarki dan logika fans club tidak bisa dipisahkan.

Oligarki memerlukan basis legitimasi elektoral. Logika fans memberi mereka cara cepat mengonsolidasikan suara: bukan lewat program, tetapi lewat citra, simbol, dan transaksi. Di sisi lain, fans club tanpa dukungan modal hanyalah kerumunan cair. Karena itu, keduanya bersimbiosis: oligarki sebagai struktur kekuasaan, fans club sebagai kultur elektoral, politik uang sebagai mekanisme reproduksi. Hasilnya adalah demokrasi yang tampak hidup secara prosedural, tetapi dikuasai secara substantif oleh segelintir elite.

Pendidikan Politik: Normatif atau Struktural?

Penulis menekankan pendidikan politik sebagai solusi. Saya setuju, tetapi dengan catatan penting: pendidikan politik tidak bisa dipahami hanya sebagai “mengedukasi rakyat agar lebih rasional dalam memilih”. Itu terlalu normatif.

Masalah utamanya adalah desain institusional yang memang mencegah rakyat menjadi warga politik aktif. Sejak Orde Baru dengan konsep massa mengambang, hingga pasca-Reformasi yang menormalisasi politik uang, rakyat lebih sering diposisikan sebagai konsumen elektoral ketimbang subjek politik.

Karena itu, pendidikan politik hanya efektif jika berjalan bersamaan dengan reformasi institusi politik, khususnya partai politik dan penguatan ruang praksis rakyat (gerakan sipil, serikat buruh, komunitas warga). Tanpa itu, civic education hanya akan jadi teori di ruang kelas, bukan kekuatan perubahan.

Reformasi Partai atau Politik Gerakan?

Tulisan tanggapan pesimis terhadap kemampuan partai arus utama untuk melakukan reformasi internal. Pesimisme ini valid, sebab partai lebih sering menjadi agen depolitisasi: menjual tiket pencalonan, mengandalkan citra, dan tunduk pada patronase oligarki.

Namun, membangun partai alternatif progresif juga bukan perkara mudah. Sejarah Indonesia menunjukkan, percobaan itu kerap kandas karena fragmentasi gerakan rakyat dan aturan elektoral yang berat sebelah.

Karena itu, saya melihat jalan yang lebih mungkin adalah politik hibrid:

  • Dari bawah: memperkuat gerakan sipil, serikat, dan komunitas sebagai ruang pendidikan politik praksis.
  • Dari dalam: melakukan infiltrasi ke partai, baik lewat kader progresif maupun desakan reformasi internal.

Strategi ganda ini mungkin tidak cepat, tetapi lebih realistis dibanding sekadar menunggu revolusi atau mengandalkan moral partai arus utama.

Krisis Demokrasi dalam Tiga Wajah

Jika kita gabungkan, krisis demokrasi Indonesia hari ini bisa dilihat melalui tiga wajah:

  1. Delegative democracy (O’Donnell): rakyat memilih seperti fans, lalu menyerahkan mandat tanpa kontrol.
  2. Post-democracy (Crouch): demokrasi dimainkan elite untuk kepentingannya sendiri.
  3. Spectacle politics (Zizek): rakyat disuguhi drama politik, bukan deliberasi.

Tiga wajah ini menunjukkan bahwa demokrasi kita bukan hanya “dipermainkan”, tetapi juga “dijual” (Aspinall & Berenschot) dan “dipentaskan”. Hasilnya adalah demokrasi prosedural tanpa substansi: suara rakyat dihitung, tetapi tidak didengar.

Penutup

Tulisan “Kepungan Oligarki Politik dan Lemahnya Pendidikan Politik” memperkaya perdebatan dengan menambahkan dimensi struktural (oligarki, politik uang) dan normatif (pendidikan politik). Sementara tulisan saya sebelumnya menyoroti dimensi kultural (fans club dan infotainment).

Keduanya sebenarnya bukan argumen yang saling meniadakan, tetapi saling melengkapi:

  • Logika fans menjelaskan bagaimana rakyat memilih,
  • Oligarki menjelaskan siapa yang diuntungkan,
  • Lemahnya pendidikan politik menjelaskan mengapa kondisi ini terus berulang.

Jika demokrasi Indonesia ingin diselamatkan, tidak cukup dengan satu jalur saja. Kita perlu kombinasi: reformasi institusional, pendidikan politik yang praksis, serta gerakan masyarakat sipil yang konsisten menekan oligarki.Hanya dengan begitu, demokrasi bisa kembali menjadi ruang di mana rakyat bukan sekadar penonton atau konsumen, melainkan subjek politik yang menentukan arah kehidupan bersama.

Terakhir saya ingin menyampaikan terimakasih kepada Fajrin Sidek. Saudara adalah kawan berfikri.

Seorang ASN Progresif yang tidak mau hidup Cuma begitu-begitu saja. Penulis Adalah pemerhati isu politik, hukum, serta dinamika sosial di Indonesia. Dengan latar belakang minat yang kuat pada filsafat politik dan kajian kritis, ia kerap menyoroti relasi antara negara, masyarakat, dan kekuasaan, khususnya dalam konteks demokrasi yang sedang mengalami tantangan serius. Bagi Husni, menulis bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan juga bentuk perlawanan simbolik terhadap praktik kekuasaan yang tidak adil