Marxisme–Feminisme: Benturan dan Harapan

Dalam esai seminarnya, “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism”, Heidi Hartmann menggunakan metafora pernikahan untuk menggambarkan hubungan yang timpang antara teori Marxis dan analisis feminis. Menurutnya, hubungan ini menyerupai pernikahan dalam hukum umum Inggris abad ke-19: Marxisme dan feminisme “bersatu”, tetapi yang dominan adalah Marxisme. Feminisme diserap ke dalam narasi perjuangan kelas yang “lebih besar,” mengabaikan penindasan spesifik perempuan sebagai kelompok gender. Hartmann, seorang ekonom dan feminis sosialis, berargumen bahwa pernikahan ini tidak sehat dan memerlukan transformasi radikal—entah melalui rekonsiliasi yang setara atau “perceraian” teoretis. Tesis intinya adalah bahwa patriarki dan kapitalisme bukan sistem terpisah, tetapi mitra yang saling memperkuat, membentuk struktur penindasan yang kompleks terhadap perempuan. Esai ini menelusuri kritik Hartmann terhadap pendekatan Marxis tradisional, rekonstruksinya atas konsep patriarki, dan proposalnya untuk persatuan progresif Marxisme-feminisme.

Bagian I: Keterbatasan Pendekatan Marxis Tradisional

Hartmann mengidentifikasi tiga pendekatan Marxis dominan dalam menganalisis “masalah perempuan,” yang semuanya gagal menangani akar penindasan gender:

1. Pendekatan Klasik (Marx, Engels, Kautsky, Lenin)

Teoritis awal seperti Engels (The Origin of the Family) menghubungkan penindasan perempuan dengan munculnya kepemilikan pribadi. Kapitalisme dianggap akan membebaskan perempuan dengan menarik mereka ke pasar kerja, menghancurkan pembagian kerja seksual. Namun, Hartmann mengkritik pandangan ini karena: a) Mengabaikan manfaat material yang dinikmati laki-laki dari kerja domestik perempuan; b) Menyamakan emansipasi dengan partisipasi dalam kerja upahan, tanpa mengkritik beban ganda (double burden) perempuan; c) Menganggap patriarki sebagai “sisa feodal” yang akan lenyap, padahal ia bertahan dan beradaptasi dengan kapitalisme.

2. Pendekatan Kehidupan Sehari-hari (Eli Zaretsky)

Zaretsky menekankan pemisahan kapitalis antara ruang publik (produksi) dan ruang privat (reproduksi). Perempuan di rumah dianggap “bekerja untuk kapital” dengan mereproduksi tenaga kerja. Hartmann menolak ini karena: a) Mengaburkan relasi kuasa laki-laki-perempuan: kerja domestik memang melayani kapital, tetapi juga langsung menguntungkan laki-laki sebagai suami/ayah; b) Mengabaikan pertanyaan mendasar: mengapa perempuan yang ditempatkan di ruang privat?

3. Pendekatan Kerja Domestik (Mariarosa Dalla Costa)

Dalla Costa berargumen bahwa kerja rumah tangga menghasilkan nilai lebih (surplus value) bagi kapital, sehingga perempuan harus menuntut upah atas kerja tersebut. Meski meningkatkan kesadaran tentang nilai kerja domestik, Hartmann menilai pendekatan ini tetap berfokus pada relasi perempuan-kapital, bukan relasi kuasa gender serta Mengabaikan kepentingan material laki-laki dalam mempertahankan kontrol atas kerja perempuan.

Inti dari kritik Hartmann ialah pendekatan Marxis tradisional yang “buta gender” (sex-blind). Kategori seperti “kelas pekerja” gagal menjelaskan mengapa perempuan yang mengisi posisi subordinat dalam keluarga dan pasar kerja. Penindasan perempuan direduksi menjadi gejala sampingan eksploitasi kelas.

Bagian II: Feminis Radikal dan Rekonstruksi Konsep Patriarki

Hartmann beralih ke kontribusi feminis radikal, yang memusatkan perhatian pada slogan “the personal is political“. Feminis radikal seperti Shulamith Firestone dan Kate Millett mendefinisikan patriarki sebagai sistem dominasi laki-laki atas perempuan yang universal. Namun, Hartmann mengkritik kecenderungan mereka untuk memproyeksikan karakter gender masa kini ke seluruh sejarah (e.g., anggapan bahwa “mode estetika” bersifat feminin), sehingga terlalu berfokus pada aspek psikologis sehingga mengabaikan basis material patriarki.

Sebagai respons, Hartmann menawarkan definisi baru bahwa “Patriarki adalah seperangkat relasi sosial antar-laki-laki yang memiliki basis material, menciptakan hierarki sekaligus solidaritas di antara mereka, untuk mendominasi perempuan”. Basis material patriarki terletak pada dua mekanisme kunci: pertama, Kontrol atas tenaga kerja perempuan: Laki-laki membatasi akses perempuan ke sumber daya produktif (e.g., pekerjaan bergaji layak); kedua, Kontrol atas seksualitas perempuan: Ditegaskan melalui institusi seperti pernikahan heteroseksual monogami.

Mekanisme ini memungkinkan laki-laki menikmati layanan pribadi perempuan (kerja domestik, pengasuhan anak) dan mengamankan posisi superior di pasar kerja. Patriarki, dengan demikian, adalah struktur hierarkis tetapi kolaboratif: laki-laki dari kelas/ras berbeda bersatu dalam relasi dominasi atas perempuan, meski mereka bersaing di ranah lain.

Hartmann mengadopsi konsep Gayle Rubin tentang “sistem seks/gender”—proses transformasi seks biologis menjadi konstruk gender melalui institusi sosial—keluarga, sekolah, media. Sistem inilah yang menjadi “produksi manusia” (production of people) atau “produksi tenaga produktif” dalam kerangka Engels, setara pentingnya dengan “produksi barang” (production of things) dalam analisis Marxis. Masyarakat, tegas Hartmann, selalu merupakan gabungan dari kedua mode ini (e.g., “patriarki kapitalis” atau “patriarki feodal”).

Bagian III: Kemitraan Patriarki dan Kapital dalam Sejarah

Hartmann menunjukkan bagaimana patriarki dan kapital bernegosiasi—kadang bertentangan, tetapi akhirnya bermitra—melalui studi kasus historis:

1. Revolusi Industri dan Kelahiran “Upah Keluarga”

Awalnya, kapital menarik perempuan dan anak ke pabrik dengan upah rendah, mengikis otoritas laki-laki di rumah. Buruh laki-laki merespons dengan a) meminggirkan perempuan dari serikat pekerja; b) Menuntut upah keluarga (family wage)—gaji cukup untuk menafkahi seluruh keluarga agar istri tinggal di rumah. Tuntutan ini didukung kapital karena Istri di rumah menghasilkan pekerja yang lebih sehat (reproduksi tenaga kerja) dan Pemisahan kerja publik-privat menguntungkan kontrol sosial.

2. Upah Keluarga sebagai Resolusi Konflik

Skema ini menguntungkan kedua belah pihak, a) Bagi patriarki, laki-laki menguasai kerja domestik perempuan dan mengamankan posisi superior di pasar kerja. b) Bagi kapital, mendapat tenaga kerja stabil dan konsumen—perempuan sebagai pengelola rumah tangga. Solidaritas antar-laki-laki (termasuk buruh dan majikan) menjadi kunci dalam mempertahankan model ini.

3. Fleksibilitas Kemitraan di Abad ke-20

Peningkatan partisipasi perempuan di pasar kerja pasca-Perang Dunia II tidak menghancurkan patriarki, tetapi mengubah bentuknya menjadi Segregasi pekerjaan berbasis gender (job segregation by sex) menjamin upah perempuan tetap rendah, mempertahankan ketergantungan ekonomi pada laki-laki. Hal ini juga yang secara tidak langsung membentuk Ideologi seksis (e.g., stereotip perempuan sebagai “irasional” atau “dependen”) berfungsi ganda, merendahkan perempuan sekaligus mengaburkan kegagalan kapital memenuhi kebutuhan sosial (e.g., lewat iklan yang mengejek perempuan yang peduli produk rusak).

Hartmann menolak prediksi Marxis ortodoks bahwa kapitalisme akan menghancurkan keluarga. Data demografi menunjukkan ketahanan keluarga inti, meski dalam bentuk yang beradaptasi (misalnya, perempuan menanggung beban ganda: kerja upahan dan domestik).

Bagian IV: Menuju Persatuan ‘yang’ Progresif

Dominasi Marxisme atas feminisme di kalangan kiri, menurut Hartmann, bersumber dari dua hal: 1) Kekuatan analitis Marxisme dalam mengkritik kapital; 2) Kekuasaan laki-laki dalam gerakan kiri yang meminggirkan suara perempuan. Secara politis, ini terwujud dalam: tekanan pada perempuan radikal untuk “fokus pada perjuangan kelas” dan mengabaikan isu gender, sehingga pengabaian masalah seperti perawatan anak (day care) dalam agenda organisasi kiri. Sehingga mekanisme ini melahirkan kooptasi feminisme oleh kapital (e.g., retorika “perempuan kuat” dalam iklan).

Solusi Hartmann adalah aliansi setara Marxisme-feminisme yang mengakui akan kepentingan berbeda. Maksudnya perempuan dan laki-laki punya kepentingan bersama melawan kapital, tetapi juga mempunyai kepentingan spesifik—gender. Sosialisme yang membebaskan perempuan harus melibatkan pelepasan hak istimewa laki-laki. Lalu membentuk organisasi otonom perempuan, agar perempuan tidak bisa mengandalkan laki-laki untuk membebaskan mereka “setelah revolusi.” Kekuatan kolektif harus dibangun dari pengalaman spesifik perempuan. Dan termasuk pula, Kontribusi epistemologis feminisme yang menganalisis pembagian kerja berbasis gender, memberi perempuan pemahaman unik tentang interdependensi dan kebutuhan manusia—fondasi untuk sosialisme yang manusiawi.

“Sosialisme feminis harus menciptakan masyarakat di mana pengakuan atas interdependensi adalah pembebasan, bukan aib, dan di mana perempuan tidak lagi mendukung kebebasan palsu laki-laki.”

Hartmann menawarkan koreksi radikal terhadap Marxisme dan feminisme: kapitalisme dan patriarki adalah sistem kembar yang saling memperkuat. Analisis yang memadai harus menyatukan metode materialis historis Marxis dengan fokus feminis pada relasi gender. Proyek politiknya bukan “pernikahan” di mana satu pihak mendominasi, tetapi aliansi setara yang mengakui kompleksitas penindasan. Dengan basis ini, gerakan sosialis-feminis dapat melawan tidak hanya eksploitasi kelas, tetapi juga hierarki gender—menuju pembebasan yang sesungguhnya. Esai Hartmann bukan sekadar kritik, melainkan peta jalan untuk teori dan praktik yang lebih inklusif, progresif, dan manusiawi.

 


Daftar Bacaan:

Hartmann, Heidi. “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Toward a More Progressive Union” In Post-Marxism: A Reader, edited by Stuart Sim, 156–66. Edinburgh University Press, 1998. (https://doi.org/10.1177/030981687900800102)
 
____________. “Capitalism, Patriarchy, and Job Segregation by Sex.” Signs 1, no. 3 (1976): 137–69. (https://doi.org/10.1086/493283)
 
____________. “The Family as the Locus of Gender, Class, and Political Struggle: The Example of Housework.” Signs 6, no. 3 (1981): 366–94. (https://doi.org/10.1080/135457098338491)