Maulid Nabi bukan sekadar peristiwa kalender; bagi banyak tradisi tasawuf ia adalah tanda lahirnya suatu cahaya kosmik, manifestasi realitas profetik yang melampaui keterjadian historis semata. Perayaan ini mengikat memori kolektif, puisi, ritual, dan teologi dalam satu napas ibadah dan estetika; syair-syair pujian, syair-syair penyembuh, dan kumpulan bacaan yang meneguhkan cinta umat kepada Rasul sebagai poros spiritual. Kajian historis menunjukkan transformasi maqam maulid dari praktik awal ke bentuk-bentuk ritual komunitas hingga diskursus hukum dan teologi yang kompleks di kemudian hari.
Dalam wacana tasawuf, Muhammad tidak hanya dipahami sebagai manusia sejarah, melainkan juga sebagai prinsip kosmik yang merupakan medium untuk manifestasi nama-nama ilahi. Pemikiran ini memungkinkan para sufi membaca peristiwa kelahiran Nabi sebagai titik temu antara dunia jasmani dan realitas esoteris yang sudah ada sebelum ketiadaan. Penjelasan sistematis atas gagasan-gagasan ini banyak ditemukan pada tradisi Ibn ʿArabī dan komentator-komentatornya.
Dalam kerangka tasawuf, kelahiran Nabi kerap ditempatkan dalam narasi kosmologis: keberadaan spiritual atau “cahaya” Muhammad (nur muḥammad) diyakini mendahului penciptaan dan menjadi sebab intermediasi antara Tuhan dan alam. Ide bahwa “Muhammad adalah cahaya yang pertama kali diciptakan” atau bahwa aspek profetik telah hadir sebelum Adam menjadi tema berulang dalam literatur sufi, bukan semata mitos, melainkan simbol relasi ontologis antara wahyu, eksistensi manusia sempurna, dan tujuan penciptaan. Membaca Maulid dari sudut ini, perayaan kelahiran menjadi pengingat tahunan bahwa medan spiritual itu tetap hadir: ia bukan sekadar ulang tahun tetapi ritual pengakuan atas kedudukan ontologis Nabi sebagai jembatan wahyu kosmos.
Di ranah praktik, tasawuf menginternalisasi maulid lewat madaḥ (puji-pujian), qasidah, dzikir kolektif, dan pembacaan sirah yang bernuansa tafsir batin. Puisi-puisi seperti Qaṣidah Burdah al-Busiri menjadi instrumen liturgis: selain memuji, ia diposisikan sebagai teks terapeutik dan medium transformative, membawa “berkah” melalui lantunan dan penghayatan. Tradisi-tradisi Sufi menggunakan bentuk-bentuk ini untuk mengarahkan rindu (syauq) menjadi pengalaman gnosis: peserta tidak hanya “mengingat” kelahiran, melainkan berusaha memasuki makna eksistensialnya. Kajian-budaya memperlihatkan bagaimana teks-teks seperti al-Burdah mendapat tafsir dan penggunaan ritual yang menegaskan dimensi spiritual (barakah) pada Maulid.
Dari sudut pandang tasawuf, Ibn ‘Arabi, al-Jili, dan para komentator modernnya, memandang maulid sebagai pedagogi eksistensial: perayaan mengajarkan bagaimana insan dapat menapaki jalan transformasi menjadi cermin nama-nama Ilahi. Dengan merenungkan kelahiran Nabi sebagai fenomena kosmis yang disimbolkan oleh narasi kehidupan dan mukjizatnya, para murid diarahkan untuk menempuh proses pembersihan (tazkiyah), pengetahuan batin (ma‘rifah), dan pembentukan karakter profetik (akhlaq al-karimah). Dengan kata lain, Maulid menjadi “kurikulum” ringkas tentang bagaimana umat dapat mencontoh moral, keadaban, dan spiritualitas Nabi di tengah tantangan zaman.
Jika tasawuf mengajarkan sesuatu tentang Maulid, itu adalah cara melihat lahirnya Nabi sebagai peristiwa yang menyusun ulang horizon keberadaan: kelahiran bukan hanya fakta historis, melainkan sakralisasi waktu yang menuntun manusia ke dalam pengenalan diri dan sambungan ke realitas ilahi. Maulid, sebagaimana dirayakan dalam tradisi-tradisi sufistik, adalah doa berbentuk syair, adalah sejarah yang dimurnikan menjadi pengalaman, adalah rindu yang diartikulasikan menjadi tata spiritual. Dalam ritus dan syairnya, umat menemukan sebuah kurun di mana cinta menjadi metodologi pengetahuan, bukan sekadar perasaan, melainkan praktik transformatif yang menuntun jiwa menuju kesejatian.
Wallahu a’lam. [ ]